Bab 5 Romansa Membawa Petaka
Bab 5 Romansa Membawa Petaka
Tiga hari ini aku melakukan pendekatan dengan sangat gencar. Setelah menyusun rencana untuk mendapatkan hati Pak Bos, aku bersikap lebih penurut padanya. Saat dia memintaku melakukan apa pun --yang biasanya akan membuatku mendumel-- aku melakukannya dengan sepenuh hati.
Dari mulai dia meminta aku datang ke rumahnya untuk berangkat bersama yang membuatku harus bangun lebih pagi dan jadi bolak-balik karena rumahnya justru di arah berlawanan dengan kantor, sampai mengambilkan kemeja ganti di toko langganannya hanya karena kemeja yang ia kenakan terkena percikan air saat ke toilet.
Aku lakukan itu semua tanpa mengeluh. Meskipun dia seolah tak peduli, aku yakin dia mulai terusik.
Dan hari ini, aku berdiri di depan lemariku sembari mengamati isinya. Kemeja, celana bahan panjang, blazer. Hanya itu yang ada. Dress tidak masuk hitungan karena tidak mungkin aku memakainya untuk ke kantor.
Aku ingat, dulu saat aku baru menjadi sekretaris Pak Brian, aku sering memakai rok span pendek. Tapi melihat ritme kerja Pak Bos, aku mengubah gayaku itu. Bukan apa-apa, terlalu mengganggu jika memakai rok ke mana-mana.
Tapi demi rencanaku, rok yang sudah aku masukkan ke dalam kotak pakaian di lemari paling atas, aku turunkan kembali.
Setelah selesai memilih pakaian dan mengenakannya, aku menyisir rambutku yang hari ini sengaja ingin aku gerai. Ujungnya aku girly hingga jatuh dengan cantik di atas dadaku.
Sempurna.
Aku nampak berbeda di depan cermin. Jika Pak Bos tidak tergoda, aku akan memaksanya.
Sampai di kantor, Adinda menyapaku. Dia cukup takjub akan penampilanku hari ini. Bahkan dia bertanya-tanya, apakah aku dan Bos akan pergi bertemu klien penting. Agar introgasinya tidak menjadi panjang, aku iyakan saja.
Sambil berdendang aku menuju mejaku.
Sekarang baru pukul tujuh lewat, jadi Pak Bos belum datang. Dia tidak menghubungiku untuk berangkat bersamanya pagi ini, maka aku datang sendiri. Berinisiatif lebih dulu, aku menyiapkan sarapan untuknya. Dia memang terbiasa sarapan di kantor, tapi aku baru akan menyiapkannya jika dia meminta terlebih dahulu. Karena aku sedang dalam usaha menjerat hatinya, tentu saja pengecualian untuk hari ini, aku akan menyediakannya meski belum diminta.
Secangkir teh dengan takaran pas -- cangkir baru, dan juga susu-- aku letakkan dalam nampan jika sewaktu-waktu sikap menyebalkannya kembali kambuh. Lalu sandwich yang bahan-bahannya memang disiapkan untuk Bos di kulkas pantry sudah aku susun di piring dengan cantik.
Setelah semua siap di ruangan Pak Bos, aku kembali ke mejaku dengan senyum mengembang di wajah.
Lalu langkah yang sangat aku hapal di luar kepalaku itu datang beberapa menit kemudian. Membawa tubuhku berdiri, aku menunduk sambil menyapanya.
"Selamat pagi, Boss."
"Pagi."
Seperti biasa. Dingin. Tidak berperasaan. Bahkan dia tidak berniat menoleh padaku.
Tenang Aleena. Ini baru saja dimulai.
Aku segera memeriksa agenda apa saja yang akan Pak Bos jalani hari ini. Bukan apa-apa, terlalu sibuk dengan rencanaku, aku sedikit mengabaikan tugas utamaku di perusahaan ini. Namun pintu ruangan Pak Bos terbuka dengan cukup keras hingga membuat tubuhku terlonjak.
"Aleena! Datang ke ruangan saya, sekarang!"
Aku segera berdiri dengan jantung berdegup kencang. Apa aku melakukan kesalahan? Rasanya aku tidak mencapur teh itu dengan garam, tapi wajah Pak Bos terlihat sangat merah.
"Aleena Maharani!"
"Ya, Boss?"
"Ke ruangan saya, sekarang!"
"Ok Boss!"
Mengumpulkan keberanian sambil menghela nafas beberapa kali, aku masuk dengan penuh keyakinan untuk menghadapi apa saja yang akan terjadi di dalam.
* * *
Terkadang tujuan mulia memang akan mengalami banyak kesulitan. Layaknya istri pertama yang menahan hinaan dan cacian demi mempertahankan pernikahan yang di anggap sakral. Nyatanya, istri kedua jauh lebih menggoda.
Andai aku sedang suting ftv adzab di stasiun tv ikan terbang, aku pasti akan menjadi istri pertama yang dominan, bukan malah menangis tak henti meratapi nasib.
Sayangnya, aku bukan artis. Dan aku sedang tidak suting ftv apa pun. Aku hanya berniat membuat Pak Bos kembali pada kodratnya semula. Menjeratnya agar bisa jatuh cinta padaku hingga dia mengakhiri hubungan dengan laki-laki yang waktu itu aku lihat. Makanya, aku berusaha fokus untuk mencari cara agar semua bisa berjalan seperti yang seharusnya.
Tapi sayang, aku yang memang bisa dikatakan tidak ahli dalam hal multitasking malah melupakan tugas yang seharusnya aku kerjakan. Kini, karena kecerobohanku Pak Bos terlihat sangat marah. Aku bahkan bisa melihat asap --dalam imajinasiku-- tengah berterbangan di atas kepala Pak Boss yang memiliki rambut sewarna tembaga.
"Bisa jelaskan bagaimana ini bisa terjadi?"
Suaranya yang sexy itu kini tak membuat hatiku lebih baik seperti biasanya. Karena aku jelas tahu dia sedang menahan amarah di kedua bola mata hitam itu.
"Ma—maaf, Boss."
Hembusan nafasnya terdengar cukup keras. Lalu suara gebrakan meja membuat kepalaku kian tertunduk.
"Sebenarnya, apa pekerjaanmu di perusahaan ini, Aleena?"
Aku meremas kedua tanganku yang terasa kaku di masing-masing sisi tubuhku. "Sekretaris anda, Boss," jawabku lirih.
"Sekretaris saya? Oh, benar. Sekretaris saya. Lalu, apakah tugas sekretaris itu, Aleena?"
Kepalaku semakin tertunduk karena dicekam rasa bersalah. "Mengatur, mengatur, semua jadwal kerja pimpinan. Dalam hal ini, Pak Boss," cicitku dengan sedikit terbata.
"Ya. Mengatur SEMUA jadwal kerja saya. Jadi, bagaimana bisa saya tidak tahu kalau hari ini semestinya saya berada di Paris untuk rapat dengan GNG dan membahas kerja sama untuk acara tahunan perusahaan kita. Apa kau lupa Aleena, bagaimana susah payahnya saya mendapatkan mereka setelah seminggu berada di sana? Dan hanya tinggal selangkah lagi, kamu mengacaukannya dengan kecerobohanmu itu. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan padamu?"
Ya. Itulah masalahnya. Aku lupa. Benar-benar lupa.
"Ma-maaf, Boss." Apalagi yang bisa aku katakan sekarang selain kalimat itu.
"Maaf? Maaf katamu?!"
Aku memejamkan mata saat suaranya meninggi. "Maaf," bisikku.
"Dengan meminta maaf tidak bisa mengembalikan semuanya, Aleena. Project yang bisa menghasilkan ratusan juta gagal hanya karena kerjamu yang tidak becus itu."
"Maaf Boss. Saya janji, tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi."
"Ya. Sebaiknya begitu. Karena saya tidak akan mentolerir kejadian seperti ini lagi. Sekarang, cari perusahaan lain yang bisa bekerja sama dengan kita secepatnya. Kita tidak bisa menunggu, karena acara tahunan sudah harus disiapkan. Saya tidak peduli bagaimanapun caranya, kamu harus mendapatkannya. Kalau kamu tidak berhasil, kamu saya pecat!"
"Boss ...."
"Keluar."
"Tapi bagaimana saya ...."
"Saya bilang, keluar!"
Mengepalkan jemariku dengan kuat, aku langsung keluar dari ruangan itu sambil menahan tangis. Kubawa kakiku memasuki toilet untuk meluapkan semua kesedihanku.
Di antara ruanganku dan pak Bos memang memiliki bilik toilet sendiri, jadi aku bisa menangis dengan leluasa tanpa harus dipergoki karyawan lain.
Entah sudah berapa lama aku menangis. Yang aku ingat, kepalaku terasa berat. Dan saat aku menatap wajahku di depan cermin, aku menemukan mataku yang tidak telalu besar ini, bengkak. Dan hidungku yang tidak sebangir hidung Pak Bos, memerah. Segera saja aku membuka kran untuk mengguyurkan air ke wajahku.
Rambutku yang tadi aku gerai kini aku sanggul karena terlihat sangat berantakan. Mengambil beberapa alat make-up untuk menutupi wajahku yang kacau aku kembali ke mejaku.
Saat aku menatap ruangan Pak Bos, aku tak melihatnya di kursi kebesarannya itu. Bahkan saat aku mengintip dari dinding kaca, dia tak ada di mana pun.
Apa dia pergi? Tapi, ke mana?
* * *
Terik matahari yang begitu menyengat membuat rambutku terasa lepek akibat keringat. Bukan tak bersyukur akan sinarnya yang menerangi bumi, hanya saja tak bisakah untuk saat ini saja sedikit redup? Tidak tahukah dia kalau sekarang, di tengah jalanan kota Jakarta aku sedang berpacu melawan waktu. Ini gata-gara taxi sialan itu. Aku sedang buru-buru dia justru mogok tak tepat waktu. Makanya aku berakhir berlari untuk mencapai restoran tempat aku membuat janji temu.
Susah payah dua hari ini aku menghubungi pihak Samantha Fashion untuk bekerja sama dengan L-Magazine. Aku bisa mati jika pertemuan ini gagal.
Aku tahu ini terdengar berlebihan. Tapi jika aku kehilangan pekerjaanku, maka impian Ali untuk memakai toga tahun ini akan pupus.
Ya. Aliando Maheru --adik laki-lakiku satu-satunya-- sedang dalam proses mendapatkan gelar. Dia lima tahun lebih muda dariku. Karena Almarhum Bapak meninggal tiga tahun lalu, biaya kuliah Ali berpindah di pundakku saat itu juga. Jadi, meski gajiku terbilang lumayan, aku masih belum bisa membeli rumah sendiri seperti impianku.
Keluarga kami adalah keluarga yang sederhana. Aku terlahir di cirebon dengan penuh kasih sayang. Bapak adalah seorang PNS, dan beliau memiliki bengkel di rumah karena sangat menyukai mesin. Sementara Ibu adalah Ibu rumah tangga biasa. Ketika Bapak meninggal karena sakit jantung yang sudah terlanjur parah, maka ekonomi keluarga tentu saja tak seperti sebelumnya. Ibu menutup bengkel dan membiayai hidup sehari-hari dengan menghemat gaji pensiunan Bapak. Tabungan untuk kuliah Ali pun tidak banyak, bahkan uang itu hanya bisa mencukupi kebutuhannya sampai di semester tiga.
Beruntung saat itu aku sudah menjadi pegawai L-Magazine. Maka setiap bulan aku selalu mengirim setengah gajiku pada Ibu. Hingga Ali yang berniat berhenti kuliah tak jadi melakukannya.
Tapi kini perjuangan kami bertahun-tahun lalu akan musnah karena kecerobohanku.
Sungguh romansa yang membawa petaka.
Aku membuka pintu restoran dengan nafas yang tersengal. Lalu berjalan menghampiri seorang pelayan yang sedang membersihkan sebuah meja di pojokan.
Dan jawaban dari pertanyaanku membuat hatiku yang sudah patah kian remuk. Baru saja, sepuluh menit yang lalu orang yang dikirim Samantha Fashion meninggalkan restoran ini bersama mobilnya.
Aku terhuyung ke belakang hingga pinggangku menabrak ujung meja. Tak mampu menahan tangis, aku sesegukan sambil terduduk di lantai.
"Maafkan Mbak ... Ali. Maafkan, Mbak."