Bab 3 Kejutan Tak Terduga
Bab 3 Kejutan Tak Terduga
Suara dentaman musik terdengar berisik di tengah keramai Angel's --nama klub malam-- yang biasa kami datangi saat sedang suntuk. Tadinya aku tak ingin membuat masalah jika aku sampai mabuk. Tapi kecerobahanku membuat Pak Boss marah besar hingga perasaanku jadi tidak enak.
Gila! Aku sampai ditinggal sendirian! Menyebalkan!
"Al? Kenapa?"
Aku meletakkan gelas martiniku --yang baru aku sesap-- ke meja lalu menoleh pada Eva yang duduk di sampingku. Sekarang kami hanya tinggal berdua, Risa dan Fera sudah bergoyang di lantai dansa dengan begitu asiknya.
"Aku membuat kesalahan, Ev. Ya ampun, aku menghubungi Sahara padahal Bos memintaku menghubungi desainer lain."
"Maksudmu untuk mengisi kolom tamu bulanan?"
"Ya."
"Bagaimana bisa?"
"Aku salah mengambil kartu nama. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, bagaimana aku bisa seceroboh itu."
"Ck ck ck. Boss pasti marah besar."
"Tidak. Dia tidak marah. Hanya saja dia meninggalkanku di parkiran gedung Sahara."
Seharusnya aku tak perlu bercerita pada Eva. Karena mengenalnya tiga tahun cukup membuatku sadar dia tidak akan mengasiahaniku. Lihatlah dia, tawanya bahkan masih terdengar jelas mengolokku meski dentuman musik memekakkan telinga.
"Lalu apa yang kau lakukan pada Sahara?" Setelah tawanya reda, Eva kembali mengajakku bicara.
"Aku tidak jadi menemuinya malam ini. Aku beralasan harus ke rumah sakit karena ambienku kumat. Biar besok saja aku datang dan minta maaf pada mereka."
Tawa Eva semakin keras saat mendengar alasanku.
Ya, aku tahu terdengar tidak elit sekali penyakit yang kupilih. Bagaimana lagi, hanya itu yang terpikir olehku saat menghubungi mereka tadi. Meski aku sendiri tidak memiliki riwayat penyakit di daerah paling pribadi umat manusia itu.
Aku menatap lampu-lampu sorot yang kini menambah pusing di kepalaku. Sekarang aku justru ragu, pergi ke sini bukannya menghilangkan penat malah menambah beban.
Ah. Apa aku berdansa saja?
"Hei girl's! Apa yang kalian lakukan di sudut ruangan?! Ayo kita turun! Tunjukkan pada dunia kalian adalah bidadari!"
Aku menggeleng saat melihat Risa menyesap vodkanya. Sepertinya dia sudah mulai mabuk. Dia bahkan sedikit menyeret tubuhnya agar bisa menghampiri kami. Sementara Fera entah dengan siapa dia berdansa. Karena aku hanya melihat punggung seorang laki-laki yang membelakangi kami.
"Berikan aku satu gelas lagi!" Teriakan Risa membuatku menoleh kembali padanya.
Risa adalah gadis yang manis, dia dua tahun lebih muda dariku. Dulu beberapa tahun yang lalu saat dia baru memasuki L-Magazine, dia beberapa kali meminta aku menyoblanginya dengan Pak Bos. Sayang, Pak Bos menolaknya mentah-mentah. Tapi laki-laki itu tidak menunjukkannya langsung di hadapan Risa. Dia hanya bersikap sedingin es.
"Risa baru dicampakkan, jadi kau harus memakluminya, Al." Eva berbisik di telingaku.
Oke, aku paham. Cinta dan segala rasa sakitnya. Aku bahkan kenal baik rasa itu. Bahkan kami mulai bersahabat sejak tiga tahun lalu.
"Kita turun, Al?"
Aku melihat suasana malam semakin panas, sepertinya tidak salah jika aku sedikit menggoyangkan tubuhku yang sudah dipaksa kerja rodi oleh Pak Bos. Urusan desainer yang salah orang, pikirkan itu besok saja.
Melepas ikat rambut kuncir kudaku aku langsung berdiri. Eva berdecak saat wajahnya terkena goyangan rambut panjangku. Namun, saat aku menoleh padanya kami sontak berteriak bersama sambil mengangkat kedua tangan ke udara mengikuti musik yang dipilih oleh DJ.
Tubuhku terasa begitu ringan saat aku bergerak tanpa aturan. Bahkan tanpa kusadari Eva mulai menjauh dariku. Tak masalah, dia bisa bebas melakukan apa pun seperti diriku. Kadang aku tak sengaja menyentuh seseorang, tapi aku tidak peduli, ini 'kan tempat keramaian, jadi aku terus berdansa hingga ada laki-laki asing mendekatiku. Dia cukup tinggi, setinggi Bosku. Tapi dia tidak memiliki rahang tegas miliknya.
"Hai!"
Bahkan suaranya yang cukup keras terdengar sangat berbeda dari Brian L Jonathan. Tidak sexy sama sekali.
Aku menggeleng pelan. Ada apa denganku? Kenapa aku justru mengingat Bos tidak punya hati itu.
Menarik kedua sudut bibirku aku menatapnya. "Hai," jawabku.
"Sendiri?" Pertanyaan basi. Jika aku datang bersama teman laki-lakiku, tentu saja kau tidak bisa menghampiriku. Namun, aku mengangguk tanpa menghilangkan senyumku.
"Bisa aku temani?"
Terserah.
Aku mengangkat kedua bahuku tidak peduli.
Beberapa menit kami sibuk berdansa, aku mencoba menjauh setiap kali laki-laki di depanku menempelkan tubuhnya. Aku tau seharusnya aku sadar tempat ini bukanlah tempat suci. Tapi selama ini aku selalu menjaga diriku agar tidak terlalu dekat dengan orang asing. Karena aku tidak ingin berakhir di kamar hotel tanpa pakaian dengan orang tak dikenal.
Aku melihat Eva sudah kembali ke kursi kami, maka dengan bersikap sopan aku menjauh dari partner dansaku untuk menyusulnya. Tapi baru beberapa langkah, aku melihat sebuah punggung yang tidak asing di mataku sedang berdansa di sudut ruangan. Bahkan kemeja yang laki-laki itu tengah kenakan, aku sendiri yang membelikannya, ya walaupun bukan dengan uangku.
Tapi sungguh, aku mengenalinya.
Brian L Jonathan.
Tidak salah lagi. Itu memang dia. Aku melewati beberapa orang untuk bisa mencapainya. Tapi langkahku kembali terhenti saat aku melihat apa yang tengah dia lakukan.
Oh Tuhan!
Seorang Brian sedang berciuman!
Ini sungguh kejutan tak terduga.
Tunggu. Jadi dia punya pacar? Lalu kenapa dia menyembunyikannya? Tapi siapa wanita itu? Dia tidak seperti Casandra? Aku harus mencari tahu.
Eh, mereka mau ke mana?
Aku memacu langkahku mengikuti mereka dengan pelan-pelan. Tidak ingin ketinggalan, tapi juga jangan sampai ketahuan.
Aku bersembunyi di balik dinding saat Pak Boss dan pacarnya duduk di area yang tidak terlalu berisik. Dari tempatku berdiri sekarang aku bahkan bisa mendengar apa yang mereka ucapkan.
"Sayang, aku sangat lelah. Bisa tuangkan aku minuman?"
"Tunggu sebentar."
"Tentu saja. Aku bahkan siap menunggumu seumur hidupku."
Tawa keduanya mengudara. Seperti pasangan yang sedang dimabuk asmara.
Tapi, kenapa aku merasa ada yang aneh ya?
Suara wanita itu terdengar berbeda dari wanita kebanyakan. Sedikit lebih manly. Ah, aku sangat penasaran. Kenapa dia justru membelakangiku.
Aku segera kembali menyembunyikan tubuhku saat kepala Pak Bos hendak mengarah ke tempatku berdiri.
Tapi beberapa menit kemudian aku kembali menjulurkan kepala dan telingaku mencoba mendengar semua yang mereka bicarakan.
Berdiri lumayan lama membuat kakiku kram. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku harus mencari tahu wanita mana yang mau menjalin hubungan serius dengan Brian yang sombong itu.
Darahku seketika berdesir, dan wajahku terasa ikutan kram Saat wanita yang bersama Pak Bos justru membuka rambut panjangnya yang ternyata ... wig.
"Oh ... My ... God!"
Tanpa sadar aku berteriak histeris hingga kedua orang itu menoleh ke arahku. Sepertinya kakiku tidak bisa menapak bumi dengan benar karena tulang-tulangku tidak berfungsi baik. Aku terhuyung ke belakang hingga terduduk di lantai setelah menabrak entah apa yang suaranya justru terdengar nyaring.
Dua sosok tinggi itu berlari menghampiriku. Dan sekarang, mereka justru tengah berdiri di depanku. Perlahan aku mengangkat kepala agar bisa melihat mereka dengan jelas. Rasanya aku seperti tertampar saat mengenali dengan baik laki-laki dihadapanku, sungguh Brian L Jonathan pemilik L-Magazine yang kukenal selama ini tengah menatapku dengan wajah terkejutnya.
Lalu, aku berpaling pada laki-laki ... tidak, maksudku wanita ... Ya Tuhan, bagaimana bisa wanita memiliki jakun?
Apa dia termasuk makhluk langka?
Atau dia datang lebih awal, saat pembagian jakun untuk laki-laki dia justru maju duluan, makanya dia kebagian.
Aku pasti sedang bermimpi buruk!
Iya. Aku sedang bermimpi. Sebaiknya aku kembali tidur agar saat bangun semua ini menghilang.
Aku membawa tubuhku berguling di lantai, lalu meringkuk dengan nyaman.
"Aleena."
Tidak! Itu bukan suara Pak Bos. Itu halusinasiku saja. Mungkin martini yang tadi kuminum sudah membuat aku mabuk tanpa sadar.
"Aleena, bangun."
Tidak mau! Tidak!
Tubuhku tersentak saat sebuah tangan menyentuh lenganku.
"Aleena Maharani!"
"Ya Boss!"
"Bangun sekarang!"
"Ok Boss!"
Aku langsung terduduk dan menatap keduanya bergantian. Entah datang dari mana ledakan air mataku, karena tanpa kusadari pipiku sudah basah.