Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Bencana Membawa Berkah

Bab 9 Bencana Membawa Berkah

Satu kata tolong itu benar-benar membuat jantungku bergemuruh. Tak peduli apa pun lagi, setelah mengunci kontrakan aku langsung berlari menuju jalan raya. Untunglah, di pangkalan ojek masih ada beberapa Bapak-Bapak yang belum pulang. Aku meminta diantar ke rumah Bos dengan kilat.

Sesampainya di depan pagar, aku langsung berteriak memanggil Joni yang biasanya nongkrong di pos satpam.

Syukurlah, dia langsung muncul dan membukakan gerbang.

"Mbak Aleena, kenapa datangnya malam-malam?"

Aku berusaha menormalkan napasku yang memburu sebelum menjawabnya dengan pertanyaan.

"Bapak di dalam?"

"Iya. Sepertinya sudah tidur. Lampu kamarnya sudah gelap."

Kami sama-sama melihat jendela kamar Bos yang berada di lantai dua. Keadaannya memang gelap. Tapi jika Bos tidur, siapa yang meneleponku tadi?

"Bos baru pulang atau bagaimana?"

"Baru pulang. Tadi Bos minta jemput di toko kue dekat kantor, Mbak."

"Toko kue?"

"Iya, Mbak. Toko kue langganan, Mbak."

Ah, Rainbowners.

"Kalau begitu aku masuk dulu ya Pak."

"Ya, Mbak. Masuk saja."

Sedikit mempercepat langkah dari pos sampai ke pintu, aku menghubungi pihak Rainbowners. Biasanya aku memang memesan kue, cookies, atau cupcake di tempat itu karena Bos menyukainya.

"Halo, selamat malam menjelang pagi. Rainbowners menyediakan banyak macam kue dengan berbagai rasa. Bisa dibantu?"

"Mbak Sasa, ini Aleena."

"Oh, Mbak Aleena. Ada apa?"

"Tadi Bos dari sana?"

"Bos? Oh, Pak Brian? Ya. Beberapa jam yang lalu. Kenapa ya, Mbak?"

"Boleh saya tahu, Bos memesan apa di sana?"

"Oh, sebentar saya cek dulu ya, Mbak. Nanti saya hubungi lagi."

"Oke, terima kasih."

Setelah berhasil masuk melalui sensor ponselku yang memang dirancang agar bisa masuk ke rumah Pak Bos --atas sarannya-- aku segera menaiki tangga menuju lantai dua.

"Bos?!"

Kuketuk pintu beberapa kali sembari memanggilnya, tapi tak ada jawaban. Seketika tubuhku meremang. Bagaimana kalau apa yang aku takutkan justru terjadi. Kutarik kenop pintu lalu mendorong dengan keras --ternyata tidak dikunci-- dan aku menjerit menemukan tubuh Pak Brian terlentang di atas lantai.

"Boss!"

Aku langsung tersungkur di sampingnya untuk memegangi wajahnya.

"Boss kenapa? Sakit?"

"Se ... sak ... da ... da ...."

"Dada Bos sesak?"

Dia mengangguk dengan pelan.

Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi. "Bos tunggu sebentar, saya panggil Joni dulu." Berlari keluar rumah aku berteriak minta Joni segera masuk. Dan beruntungnya dia sigap hingga bisa membantuku membawa Pak Bos ke dalam mobil untuk segera ke rumah sakit.

Sampainya di rumah sakit Pak Bos segera di tangani. Dokter mengatakan padaku kalau alergi Pak Brian kambuh, itu kenapa dia merasa sesak napas. Andai aku telat sedikit saja, dia bisa pingsan.

Saat aku duduk mengamatinya yang sudah beristirahat di ruang inap, ponselku berbunyi.

"Halo?"

"Mbak Aleena, tadi Pak Brian minta disiapkan kue yang belum pernah anda pesan. Jadi pegawai kami memberikan dia cupcake kacang almond."

"Ka—cang almond?!"

"Iya, Mbak."

"Oh, oke. Terima kasih."

Aku mendesah setelah tau apa penyebab ini bisa terjadi. Jadi, Pak Bos makan kacang? Pantas saja alerginya kambuh.

Aku ingat sekali saat aku baru dua bulan jadi sekretarisnya dulu. Saat itu aku membawa brownies kacang masakanku sendiri untuk aku bagi-bagikan pada karyawan kantor karena aku sedang berulang tahun. Pak Bos yang melihat itu tak berniat mengambilnya.

Untuk melampiaskan rasa kecewaku, aku menyelipkan satu potong kue itu di cemilannya. Sambil bekerja dan memakan cemilannya, aku sengaja mengalihkan fokusnya hingga ia tak sadar memakan kue itu. Rasanya sangat lega. Tapi aku tidak tahu bahwa justru itu menjadi masalah. Ketika aku hendak keluar dari ruangannya, aku dikejutkan dengan tubuh Bos yang jatuh dari kursi.

"Boss! Kenapa?"

"Kacang ... aku alergi, kacang."

Sejak saat itu aku selalu memeriksa makanan apa saja yang akan dia makan. Tidak boleh ada kacang-kacangan. Bahkan di rumah pun, aku memberitahu tukang masak yang datang sehari sekali, kalau Bos tidak boleh makan itu.

Tapi malam ini, dia justru memakannya. Andai aku bersamanya, ini tidak akan terjadi.

"Aleena?"

Aku tersentak dari lamunanku saat mendengar Pak Bos memanggil namaku.

"Iya, Bos? Butuh sesuatu?" Aku segera menghampirinya.

"Haus."

"Haus? Oh, sebentar." Menuang air ke dalam gelas aku segera membantunya agar bisa minum.

Setelah itu dia menatapku. Cukup lama, hingga aku jadi salah tingkah.

"Apa yang kamu pakai?"

"Hah?"

Dia menunjuk bagian depan tubuhku hingga membuatku tertunduk. Dan wajahku terasa panas saat menyadari apa yang tengah aku lakukan.

Karena terlalu terburu-baru aku lupa mengganti daster berbahan kaosku yang hanya pertengahan paha. Ya, mau bagaimana lagi, tadi 'kan aku sudah mau tidur.

Tapi masalahnya, bukan karena daster yang aku pakai ini kependekan. Melainkan, gambar di dadanya ini yang membuat wajah Pak Bos menahan tawa.

Cetakan wajah Pak Bos --yang aku sablon-- tengah tersenyum terpampang jelas.

Mati aku! Mau di letakkan di mana wajahku sekarang! Sialan! Sialan!

* * *

Pagi ini matahari bersinar cukup cerah. Jendela yang aku buka gordennya langsung membawa masuk kehangatan mentari ke dalam ruangan.

Pak Bos belum bangun setelah semalaman menggangguku. Dia bertanya bagaimana bisa wajahnya ada di bajuku. Rasanya pipiku yang memerah tak cukup membuatnya puas hingga dia harus menanyakan hal konyol itu, lagi, dan lagi.

Baju ini jelas aku sendiri yang memesan. Rencananya aku ingin menjadikan pelampiasan saat aku sedang kesal padanya. Memerasnya atau bahkan melemparnya, 'kan lumayan. Tapi kalau sudah menyangkut hati, saat melihat hasilnya aku justru sering memakainya. Tentu tanpa sepengetahuan Bos. Dan sekarang dia justru melihatnya dengan jelas.

Ya mau bagaimana lagi, sudah kejadian.

Aku segera membersihkan wajahku di toilet lalu menghampiri Bos. Kelihatannya Bos sudah baik-baik saja. Tapi ada bercak-bercak merah di wajah dan juga tangannya. Kata Dokter itu efek sementara, setelah beberapa hari akan hilang sendiri jika minum obat rutin.

Suara pintu yang dibuka membuatku menoleh. Dokter dan beberapa perawat masuk ke ruangan untuk memeriksa. Aku membangunkan Bos dengan perlahan.

Dia menatapku beberapa saat --setelah kepergian Dokter-- lalu mendesah.

"Kamu belum pulang?"

Aku menggeleng. Bagaimana bisa pulang? Dia, 'kan tidak ada yang menjaga.

"Pulang saja sana. Nanti baru kembali lagi setelah mandi. Saya tidak apa-apa."

"Tapi kalau Bos butuh sesuatu, bagaimana?"

"Saya akan menghubungi kamu."

"Serius Boss?"

"Iya. Sana pulang saja dulu."

"Baiklah. Tapi saya akan kembali lagi."

Dia mengangguk lalu kembali memejamkan mata.

Aku hampir melompat saat menutup pintu. Bukankah ini seperti bencana membawa berkah? Dengan kambuhnya alergi Pak Bos, dia mau bicara denganku. Kalau begitu aku akan membuatnya mengubah keputusannya.

* * *

Sebenarnya alergi Pak Bos tidak parah. Jadi, dia sudah diijinkan pulang malam ini. Hanya saja, obat dan makannya harus diawasi. Sebagai sekretaris yang selalu ada untuknya aku memutuskan untuk mengatur semua kebutuhannya saat di rumah.

Bos akan kembali bekerja setidaknya setelah merah-merah di sekujur tubuhnya hilang. Tapi dia tidak ingin aku memberitahu anak-anak kantor. Dia menyuruhku mengatakan pada mereka semua kalau kami sedang mengurus project di luar negeri.

Namanya juga bawahan, aku tidak punya hak untuk membantah.

Malamnya, aku memberitahu Joni untuk menjemput kami. Sampai di rumah, aku langsung sigap membantu Bos untuk langsung istirahat di kamarnya.

Baru saja aku hendak keluar dia memanggilku.

"Jangan beritahu Mami."

Aku terdiam beberapa saat. Ingin membantah rasanya, tapi tidak jadi kulakukan. Pada akhirnya, aku mengangguk patuh.

"Ok Boss."

Lalu menutup pintu.

Sambil menuruni tangga aku jadi berpikir ulang. Apa Bos tidak kesepian tinggal di rumah besar ini sendiri?

Rumah ini adalah miliknya. Bisa dikatakan hasil dari kerja kerasnya. Papi Bos, Bapak Leoonard --asli orang Belanda-- sudah meninggal sejak aku bekerja dengannya. Sementara Maminya, Ibu Karunia, berada di Palembang.

Selama bekerja dengan Bos, hanya beberapa kali aku bertemu dengan wanita yang melahirkannya itu. Setahuku, Bos adalah anak tunggal.

Memasuki pantry aku memeriksa isi lemari pendingin. Ada banyak bahan yang bisa membantuku membuat bubur. Aku harus memberi Bos makan sebelum memintanya minum obat.

Suasana semakin sepi setelah aku sibuk dengan kegiatanku. Pak Brian tidak suka dengan keramaian, jadi aku tidak heran rumahnya bernuansa begini. Bahkan dia hanya menyewa tukang bersih-bersih dan tukang masak yang jika sudah selesai dengan tugas langsung pulang.

Kenapa dia tidak memutuskan menikah saja, sih. Biar ada yang mengurus.

Oh, iya. Dia kan tidak doyan perempuan. Susah juga sih kalau begitu.

Ngomong-ngomong, di mana mangkuk bubur ya?

Aku menarik semua laci yang ada di kitchen set, tapi tak menemukannya. Saat aku berjinjit hendak membuka lemari yang ada di ujung kepalaku, aku menemukan benda itu.

Tapi tinggi sekali. Aish, ada-ada saja.

Kutarik kursi berputar yang ada di meja bar lalu menaikinya. Tapi saat aku berhasil mendapatkan mangkuknya tubuhku jadi berputar mengikuti kursi. Aku oleng dan akan menyeruduk lantai, namun sebuah tangan melingkari perutku dari belakang. Dan aku merasakan aroma wangi Pak Bos yang menusuk tengkukku.

Rasanya, hangat.

"Hati-hati, Aleena."

Darahku terasa berdesir mendengar suaranya yang begitu lembut di telingaku. Pipiku bahkan terasa panas. Kalimatnya sungguh terdengar khawatir.

"Maaf, Boss." Tanpa sadar aku berucap malu-malu.

"Aku membeli mangkuk itu di Italia. Jangan sampai pecah."

Hah?

Apa katanya?

Aku mengamati mangkuk yang ada di tanganku.

Jadi, dia mengkhawatirkan benda ini?

Sialan!

Segera saja aku melepaskan tangannya dari perutku, lalu turun sambil menatap kesal padanya.

Jadi, meski sakit seperti sekarang, dia masih sangat menyebalkan.

Keterlaluan!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel