Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Rencana Besar

Bab 4 Rencana Besar

Aku tahu kehidupan orang kaya itu memang menakjubkan. Tapi, aku tidak tahu kalau rahasia yang disimpan Brian L Jonathan yang terhormat semengerikan itu.

Tidak. Tidak. Ini tidak benar. Aku harus menghapusnya dari memoriku.

Lupakan Aleena. Lupakan.

Aku segera menyeret tubuhku kembali ke tempat di mana Eva, Risa dan Fera berkumpul. Berlari sejauh mungkin dan mengabaikan panggilan dari Pak Bos.

"Al, kamu dari mana?"

Aku tidak punya kekuatan untuk menjawab pertanyaan Eva, yang aku lakukan justru mengambil gelas entah milik siapa. Rasanya tenggorokanku seperti terbakar saat cairan yang kuhabiskan dalam sekali teguk berhasil masuk.

Suara bising yang tadi memenuhi indra pendengaranku terasa mulai menjauh setelah beberapa saat. Tidak hilang, hanya terdengar samar-samar seperti radio milik Almarhum Bapak yang speakernya mulai rusak.

Tubuhku terasa begitu ringan hingga aku yang duduk di kursi terasa melayang. Entah apa yang keluar dari mulutku yang pasti aku mendengar tawa Eva samar-samar.

Lalu pandanganku mulai berkunang, aku bahkan melihat Eva ada lima. Apa dia sedang menjadi Naruto? Jurus seribu bayangan. Oh, aku tidak suka film itu, sejak kecil aku dipaksa Ali --adikku-- untuk menontonnya bersama, padahal aku lebih suka menonton sinetron adzab.

Aku tak bisa melihat apa pun lagi dengan jelas, mataku seolah merayu untuk segera aku pejamkan. Tapi suara seseorang terasa begitu dekat di telingaku. Tunggu, sejak kapan Eva memiliki suara sexy seperti milik Pak Bos.

Alah, persetan dengan laki-laki itu. Aku mengantuk.

* * *

Entah bagaimana aku bisa berada di kamarku saat ini. Aku tak ingat apa pun setelah berlari meninggalkan Bos dan pacarnya usai berhasil menghentikan tangisku. Seingatku, aku kembali ke meja di mana hanya ada Eva. Aku meminum entah gelas siapa untuk menenangkan diriku, lalu setelah itu, semua terasa seperti mimpi. Suara samar-samar serta gerakan yang tidak bisa aku lihat jelas setelahnya seolah tertutup kabut yang cukup pekat.

Aku bersandar di headboard sambil mengurut pelipisku yang terasa berat. Lalu aku dipaksa menjemput kesadaranku oleh suara ponsel yang terdengar nyaring.

Ya ampun, ingatkan aku untuk mengecilkan volumenya lain kali.

Mengerjapkan mata beberapa kali aku terperanjat melihat nama 'Boss Galak' muncul dilayar ponsel.

"Halo, Boss?" sapaku dengan suara sedikit serak. Ah, aku butuh minum. Di mana aku meletakkan air putih? Oh iya, aku bahkan tak sempat menyiapkannya.

"Sudah sadar?"

"Hah?"

"Cepat datang ke kantor, sekarang!"

Aku melirik jam weker di atas nakas dan mengumpat saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan.

"Kau mengumpat padaku, Aleena?"

"Tidak Boss! Saya hanya ...."

"Tidak perlu menjelaskan. Sekarang cepat datang ke kantor. Kita ada rapat."

"Siap Boss!"

Aku segera melempar ponsel ke atas ranjang lalu bergegas turun. Tapi karena tak hati-hati aku justru tersandung selimut hingga tubuhku tersungkur ke lantai.

"Aduh! Sakit!" Rasanya aku ingin menangis, tapi sepertinya aku bahkan tak punya banyak waktu untuk itu. Menyeret tubuhku ke kamar mandi, aku mencoba mengguyur badanku dengan air dingin agar syarafku bisa berfungsi dengan semestinya.

Setelah mengambil kemeja biru juga celana bahan panjang berwarna hitam, aku mengenakannya dengan serampangan. Lalu rambut yang sengaja tidak kukeramas, aku sisir dan aku ikat kebelakang menggunakan jepit pita yang tersusun di meja riasku.

Aroma mawar menusuk hidungku hingga menyebabkan aku terbatuk. Kulemparkan saja botol parfum sialan itu ke atas ranjang. Sedikit bergegas aku hanya memakai makeup sederhana --nanti bisa ditambahi di kantor saja-- lalu meraih tas dan berlari keluar kontrakan menuju gerbang gang tempat di mana ojek berbaris.

Hari ini aku kesiangan, Jakarta bukanlah kota yang bersahabat untukku yang sedang terburu-buru, tak ada waktu untuk memesan taxi online jadi aku meminta mamang ojek untuk mengantarku segera ke L-Magazine.

Dan nafasku serasa putus setelah aku sampai di mejaku sambil berlarian. Tanganku menarik kursi agar aku bisa mengistirahatkan tubuhku. Aku duduk lalu mengurut kepalaku yang masih terasa pusing.

Tanganku kemudian manarik laci meja untuk mengambil obat sakit kepala yang persediaanya mulai menipis karena sering aku minum belakangan ini. Tentu saja begitu, karena kepalaku tidak berhenti berdenyut menghadapi kelakuan Bos.

Setelah aku selesai minum obat sakit kepala, pintu ruangan Bos terbuka. Aku sontak mendongak.

"Kau sudah datang?"

Sedikit sempoyongan aku langsung berdiri. "Ya Boss!"

"Kalau begitu sekarang kita ke ruang rapat."

"Ok Boss!"

* * *

Rapat kali ini adalah neraka bagi staf desain. Eva dan Risa tak henti meminta maaf saat Bos menceramahi mereka. Dia menginginkan cover majalah yang elegan, walau konsep yang akan di usung adalah muda dan ceria.

Aku bahkan beberapa kali mengelus dadaku saat suara tegas penuh aura dingin keluar dari seorang pimpinan. Sebenarnya Bos itu kalau marah suka mengeluarkan bahasa Inggrisnya yang seperti kumur-kumur. Karena itu aku tak bisa mendengarnya dengan baik. Jadi terkadang aku diam bukan hanya karena menahan sakit ditelingaku tapi juga karena aku tidak cukup ahli untuk menerjemahkannya.

Biasanya aku akan menghujat Bos saat dia mulai marah-marah. Tapi kali ini aku sependapat dengannya, makanya aku tak bisa membela tim desain. Bagaimana tidak, desain yang mereka ajukan kemarin memang terkesan norak, bukan L-Magazine sekali. Tapi, harusnya Pak Bos tidak perlu semarah itu. Kasihan Risa, semalam dia pasti mabuk berat, bahkan lebih dariku.

Hanya saja yang kami hadapi sekarang ini adalah Brian yang terhormat, tentu saja alasan apa pun tak akan membuatnya berhenti marah.

Ya, ya, ya. Ini perusahaan dia, jelas terserah dia.

"Kenapa kau mengangguk-angguk seperti boneka anjing di mobilku, Aleena?"

"Hah?"

Tatapannya yang tajam itu membuat aku sontak menunduk. "Maaf Boss."

"Jika kau masih mengantul kau boleh kembali ke rumah. Dengan catatan tak perlu ke kantor lagi besok-besok."

Itu namanya aku dipecat. "Tidak Bos."

"Kalau begitu perhatikan rapatnya."

Iya, yang mulia. "Ya Bos."

Setelah itu aku berusaha fokus pada apa yang menjadi keputusan rapat.

Aku pikir setelahnya semua akan kembali baik, tapi ternyata Pak Bos sepertinya punya dendam padaku. Ya,

aku tahu Brian itu memang menyebalkan. Dia tidak bisa jika tidak membuatku naik darah. Tapi hari ini dia berkali lipat dari biasanya. Bagaimana tidak, setelah rapat dia langsung memerintahkan aku untuk membuatkannya teh seperti biasa. Hanya saja kali ini, dia tidak meminumnya seteguk pun.

Cangkir pertama.

"Kenapa teh ini berwarna kuning? Kurang pekat. Ganti."

Cangkir kedua.

"Apa tidak ada cangkir lain? Aku bosan dengan yang itu. Ganti."

Cangkir ketiga.

"Aromanya tidak seharum biasa. Ganti."

Cangkir keempat.

"Sepertinya jika ditambah susu lebih enak. Ganti."

Cangkir kelima.

"Aku sudah tidak tertarik lagi untuk minum teh. Bawa keluar."

Aaaaaaah!

Aku akan melempar semua cangkir ini ke wajahnya hingga dia berteriak kesakitan dan meminta ampun padaku!

Sungguh. Akan kulakukan itu andai saja ... aku tidak ingin lagi bekerja di sini.

Brian L Jonathan, sialan!

Aku meletakkan lima cangkir yang kubawa dalam nampan ke atas meja pantry. Beberapa kali aku mengumpat melampiaskan emosi yang sejak tadi kutahan hingga membuat Pak Bejo yang sedang duduk mengernyit menatapku.

Aku mengangkat tanganku ke udara saat melihat pria berumur itu hendak membuka mulutnya. "Jangan katakan apa pun Pak. Aku sedang tidak ingin bicara," ucapku sambil menggelengkan kepala. Lalu aku kembali ke mejaku dengan langkah lesu.

Menggeser kursi aku meletakkan pantatku dengan nyaman. Lalu pemandangan di depanku membuat aku memiringkan kepala. Di sana, di dalam ruangan besar itu. Seorang Brian tengah tertawa sambil memegang ponsel di telinga kanannya.

Wow! Dia tertawa? Siapa yang bisa membuatnya tertawa seperti itu?

Tunggu. Jangan bilang kalau dia sedang menghubungi ... pacarnya?

Kenangan yang berhasil aku lupakan beberapa waktu ke belakang kembali tergambar jelas di kepalaku. Bagaimana tengkuk Pak Boss dilingkari kedua tangan hingga tubuh mereka menempel. Lalu ... lalu ...

Iyyyyucchh!!

Aku tidak ingin mengingatnya. Tidak. Tidak.

Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Seorang Brian L Jonathan tidak seperti itu. Dia adalah perwujudan laki-laki sejati yang pernah ada. Secara fisik dia sangat sempurna. Tubuhnya tinggi tegap. Memiliki rahang yang amat tajam. Tatapan mata yang mampu melelahkan gunung es. Ditambah sikap dingin yang membuat dia semakin menarik. Bagaimana bisa laki-laki seperti dia menyukai seorang ... laki-laki.

Tidak. Ini tidak benar.

Aku merasa amat terhina jika dia memiliki hubungan dengan sesama jenis.

Ya Tuhan, apa enaknya main pedang-pedangan Pak Bos. Sadarlah! Sadarlah!

Aku kembali menghadap laptop saat dia memergokiku sedang menatapnya. Lalu seketika aku mendengar tirai ruangannya ditutup.

Ck ck ck. Aku tidak akan tinggal diam. Sepertinya aku harus menyusun rencana besar untuk ini. Membuat seorang Brian kembali pada kodratnya. Dia harus mengakhiri hubungan dengan pria itu. Dan aku akan membuatnya mengakhiri hidup yang tidak benar itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel