Bab 8 Panggilan Tengah Malam
Bab 8 Panggilan Tengah Malam
Satu jam sudah aku berada di Angel's. Entah kenapa malam ini aku tidak berminat untuk minum. Bahkan martini pesananku masih tergeletak utuh di meja. Mengamati Eva dan Risa yang sudah bergoyang di lantai dansa aku hanya mendesah.
Keadaanku saat ini benar-benar seperti telur di ujung tanduk, bergerak sedikit saja aku yakin akan hancur lebur saat terjatuh.
Baru saja aku menerima pesan dari Ali. Dia meminta aku untuk segera mengirimnya uang. Bukan itu yang jadi pikiranku sekarang karena di tabungan masih ada sisanya. Hanya yang jadi masalah apa yang harus aku lakukan ke depan nanti.
Jika aku jadi pengangguran apa yang harus aku katakan pada Ibu. Lalu nasib Ali kemudian?
Aish!!! Kenapa semakin dipikirkan semakin buntu saja otakku.
Aku memutar-mutar ikat rambutku di meja seolah sedang melampiaskan kekesalanku padanya.
Apa aku cari info lowongan kerja lain saja ya?
"Hai."
Aku menoleh ke samping saat seseorang menyapaku.
"Sendiri saja?"
Laki-laki sekitar tiga puluhan menarik kursi yang ada di sebelah kananku. "Boleh duduk di sini, 'kan?"
Aku benar-benar tak berminat berkenalan dengan orang-orang tidak jelas di klub ini. Tapi laki-laki dengan kemeja navy yang bagian lengan di gulung sebatas siku ini terlihat memukau. Aku tahu jenis kemeja yang ia kenakan. Karena ketika Pak Bos memintaku membelinya dia hanya ingin brand ini.
"Akmal." Dia mengulurkan tangan dan menyebut namanya.
Menerima ulurannya tidak akan membuat aku mati bukan? Jadi aku membalasnya.
"Aleena," ucapku.
"Nama yang cantik."
Aku mendengus mendengar kalimat itu. Dia ini pasti seorang pemain yang pro. Lihatlah, bahkan smrik di wajahnya seolah menggambarkan dengan yakin bahwa sebentar lagi aku akan bertekuk lutut di depannya.
Suara dentuman musik semakin menggema dan suasana semakin panas menjelang tengah malam. Tapi tanganku masih sibuk dengan ikat rambutku. Sedangkan gelas minumanku tak sekalipun aku sentuh.
"Apa kau sedang memiliki masalah?"
Aku menggeleng. Bercerita pada orang asing --yang baru aku temui-- tidak pernah menjadi kebiasaanku.
"Syukurlah. Aku pikir kau sedang tertekan. Sejak tadi aku duduk di sana. Melihatmu tidak sekalipun menyentuh minumanmu. Aku ke sini hanya khawatir kalau kau melakukan hal bodoh."
Aku tergelak mendengar ucapannya. Entah pada bagian mana yang terdengar lucu, tapi perutku rasanya tergelitik.
"Kenapa kau tertawa?"
Aku menggeleng sambil menoleh padanya.
"Aku rasa, aku tidak setampan itu hingga membuatmu terpesona."
Kembali, tawaku pecah bersamaan dengan musik yang berganti lebih meriah.
Ternyata laki-laki ini tidak membosankan. Penilaianku tentangnya beberapa saat lalu mulai berubah. Ya, sebenarnya laki-laki bernama Akmal ini memiliki wajah yang masuk kategori tampan. Semua ornamen terasa pas. Alisnya, matanya, hidungnya, bahkan bibirnya. Apalagi saat dia tersenyum, lesung pipinya terlihat jelas. Jadi jika dia memakai itu sebagai modal untuk menjadi penjantan tangguh, aku rasa dia akan menjadi primadona.
"Apa yang membawamu kemari?" Jika aku hanya diam dia pasti akan mengoceh tidak jelas. Jadi aku mulai bertanya sebagai timbal balik keramahannya. Dan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya begitu senang.
"Patah hati."
Aku mendengus mendengar kalimat itu. Ya, tidak perlu terkejut. Terkadang banyak orang-orang bermasalah yang datang ke tempat seperti ini.
"Wanita itu pasti sangat bodoh."
"Aku pikir juga begitu."
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Kau bisa patah hati?"
"Di tinggal menikah."
"Oh, kasihan."
"Terima kasih," ucapnya yang tidak menunjukkan sama sekali maksud kalimatnya. "Kau sendiri, kenapa?"
Aku mengangkat bahu. "Hampir dipecat. Tinggal menunggu waktu." Akhirnya aku mengatakan alasanku berada di tempat ini. Mungkin karena Akmal ini orang yang mudah untuk di ajak berbagi, atau aku sudah mulai tidak waras.
"Melakukan kesalahan?" tanyanya lagi.
"Hm. Kesalahan fatal."
"Apa itu?"
Cukup sampai di sana. Aku meletakkan jari telunjukku di bibir sambil berucap, "rahasia."
Dan untuk pertama kalinya aku melihat Akmal tertawa. Tawa yang mesti beradu dengan suara musik, tetap terdengar renyah.
Cukup lama kami terlibat obrolan. Dari mulai membicarakan musik sampai politik --tentu saja untuk yang ini tidak terlalu serius. Semua mengalir begitu saja. Dan dari situ aku tahu bahwa Akmal hanya sedang terjebak masalah saja karena itu dia berada di sini. Dia bahkan tak memesan minuman beralkohol.
Aku terlalu banyak bertanya dan mendominasi obrolan, hingga mendapatkan informasi bahwa Akmal bekerja di sebuah hotel. Dia memang tidak mengatakan apa jabatannya dengan jelas, tapi dari cara dia bicara aku bisa menebak dia pasti salah satu orang yang memegang jabatan penting. Lalu dia memberikan aku kartu nama. Jika aku sungguhan dipecat dia memintaku menghubunginya. Lucu sekali. Tentu saja aku menerima kartu nama itu dan meletakkanya di dalam saku blazer tanpa melihatnya lebih dulu. Sebagai balasannya aku juga memberinya kartu namaku.
"L-Magazine? Wuah. Aku tahu ini adalah perusahaan yang lumayan besar."
"Ya. Aku akan menyombongkan jabatanku padamu sebelum aku dipecat."
Dia tergelak sambil mengangguk-angguk. "Tentu saja," katanya. "Mau mengobrol di tempat lain?"
Aku menatap Akmal cukup lama. Lalu menggeleng. "Mungkin lain kali. Aku harus segera pulang."
"Minumanmu?"
Aku melirik kembali minumanku yang tidak tersentuh, lalu mengulurkan padanya. "Untukmu saja."
"Aku tidak akan meminumnya. Tapi, terima kasih."
"Ya. Terserah kau saja. Sampai jumpa."
Melihat sekelilingku, tak kutemukan keberadaan Eva dan Risa. Mungkin mereka bertemu partner dansa atau partner yang lain, entahlah. Jadi aku putuskan pulang sendiri.
Baru saja aku melangkah sampai di parkiran, seseorang memanggilku.
"Akmal?"
Dengan sedikit berlari dia menghampiriku.
"Kau meninggalkan ikat rambutmu," katanya sambil mengulurkan benda itu padaku.
Benar saja. Ikat rambut berwarna hitam dengan manik-manik di sekelilingnya ini memang milikku.
"Ah, terima kasih."
Aku mengambilnya lalu segera menyimpannya. Berpamitan pada Akmal sekali lagi aku segera menaiki taxi yang kebetulan baru mengantar penumpang.
Aku melambaikan tangan pada Akmal sebagai tanda perpisahan. Tapi yang kudapatkan justru senyuman lebar yang sedikit mengganggu.
Apa itu barusan? Apa dia tertarik padaku?
* * *
Aku bolak-balik di atas ranjang dengan tidak nyaman. Lalu membawa tubuhku untuk duduk sambil mendesah saat melihat waktu sudah tengah malam. Biasanya aku sudah tidur di jam seperti ini karena kelelahan mengikuti agenda Bos. Sekarang, aku sudah merasakan ketidaknyamanan jadi pengangguran bahkan sebelum aku benar-benar dipecat.
Membunuh waktu aku memilih berjalan ke meja kerja lalu duduk dan mengamati benda-benda yang berada di atasnya.
Lalu aku menatap ikat rambut yang tadi dikembalikan Akmal.
Sebenarnya, pita rambut ini adalah pemberian Pak Brian. Aku masih menyimpannya meski sudah tiga tahun berlalu.
Saat itu setelah seminggu aku cuti karena kepergian Bapak, akhirnya kembali bekerja. Pak Brian akan melakukan pertemuan penting di Bali, tentu saja aku harus ikut serta.
Saat pekerjaan selesai, aku meminta untuk pergi ke pantai. Awalnya Pak Bos menolak mentah-mentah, tapi setelah aku mengatakan bahwa aku belum pernah melihat pantai, akhirnya dia mengalah meski dengan wajah tidak suka.
Saat itu aku terlalu asik bermain pasir dan air hingga tak peduli sudah sekacau apa penampilanku. Sampai dia berjalan menghampiriku lalu memutar tubuhku hingga aku membelakanginya. Dan begitu saja, ikat rambut ini ia pasangkan di kepalaku.
"Ikat rambutmu, jangan seperti nenek sihir."
Meskipun ucapannya terdengar ketus dan menghina, hatiku terasa menghangat.
"Terima kasih, Boss." Aku memberikan senyum terbaikku sambil memegangi ikat rambut di kepalaku.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Saya mendapatkan benda itu dari hadiah chiki."
Setelah mengatakan itu dia berjalan menjauhiku.
Tak apa, meski hadiah chiki, yang pasti itu tandanya dia peduli padaku.
Tapi sesampainya di Jakarta, aku tak henti mengganggunya dengan kalimat-kalimat penasaran. Bagaimana tidak, saat aku sedang berselancar di sosial media, aku melihat harga ikat rambut yang dia berikan terbilang cukup mahal.
Bagaimana bisa ada hadiah chiki seharga lima ratus ribu?
Mulai hari itu aku selalu menjaganya dengan hati-hati. Tapi tadi, aku berusaha menghancurkannya karena kekesalanku, bahkan lebih parah, hampir menghilangkannya.
Dasar ceroboh!
Aku berjalan kembali ke ranjang lalu mematikan semua lampu. Menarik selimut aku bersiap tidur. Mungkin mataku memang belum mengantuk, tapi akan kucoba menghitung domba sampai mataku lelah.
Dan ketika kegelapan mulai menarikku, tubuhku terperanjat mendengar dering ponsel yang cukup keras.
Sialan! Siapa yang menelpon malam-malam? Tidak punya kerjaan sama sekali. Mengganggu.
Meski aku kesal setengah mati, tetap saja aku duduk dan meraih ponsel di atas nakas. Dan mataku yang sudah layu kembali terbuka dengan sempurna saat melihat ID si pemanggil.
'Boss Galak Calling ...'
Langsung saja mataku menatap jam weker. Pukul 00:15. Hatiku langsung merasa tidak tenang. Bos tidak pernah melakukan panggilan tengah malam begini di hari biasanya. Meskipun dia menyebalkan, dia tidak pernah mengganggu waktu istirahat malamku.
Apa dia mau memecatku?
Kalau iya. Sungguh keterlaluan. Apa tidak ada waktu lain saja. Aku bisa trauma kalau dia memecatku di jam begini.
Aku kembali tersadar saat panggilan berakhir. Menepuk kepala karena merasa bodoh terlalu banyak berpikir. Akhirnya aku yang melakukan panggilan. Hanya butuh satu kali deringan panggilanku di angkat.
"Ha-halo, Boss?" sapaku sedikit gugup.
"Aleena ... tolong aku ...."
Tut tut tut.
Tubuhku sontak berdiri mendengar jawaban itu.
Tolong?
Kenapa Bos minta tolong?
Tidak, tidak. Berhenti berpikir, sebaiknya aku segera pergi untuk memeriksa keadaanya.
Sialan! Di mana aku melatakkan sepatuku?!