Bab 2 Masih Bisa Bertahan
Bab 2 Masih Bisa Bertahan
Siang ini kantor cukup sibuk. Dan Pak Bos sedang dalam mode bertanduk dua. Panasnya ruangan bahkan lebih panas dari luar meski AC tengah menyala.
"Dasar sialan! Agensi mereka benar-benar merasa di atas angin!"
Sebuah majalah bulan lalu terlempar dari atas meja Boss saat dia membantingnya dengan kasar. Aku segera mengambilnya lalu meletakkan perlahan kembali ke meja. Sekilas aku melihat wajah Aluna Sarasvati menghiasi cover majalah TREN saingan perusahaan ini. Dia model baru, masih muda dan sudah menjadi wajah dari berbagai produk kecantikan. Dan dia adalah target kami bulan ini.
"Hubungi pihak Jaya Agency, bilang kita bisa membayar Aluna lebih tinggi dari bayaran yang diberikan TREN." Ultimatum Bos membuat lamunanku buyar.
"Baik Boss!"
"Lalu, bagaimana dengan F Agency?"
"Tadi pagi mereka menghubungi saya Bos."
"Apa yang mereka katakan?"
Aku membenahi posisi berdiriku agar tidak gentar menghadap Bos. "Mereka bilang, penampilan model mereka di majalah bulan lalu terlalu sedikit, Bos. Harusnya Casandra menjadi model cover edisi bulan ini."
"Dan, apa jawabanmu?"
"Saya bilang kalau Casandra tidak cocok dengan konsep kita."
"Lalu?"
"Konsep kita bulan ini mengusung tema muda dan ceria. Sementara Casandra, 'kan sudah mendekati angka 30. Lalu mereka marah."
Tubuh tegap yang terbalut dalam setelah kerja berwarna navy itu berbalik. Lalu kepala Boss menggeleng pelan sambil menatapku. "Tentu saja mereka marah! Kau menghina aset mereka, Aleena!"
Aku bergidik mendengar suara Bos yang lumayan berat itu naik satu oktaf. Apa Bos tidak berniat jadi penyanyi sariosa saja kalau suka berteriak seperti itu? Ya walaupun dia sudah cukup tua untuk ikut audisi.
"Tidak bisakah kau memperhalusnya sedikit?"
Memperhalus bagaimana? Intinya 'kan wanita berambut merah itu tidak dibutuhkan lagi.
Eh, ngomong-ngomong. Aku lumayan senang karena wanita genit itu sudah tidak bekerja sama lagi dengan L-Magazine, dengan begitu aku tidak perlu melihatnya menempel pada Bos lagi.
"Aleena?"
Aku tersentak, kemudian menunduk. "Ta-tapi, 'kan saya hanya bicara jujur Bos."
"Kejujuran yang tidak pada tempatnya."
"Maaf Boss."
"Lalu, Itu kenapa kau membawa contoh bobrok seperti itu." Jari telunjuk Pak Bos mengarah pada contoh cover bulan depan. "Bagaimana bisa, L-Magazine menampilkan cover dengan warna hijau? Bilang pada pihak desain untuk melakukan rapat besok denganku."
"Siap Boss."
"Sekarang, hubungi pihak desainer ini. Kita akan bekerja sama dengannya untuk edisi tamu bulanan."
Aku segera mengambil kartu nama yang Bos berikan dan meletakkannya di dalam saku blazerku.
"Dan jangan hiraukan komplain dari F Agency. Casandra sudah tidak akan jadi model kita lagi. Paham?"
"Paham Boss!"
"Kamu boleh keluar sekarang."
"Baik Boss!"
Dengan kepala tertunduk, aku kembali ke mejaku. Baru saja aku meletakkan pantat pada kursi kesayanganku untuk meregangkan pinggang, benda berwarna hitam yang aku letakkan di pojokan meja berbunyi.
"Apa?" ucapku lesu.
"Al, ada telepon untuk Boss dari F Agency?"
Aku menghela nafas kesal. "Lagi?"
"Iya. Mereka ingin bicara langsung dengan Boss."
"Tidak, tidak. Jangan. Sambungkan saja padaku."
"Oke. Tunggu sebentar."
Suara berisik terdengar di seberang sana lalu aku mendengar suara Adinda digantikan suara seorang laki-laki. Apa ini pimpinan F Agency?
"Selamat siang?"
"Siang."
"Ini dengan Mbak Aleena?"
"Iya, saya. Ada yang bisa dibantu?"
"Mbak. Saya perlu bicara langsung dengan Pak Brian. Bagaimana dengan kerja sama F Agency bulan ini? Casandra masih bisa dipakai, 'kan?"
"Maaf, Pak. Untuk konsep bulan ini, kami tidak memakai Mbak Casandra dulu."
"Kenapa?"
Tadi 'kan sudah saya bilang! Model anda ketuaan!
Aku menghela nafas beberapa kali agar suara yang keluar dari mulutku tidak terdengar menyebalkan. "Saya sudah jelaskan tadi pada pihak anda, karena konsepnya tidak cocok."
"Memang apa konsep L-Magazine bulan ini?"
"Muda dan ceria."
"Oh, oke. Saya paham. Tapi, bisa saya bicara sebentar dengan Pak Brian?"
Aku memiringkan badan untuk mengintip Pak Bos dari balik dinding kaca ruangannya. Beliau terlihat tengah membuka-buka berkas sambil mengurut pelipisnya.
Oh, tidak! Jika aku ingin hidup sampai besok, aku tidak ingin mengganggunya.
"Maaf, Pak. Bos sedang tidak bisa di ganggu."
"Lalu, kapan pihak kami bisa bicara dengannya?"
"Em. Saya belum tahu, Pak. Karena jadwal Pak Bos sedang sangat padat."
"Bisa carikan waktu untuk kami, Mbak Aleena? "
Aduh! Orang ini ngeyel sekali.
"Saya usahakan, Pak."
"Oke. Kalau begitu, terima kasih Mbak Aleena. Selamat siang."
"Selamat siang."
Ya Tuhan! Kepalaku mau pecah kalau begini.
Tunggu. Tadi Bos minta aku melakukan apa ya?
Ah, bodo amat aku mau ke toilet sebentar.
* * *
Baru saja aku kembali dari toilet, telepon di mejaku berbunyi. Jika lampu merah menyala itu tandanya pimpinan perusahaan yang sedang menghubungiku. Maka aku segera meraihnya.
"Iya, Boss?"
"Bawakan saya makan siang, seperti biasa. Sekarang!"
"Baik Boss!"
Meletakkan gagang telepon pada tempatnya aku langsung berjalan menuju pantry.
"Pak Bejo!"
"Iya, Mbak Aleena?"
"Tolong pesankan makan siang untuk Bos seperti biasa, dan bawakan ke meja saya kalau sudah siap."
"Baik Mbak."
Menuju kembali ke ruanganku, aku melihat Risa dan Eva sedang merumpi. Mereka adalah staf desain, bisa-bisanya bersantai saat Boss sedang bekerja. Aku laporkan pada Boss baru tahu rasa mereka.
"Hei, kalian ngapain?" Aku berjalan menghampiri keduanya.
"Ini, Al. Malam ini kita mau clubbing, kamu mau gabung?" Suara Eva terdengar begitu bersemangat. Bahkan mata coklatnya berbinar.
"Gila! Ini masih hari senin woy! Clubbing apaan? Kalian mau dipecat sama Bos? Beliau lagi mode bertanduk. Konsep kalian bahkan dibilang bobrok sama dia. Besok Bos minta kalian semua hadir untuk rapat membahas ini." Aku memberikan senyum sombong pada mereka saat wajah-wajah ceria itu terlihat memucat.
"Serius Al? Aduh. Pak Brian benar-benar keterlaluan. Kita 'kan butuh refreshing." Dan benar saja. Risa yang memiliki tinggi 169 cm sama persis seperti tinggiku menepuk kepalanya.
"Tahu tuh. Ganteng-ganteng judes." Aku mengangguk setuju saat Fera staf bagian promosi menghampiri kami dengan secangkir kopi di tangannya.
"Kemarin aku bahkan dibentak gara-gara salah promosi di instagram. Padahal, 'kan bisa ngomong baik-baik."
"Bos 'kan memang begitu. Bisa kalian bayangkan bagaimana jadi aku?"
"Aku mungkin tidak akan bertahan sampai lima tahun jika jadi kau, Aleena." Eva menepuk pelan punggungku dengan wajah prihatin.
"Aku juga," timpal Risa.
Sebenarnya jika bukan karena gaji yang lumayan aku juga akan berhenti beberapa tahun lalu. Tapi entah sekarang, aku pikir aku sudah terlalu nyaman, jadi meski terkadang Bos menyebalkan aku masih bisa bertahan.
"Apa Bos kurang belaian ya?"
Dahiku mengernyit mendengar ucapan Fera. Belaian? Ah, aku tahu.
"Bisa jadi. Belakangan dia jarang pergi ke klub. Entah kenapa."
Ketiga teman kantorku mengangguk setuju setelah aku memberi jawaban itu.
Aku kembali ke ruanganku setelah membawa makanan pesanan Bos yang sudah disiapkan Pak Bejo. Setelah meletakkannya di ruangan beliau, aku baru ingat kalau aku harus menghubungi seseorang. Tapi aku lupa meletakkan di mana kartu nama desainer yang Bos berikan tadi. Dan raut panikku langsung menghilang saat benda kecil persegi itu kutemukan di dalam laci.
* * *
Sinar mentari yang tadi serasa membakar kepala Pak Bos sekarang sudah tergantikan dengan sinar jingga. Harusnya aku pulang seperti teman-teman kantorku yang lain. Tapi sekarang aku justru terperangkap di meja kerjaku.
Mama, kenapa aku berbeda?
Tentu saja jawabannya, karena aku adalah sekretaris Brian L Jonathan yang terhormat.
Tepat pukul delapan malam kami harus bertemu dengan desainer yang tadi siang aku hubungi. Jadi setelah makan malam dengan nasi padang yang aku titip dari Pak Bejo, aku segera mengetuk pintu ruangan Pak Bos yang juga sudah menyelesaikan makan malamnya.
Dia memakai kembali jasnya saat melihatku, lalu dengan isyarat mata dia memintaku membereskan sisa makananya. Dengan senyum yang aku paksakan di wajahku, aku melakukannya dengan cepat.
Kami berada di mobil menuju kantor di daerah Kemang tempat janji temu. Tak ada suara. Pak Bos sibuk dengan gawainya sementara Joni --supir Pak Boss-- tidak berkomentar apa pun seperti biasa. Perjalanan yang sangat membosankan.
Aku merapikan celana bahan yang aku pakai setelah keluar dari mobil. Namun aku melirik sisi mobil yang di tempati Pak Bos, dia justru tidak ingin keluar.
Alhasil aku kembali menunduk membuka pintu mobil.
"Boss, kenapa belum turun?" tanyaku.
Dadaku berdentam saat melihat wajah Pak Bos yang tidak bersahabat. Matanya yang segelap malam itu makin terlihat gelap.
Apa aku melakukan kesalahan?
"Kenapa, Boss?" tanyaku lirih.
"Aleena Maharani! Siapa sebenarnya yang sudah kau hubungi?"
"Hah?!"
"Seingatku kita sudah mengakhiri kontrak dengan Sahara. Lalu bagaimana bisa, kita berada di parkiran gedung mereka?"
Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. "Ma-maaf Boss. Seingat saya, saya menghubungi nomor yang ada di kartu nama yang Boss berikan siang tadi."
"Jadi maksudmu saya yang melakukan kesalahan?"
"Bu-bukan. Maksud saya. Saya hanya menghubungi nomor yang ...."
Tunggu.
Aku meraba saku blazerku lalu menemukan kartu nama yang Bos berikan siang tadi. Lalu kartu nama yang di laci?
Mati aku!
Berarti aku yang salah menghubungi orang.
"Boss! Maaf."
"Saya tidak mau tahu. Selesaikan sendiri. Dan, kamu pulang naik taksi. Saya harus pergi. Joni, jalankan mobilnya."
"Boss!"
Dia mendorong tubuhku hingga pintu tertutup menyisakan aku yang berakhir sendirian di parkiran gedung Sahara.
"Aish. Apa yang harus aku katakan pada mereka?" desisku lirih, masih kebingungan sendiri saat ini.
Ponselku bergetar di dalam tas, sembari menghela nafas aku mengangkat panggilan dari Eva.
"Ya?"
"Al, Jadi ikut Clubbing tidak?"
"Hmm? Clubbing? Baiklah, aku akan menyusul. Otakku butuh dicuci sekarang."
Ya. Sepertinya minum segelas martini tidak akan membuatku mati.