Bab 6 Tidak Boleh Lepas
Bab 6 Tidak Boleh Lepas
Aku tahu apa yang aku lakukan tidak bisa termaafkan dengan mudah. Tapi, aku bekerja di perusahaan yang dibangun sendiri oleh Brian L Jonathan bukan sehari atau dua hari. Tapi lima tahun! Bahkan sejak L-Magazine masih sebesar biji kedelai. Kasarnya, aku yang menemaninya hingga sekarang.
Semua yang aku miliki bahkan aku berikan sepenuhnya. Dari mulai waktu, energi, bahkan otakku, juga hatiku. Apa Bos tidak berpikir sampai di sana?
Dasar sialan!
Hatiku rasanya sangat hancur sekarang. Baru beberapa menit yang lalu sampai di kantor, pihak HRD mengatakan padaku bahwa lowongan sekretaris sudah dibuka, dan seisi kantor sudah mendengarnya. Karena itu, teman-temanku mulai mengintrogasiku karena penasaran.
"Memangnya kamu mau ke mana, Al?" Eva yang lebih dulu bertanya.
Lihatlah, mereka bahkan berpikir aku yang berencana mengundurkan diri.
Tentu saja aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu.
"Jadi akhirnya kamu menyerah, Al? Ya, iya sih, menjadi sekretaris Pak Brian bukan hal mudah. Tapi kenapa secepat ini sih, Al?"
Aku mengurut pelipisku karena terasa berdenyut. Sementara Risa yang duduk di sampingku menatapku lekat menunggu jawaban.
"Sebaiknya pikirkan lagi, Al. Kalau kamu pergi bagaimana dengan si Bos. Aku tidak yakin akan ada sekretaris yang bisa membantunya sebaik dirimu."
Sebaik aku? Aish! Andai kau tahu, Din. Ini juga bermula karena kecerobahanku.
"Al, jawab. Kenapa dari tadi kamu hanya diam?"
Aku mengangkat kepalaku hendak membuka mulut, menjawab sejujur-jujurnya pada, Eva, Risa, dan Adinda alasan semua ini bisa terjadi. Namun, mataku menangkap siluet tubuh Pak Bos yang turun dari mobilnya. Langsung saja aku berdiri, meninggalkan sofa dan ketiga temanku untuk menghampirinya sembari sedikit berlari. Dengan sigap aku mengulurkan tangan untuk membawakan tas-nya. Tapi, dia justru menatapku tajam.
"Saya bantu, Boss?"
Tidak ada jawaban darinya. Tapi, aku tidak menyerah, kurebut benda itu hingga dia mendesah tidak suka.
Aku menunggu dia bicara sambil tersenyum, entah aku akan dimarahi atau dimaki, tak masalah. Tapi yang terjadi, dia justru berjalan kembali meninggalkanku.
Aku tertunduk lesu. Rasanya ini akan sangat berat. Melirik teman-temanku yang masih di sofa tengah menatapku, aku hanya bisa meringis malu.
Sampai di dalam lift suasana tentu saja semakin mencekam. Hanya ada aku dan Bos karena kami menaiki lift khusus pimpinan. Aku berdeham beberapa kali mengatur suaraku agar bisa keluar dengan mulus. Aku tak bisa diam saja, setidaknya aku harus berusaha selagi bisa.
"Bos. Apa saya tidak punya kesempatan lagi?"
Tubuh tegap itu terhenyak. Wajahnya menoleh sebentar padaku lalu kembali melihat ponsel di tangannya seolah aku ini hanya lalat yang kebetulan lewat.
"Bos. Tolonglah, jangan cari pengganti untuk posisi saya. Saya janji saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mencari pengganti GNG. Bila perlu saya akan ke Paris untuk menemui mereka kembali."
Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu menghadapkan tubuhnya padaku. Aura intimidasi langsung memenuhi lift. Kurasa, aku akan kehabisan oksigen sebentar lagi hanya karena sepasang mata elang itu menatapku.
"Bos. Tolonglah." Suaraku pasti terdengar seperti cicitan, karena saat ini tenggorokanku bagai tercekik.
"Tidak perlu melakukan apa pun. Cukup siapkan dirimu. Karena setelah ada yang melamar, kamu harus angkat kaki dari kantor ini."
Rasanya aku ingin duduk dan menangis di lantai lift. Sekalinya bicara, ucapan Bos membuat kepalaku bagai kena pukulan. Ya, harusnya aku tahu dia memang sekejam ini. Kenapa aku bisa lupa kalau Brian sialan ini adalah laki-laki keras kepala. Dia tidak akan luluh dengan mudah.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Suara dentingan lift membuat aku yang berkutat dengan pikiranku sendiri segera mengikuti langkah Bos untuk keluar.
Setelah meletakkan tas-nya di ruangan, aku berjalan kembali ke mejaku.
Rasanya sungguh tidak rela jika harus meninggalkan kantor ini. Bukan hanya karena masalah gajinya yang lumayan --walaupun itu memang pasti jadi pertimbanganku-- tapi juga karena kantor ini sudah menjadi bagian dari hidupku.
Aku mengamati benda-benda yang berada di atas meja kerjaku, lalu menatap ruangan Pak Bos yang berada tepat di depanku. Setiap hari aku menghabiskan banyak waktu di tempat ini. Mengatur semua pekerjaan Brian L Jonathan sampai mengurus perlengkapan pribadinya. Terkadang aku ketiduran hanya karena menunggunya yang sibuk lembur di dalam sana. Tapi sekarang, aku justru harus bersiap meninggalkan tempat ini.
Bagaimana bisa?
Tidak. Aku tidak bisa.
Benar. Aku tidak boleh menyerah dengan mudah. Posisiku di kantor ini tidak boleh lepas. Banyak hal yang sudah aku lalui sampai aku bisa berada di sini, tidak semudah itu jika ada yang berniat menggantikan posisiku. Setidaknya aku belum ingin melepasnya sekarang. Aku harus melakukan sesuatu. Ya. Aku harus melakukan sesuatu.
Jika meminta langsung tidak bisa dikabulkan oleh Bos, maka aku harus memaksanya.
Bagaimana kalau aku culik saja dia?
Benar. Aku masih punya cukup tabungan untuk menghubungi pembunuh bayaran.
Di mana aku bisa menemukan orang-orang semacam itu. Internet? Benar. Di internet.
Tanganku segera mencari informasi dari internet. Mengikuti ke mana laman-laman itu membawaku. Tapi aku langsung bergidik membaca berita -berita yang langsung muncul dengan judul mengerikan.
'Seorang pegawai Bank menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi Bos-nya.'
'Malang sekali. Seorang suami harus meregang nyawa ditangan pembunuh bayaran.'
'Sakit hati di-PHK, seorang wanita menyewa pembunuh bayaran.'
Aku tertegun untuk beberapa waktu, membayangkan seandainya aku menghubungi pembunuh bayaran.
Tidak. Aku tidak ingin mereka membunuh Bos. Dia terlalu tampan untuk meninggal dalam waktu dekat. Aku hanya akan mengancamnya saja.
Lalu seakan semua terjadi, aku melihat dengan jelas bayanganku menjadi nyata di depanku. Di sana, di sebuah sudut ruangan gelap seorang Brian L Jonathan yang tampan itu terikat di kursi kayu dengan bibir yang tertutup sapu tangan. Dia meronta-ronta minta dilepaskan.
"Saya akan melepaskan Bos, dengan satu syarat." Aku mengatakan itu sambil berdiri di depannya dengan kedua tangan di pinggang.
Dia mengangguk ketakutan seperti musang yang berhadapan dengan pemangsa. Walaupun begitu dia tetap terlihat tampan. Jadi aku lepaskan penutup mulutnya dengan perlahan.
"Apa pun yang kamu inginkan, Aleena. Apa pun. Saya bahkan bersedia jadi pelayanmu."
Rasanya menyenangkan sekali mendengar kalimat itu.
"Saya tidak minta hal sulit. Cukup jangan pecat saya, Bos."
Dia mengangguk patuh sambil menangis. "Tentu saja tidak. Kamu masih boleh bekerja di perusahaan. Bahkan kamu tidak akan pernah dipecat seumur hidupmu."
Lalu aku tertawa karena berhasil menang. Posisiku di kantor aman.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Aku sontak menutup laptop sedikit kasar lalu berdiri sambil meringis melihat Pak Bos sudah berdiri di depanku.
Ya ampun, khayalanku barusan membuatku tidak menyadari kedatangan Pak Bos.
Alisnya mengernyit menatapku.
"Kenapa wajahmu begitu senang di depan laptop? Kau sudah mendapatkan pekerjaan lain?"
"Hah? Ti—tidak, Bos. Saya, saya hanya ..." Membayangkan yang sepertinya tidak akan pernah terjadi. "... menonton video lucu."
"Menonton video lucu?"
Aku mengangguk.
"Di saat pekerjaanmu sedang terancam?"
Ah, sialan! Apa yang barusan aku katakan? Tidak adakah alasan lain yang masuk akal di kepalaku?
Lihat sekarang. Wajah itu jelas sekali meremehkanku. Dia bahkan berdiri tegap sambil melipat tangannya di dada kemudian mendengus.
"Kamu belum benar-benar keluar dari kantor, Aleena. Tidak seharusnya kamu bermain di jam kerja. Atau kamu memang ingin segera keluar?"
"Tidak Bos."
"Tapi kelakuanmu sepertinya begitu."
"Maaf."
"Maaf, maaf. Hanya itu yang bisa kamu lakukan? Benar-benar payah. Sekarang periksa agendamu, apa yang akan kita lakukan hari ini. Jangan sampai kita rugi sekali lagi."
"Baik, Boss."
Aku hendak duduk untuk melakukan tugasku. Tapi, dia kembali berbalik hingga aku mengurungkan niatku.
"Oh, ya, Aleena."
"Iya, Boss?"
"Kau tidak perlu mencari pembunuh bayaran untuk menculikku. Karena meskipun aku diculik, kau akan tetap aku pecat."
Wajahku terasa panas melihat Pak Bos melirik laptopku sebelum dia kembali ke ruangannya.
Sialan! Bagaimana dia bisa tahu?