Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Memilih Pasrah

Bab 7 Memilih Pasrah

Mengubah keputusan Bos sepertinya tidak akan pernah bisa. Berkali-kali dia mengabaikanku seolah aku tidak ada. Padahal, aku terus bersamanya selama berhari-hari.

Sepertinya aku hanya perlu menunggu waktu di mana karirku akan tamat di perusahaan ini.

Ternyata, alasan Pak Bos ingin aku keluar dari kantor ini bukan hanya karena aku menggagalkan pertemuannya dengan pihak GNG, tapi juga karena aku mengetahui ketidaknormalannya itu.

"Kenapa Bos bisa memiliki hubungan dengan seorang laki-laki?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja saat kami sampai di kantor setelah kembali dari luar. Bukan tanpa alasan aku menanyakannya. Klien yang kami temui siang itu adalah wanita yang menunjukkan ketertarikan yang begitu kental pada Bos. Bahkan dia sengaja memakai pakaian yang meski sopan tapi menonjolkan aset yang ia punya saat bertemu dengan kami.

Andai aku laki-laki aku pasti akan tergoda. Karena saat itu juga sebagai wanita aku menatap milikku sendiri dengan ngeri.

Tapi pertanyaan itu justru membuat Pak Bos menarikku masuk ke ruangannya dengan kasar. Dia mengurungku di tembok hingga punggungku terasa nyeri saat membentur dinding. Yang lebih menakutkan, sepasang matanya yang segelap malam itu menatapku seperti hendak melenyapkanku dari dunia ini.

"Jangan bicara sembarangan di kantor ini, Aleena. Aku tidak akan melepaskanmu jika sampai ada yang tahu."

Tubuhku menggigil dengan cara yang tidak kumengerti. Ada rasa takut bercampur dengan geli.

"Sepertinya memecatmu memang pilihan tepat. Karena jika kau terus berada di kantor ini, cepat atau lambat semua akan terbongkar. Jadi, tunggu saja akhirnya."

Dia melepaskanku lalu memerintahkanku keluar dari ruangannya. Tapi aku tak bisa tinggal diam. Rasanya amarah dan kecewa sudah menguasai ketidakwarasanku.

"Mending sama saya Pak, apa enaknya main pedang-pedangan!"

Aku menutup mulutku saat menyadari apa yang sudah aku ucapkan.

Lancang sekali!

Tentu saja wajah Pak Bos memerah. Dia berjalan mendekatiku kembali lalu mengamati tubuhku dari atas hingga bawah. Kemudian dia mendengus.

"Keluar," ucapnya dengan dingin.

Sejak saat itu, dia menganggap aku seperti tidak terlihat.

"Aleena?"

Aku yang sejak tadi duduk melamun di pantry sambil mengaduk teh, menoleh. Bergumam pelan menjawab panggilan Eva.

"Apa yang kau lakukan?" Dia menarik kursi yang ada di hadapanku lalu meletakkan mie instant dalam cup yang baru dia beri air panas.

"Aku sedang minum," jawabku tak berminat.

"Oh, ya? Aku bahkan tidak melihat kau menyentuh cangkirmu."

Meletakkan sendok teh, aku menelungkup di atas meja. Rasanya aku sungguh ingin menangis, tapi sayang, sejak tadi air mataku tak mau keluar. Mungkin dia lelah.

Tak ada reaksi apa pun yang aku dapatkan dari Eva. Aku hanya mendengar suara-suara berisik di depanku. Lalu aroma gurih dari kaldu ayam yang begitu wangi membuat kepalaku terangkat. Aku menatap Eva yang tengah mengaduk mie-nya.

"Aku mau," ucapku.

"Buat sendiri."

"Ev. Kau tahu bukan nasibku di kantor sudah tidak lama lagi. Berbaik hatilah."

Dia mendengus tidak suka. Tapi tangannya menyodorkan makanan itu ke depanku. "Makanlah kalau begitu."

"Terima kasih." Aku segera mencobanya setelah meniup beberapa kali. "Inyi enyak alau akai abe."

"Makan saja dulu, nanti baru bicara."

Aku hanya bisa tersenyum padanya lalu menghabiskan makananku seperti sarannya.

Setelah aku mengisi perutku, Eva mulai kembali mengajakku bicara. Aku tahu, dia pasti tidak akan melewatkan kejadian hari ini.

"Kalau kau yang berniat mengundurkan diri, aku rasa Pak Brian tidak akan memperlakukanmu seperti tadi. Apa kalian ada masalah?"

Aku menunduk tak mampu menatap mata Eva yang memandang prihatin padaku.

Ya, beberapa jam yang lalu, aku berlarian mengejar Pak Bos yang akan melakukan pertemuan dengan pihak Jaya Agency. Biasanya, dia selalu membawa serta diriku ke pertemuan apa pun. Entah untuk menemaninya atau untuk ia suruh-suruh. Tapi tadi, dia bahkan melewatiku begitu saja saat keluar dari ruangannya. Dengan susah payah aku berusaha mengejarnya hingga tepat di lobi langkahnya terhenti karena aku menghadangnya.

Bukan alasan kenapa itu bisa terjadi yang ia katakan, tapi dia hanya bilang, dia tidak butuh bantuanku tanpa sudi untuk menatapku. Dan ketika aku masih tertegun di tempat, dia justru sudah pergi bersama dengan Joni.

"Sebenarnya ada apa, Aleena? Kau bisa cerita padaku. Apa pun itu."

Aku menghela napas beberapa kali sebelum mulai bercerita apa yang menjadi penyebab amarah Pak Brian. Tapi aku melewatkan rahasia yang Pak Brian sembunyikan.

"Ya ampun. Itu sangat fatal, Al."

"Aku tahu. Tapi, tidak bisakah dia memberiku kesempatan? Bukankah selama ini aku selalu melakukan pekerjaanku dengan benar." Akhirnya, air mataku mulai berkumpul bersiap untuk jatuh.

"Mungkin Bos sedang ada masalah."

Iya. Benar. Hubungannya yang menjijikan itu sudah ketahuan olehku.

Sungguh, aku tidak pernah ingin ikut campur urusan orang lain. Aku bahkan tidak ingin menghakimi pilihan hidup yang diambil oleh Bos. Tapi apa salahku jika melihat kejadian malam itu? Harusnya dia berpikir aku atau siapa saja yang ia kenal bisa di temui di Angel's. Toh dia tahu kalau anak-anak kantor sering ke sana.

Jika memang harus di sembunyikan, kenapa tidak bermain di rumah saja.

Iyyyuuuuh.

Aku merasa mual jika mengingat kejadian itu lagi. Sontak saja aku membawa tubuhku berlari ke toilet saat aku rasa perutku bergejolak.

"Al, kamu sakit?"

Aku menggeleng ketika Eva mengurut tengkukku. Setelah membasuh bibir, aku keluar bersama Eva yang berjalan di sisiku.

"Sebaiknya kamu pulang dan beristirahat."

"Tidak. Aku baik-baik saja. Terima kasih untuk mie-nya." Setelah mengatakan itu, aku keluar dari pantry meninggalkan Eva dan kembali ke mejaku.

* * *

Aku berniat untuk pulang saat aku melihat waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Karena, ya percuma aku di kantor, toh atasanku tidak menganggap aku ada. Sekarang saja dia masih di dalam ruangannya tanpa meminta apa pun padaku.

Biasanya, dia akan menghubungiku berkali-kali sampai aku lelah sendiri. Meminta di buatkan teh, meminta di bawakan cemilan, lalu mulai melakukan hal-hal random seperti memintaku mengganti posisi buku-bukunya di lemari. Atau memutarkan lagu yang membuatnya tenang. Kadang aku bahkan lupa, aku ini sekretaris atau pembantunya.

Setelah kembali ke kantor sore tadi, dia menurunkan semua tirai ruangannya hingga aku tak bisa mengintip apa saja yang ia lakukan. Beberapa staf kantor yang butuh tanda tangan atau persetujuannya saja langsung ke ruangan itu, tidak lagi melalui diriku seperti biasa.

Ini benar-benar menyebalkan.

Aku segera mengemasi barang-barangku. Lalu mendekati pintu ruangannya. Kuketuk beberapa kali, kemudian membuka suara meski tidak ada jawaban dari dalam.

"Boss. Saya pulang."

Menunggu beberapa saat masih tak ada jawaban. Akhirnya aku keluar dengan langkah lesu.

Di lobi aku melihat Eva dan Risa juga hendak pulang. Mendekati mereka aku ingin pulang bersama saja agar tak terlalu kepikiran dengan masalahku.

Tapi mereka memang pencinta clubbing. Rencana pulang ke rumah justru berganti menjadi pergi ke Angel's saat mereka melihatku. Aku pikir tidak ada salahnya pergi ke sana bersama mereka malam ini. Andaipun besok aku kesiangan, sepertinya Pak Bos tidak akan peduli.

Suara musik di Angel's sudah sangat akrab di telingaku. Satu bulan aku bisa ke tempat ini setidaknya empat sampai enam kali. Bukan karena tempat ini sudah menjadi candu bagiku. Tapi alasannya karena aku hanya ingin berada di tempat keramaian yang berisik. Terlalu lama di rumah membuatku berpikir hal yang tidak-tidak.

Memikirkan masa depanku contohnya. Kadang melihat beberapa teman lama di sosial media rasa iri muncul. Bagaimana mereka bisa memiliki sebuah keluarga yang bahagia. Bukan berarti aku ingin segera menikah. Hanya saja manusiawi sekali saat melihat kesuksesan orang lain hati ini jadi iri.

Tapi masing-masing orang memiliki waktunya sendiri. Seperti perasaanku yang baru aku sadari tiga tahun lalu. Saat Bapak meninggal, saat itulah hatiku jatuh pada sosok Pak Brian L Jonathan.

Berada didekatnya memang menyebalkan, tapi juga menyenangkan. Hanya saja mungkin hubungan kami tidak akan pernah ke mana pun. Hanya sebagai Bos dan sekretaris. Lalu sekarang setelah aku tahu hatinya sudah memiliki tempat pulang, aku harus mengakhiri ini pelan-pelan, lalu mulai menerima jika posisiku akan segera tergantikan.

Ya. Aku pasrah pada apa yang akan terjadi nanti. Jika memang Pak Bos memecatku, aku akan pergi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel