Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Si Rambut Merah

Bab 1 Si Rambut Merah

Menjadi seorang sekretaris adalah impianku saat di bangku kuliah dulu. Karena kudengar, jika menjadi seorang sekretaris aku akan cepat mengumpulkan pundi-pundi uang. Dengan begitu, aku bisa segera membeli rumah agar tak perlu tinggal di kontrakan lagi atau membawa pulang mobil dari hasil gajiku yang pasti lumayan besar agar tak perlu menunggu taksi jika ingin ke mana pun.

Bukan hanya itu. Aku juga dengar dari beberapa orang mantan sekretaris kenalanku, mereka bisa pergi ke luar kota atau bahkan luar negeri mengikuti atasan mereka. Lumayan sekali jika aku bisa keliling dunia tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.

Apalagi saat magang di salah satu perusahaan aku mendapatkan Bos yang amat sangat baik. Setiap hari aku selalu mendapatkan jatah makan siang yang sangat enak. Aku dibimbing dengan penuh perhatian dan juga kelembutan. Semakin bersemangatlah aku dengan cita-citaku itu.

Tapi sayang, setelah aku mendapat gelar di belakang namaku dan memasuki dunia kerja yang sesungguhnya, aku justru terikat pada perusahaan yang membuat aku harus menahan napas setiap hari.

Tidak. Bukan. Bukan karena pekerjaan yang amat berat. Tapi, karena sikap atasanku yang tampan itu sangat menjengkelkan.

Brian L Jonathan.

Laki-laki menyebalkan yang membuat darahku selalu mendidih akan ucapannya, namun meleleh akan penampilannya. Pemilik dari L-Magazine.

Sayangnya, aku tidak bisa pergi dari perusahaan ini karena gajinya yang lumayan. Untuk ukuran wanita 28 tahun yang belum menikah, sulit bagiku jika harus menjadi pengangguran. Maka genap sudah lima tahun aku mengabdi di tempat ini sejak aku jadi fresh graduate.

Ponselku yang aku letakkan di atas meja menampilkan notifikasi. Dengan pelan aku menariknya ke bawah meja lalu membuka pesan dari Adinda.

[Al, makan siang nanti kita ke kantin ya? Sudah lama kita tidak makan bersama.]

Aku yang sejak tadi duduk tidak jauh dari Bosku mengikuti rapat melirik ke kiri dan ke kanan kemudian mengetik balasan pada pesan yang dikirim Adinda—Sahabat baikku yang merupakan resepsionis L-Magazine.

[Din, please, kamu belum lupa 'kan aku ini sekretaris siapa? Jangankan makan siang, ke toilet saja aku harus izin pada Bos.]

[Kau berlebihan, Al. Bos Brian tidak sekejam itu. Aku bahkan mendapat coklat darinya.]

Coklat?

Aku tidak ingat Bos sempat membeli coklat.

Tunggu.

Sialan! Itu pasti coklat yang ingin aku makan sebagai sarapanku pagi tadi. Aku membelinya saat Pak Bos memintaku membeli tisu untuk mobilnya yang mulai menipis di minimarket depan.

Karena dia, aku bahkan tidak sempat sarapan. Lalu ini, coklatku pun dia berikan pada orang.

Oh, tidak. Ini bukan salah dia sepenuhnya. Aku lupa mengambilnya saat aku tak sengaja meletakkannya di meja.

Tapi kenapa harus diberikan pada Adinda. Dia 'kan bukan tipe wanita yang Bos sukai. Lagipula, Adinda sudah punya suami. Dia bahkan masih mengenakan cincin pernikahan di jari manisnya saat aku lihat pagi tadi.

Aku melirik kesal laki-laki keturunan Belanda-Palembang yang fokus pada isi rapat.

Ah, untung ganteng. Jadi aku susah untuk marah padanya. Justru sekarang aku ingin mencubit hidungnya yang bangir itu. Eh? Aish, fokus Aleena!

Lamunanku buyar saat tiba-tiba Pak Bejo pp--OB kantor-- mengetuk ruang rapat lalu melambaikan tangan padaku. Dengan berat hati aku segera berdiri menghampirinya kemudian menutup pintu agar pembicaraan kami tidak mengganggu jalannya rapat.

"Kenapa, Pak?" Aku memcoba sedikit menunduk karena tinggi Pak Bejo yang hanya sebahuku.

"Mbak. Di bawah ada Mbak rambut merah. Dia mau ketemu Bos." Pak Bejo yang cukup berumur menggaruk pelipisnya kebingungan.

"Mbak rambut merah? Siapa?"

"Yang minggu lalu ke sini, Mbak. Yang katanya pingsan, tapi pas Mbak Aleena kasih cicak mainan, langsung lompat-lompat."

Aku mencoba mengingat siapa yang Pak Bejo maksud. Dan aku langsung menepuk kepala ketika nama Casandra melintas di kepalaku. Aku ingin tertawa jika ingat saat dia menghampiri Bos dengan selendang di lehernya. Entah bagaimana bisa dia menginjak selendang itu hingga jatuh terjerambab. Kasihan sekali. Dia pasti malu lalu pura-pura pingsan.

Kebetulan sekali waktu itu aku melihat cicak karet mainan milik salah satu anak klien yang tertinggal di meja lobi. Langsung saja aku tempelkan di keningnya hingga dia langsung melompat-lompat tidak karuan.

Tapi kenapa dia berani kembali ke sini lagi? Tidak kapok apa aku kerjai waktu itu.

"Pak, tolong jangan biarkan dia sampai ke atas. Bos lagi rapat."

Aku tidak suka melihat wanita itu. Dia sungguh berlebihan. Wanita-wanita yang aku tahu berniat mendekati Bos tidak ada yang seperti dia.

"Iya, Mbak. Ada Deni dan Sapri yang jagain Mbaknya."

Untunglah perusahaan ini punya dua security yang bisa di andalkan. Setidaknya aku bisa sedikit lega. Bukan apa-apa, Casandra Julia itu adalah model yang penuh sensasi, takutnya dia punya niat terselubung mendekati Boss. Maklum saja. Di usia Brian L Jonathan yang sudah memasuki 32 tahun, dia belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Setidaknya itu yang aku tahu sejak menjadi sekretarisnya.

Banyak wanita yang mendekatinya. Tapi tak satu pun yang berhasil menggandengnya ke hadapan publik.

Entah wanita seperti apa yang menjadi kriterianya itu.

Dan ngomong-ngomong soal Casandra, andai saja dia tidak segenit itu, aku akan membiarkannya bertemu Bos seperti wanita-wanita lain.

"Apa yang kalian bicarakan?" Tubuhku langsung meremang saat Bos Brian muncul di belakangku.

Ya Tuhan! Sejak kapan dia di sana?

"Anu Bos. Itu, anu, di bawah ada kucing kejepit pintu." Aku bahkan mendadak kehilangan jawabanku yang biasanya tersedia di dalam otak pintarku ini.

"Kucing?" Pria berketurunan Belanda itu memicingkan matanya padaku. Ya Tuhan... bisa jadi jelly aku kalau Pak Bos kelamaan memandangiku begini. Dadaku jadi tak bisa berhenti bertingkah, bukan hanya aku saja yang salah tingkah rupanya.

Entah kenapa, rasanya aku semakin aneh saja malah menciptakan alasan yang tak masuk di akal. "Iya. Kucing. Kasihan Bos, mana sudah seminggu dia tidak ketemu pacarnya. Biar saya lihat dulu ya?"

"Apa hubungannya denganmu, Aleena?" Lagi-lagi Pak Bos malah bertanya padaku, padahal aku kan sudah siap untuk melesat, menghilang dari hadapannya.

"Oh, itu karena, karena, kucing itu adalah anak asuh saya Bos."

"Begitu?" Matilah aku!

"Iya." Aku pun mengangguk-anggukkan kepalaku penuh semangat kali ini, mencoba untuk meyakinkan Pak Bosku ini.

"Kalau begitu. Bejo, jaga baik-baik anak asuh, Aleena. Karena Aleena harus kembali ke ruang rapat."

"Tapi Bos, kucingnya?"

"Tidak perlu. Kembali saja ke dalam. Ikuti rapatnya sampai selesai, dan catat apa hasilnya."

"Hah? Saya? Lalu, Bos?" Aku masih tak memahami kalimat perintah yang diberikan oleh Pak Bos ini, dia selalu enteng sekali menyuruhku ini dan itu. Eh, padahal memang itu kerjaanku. Sekretaris sih hanya bahasa kerennya saja namun istilah lainnya sih pem-ban-tu.

"Saya ada urusan sebentar. Casandra ingin bertemu. Masuk sana."

Sialan! Dia pasti sudah menghubungi Pak Bos. "Tapi, Bos rapatnya … meyaki―”

"Aleena Maharani!"

"Siap Boss!" Spontan aku menjawab kalau nama lengkapku sudah dipanggil oleh Pak Bos yang ganteng tapi... judes!

"Lakukan apa yang baru saja saya perintahkan."

"Ok Boss!"

"Bagus."

Aku hanya bisa menghela napas saat Bos Brian yang terhormat melenggang pergi.

Apa ini? Bos meninggalkan rapat hanya karena si rambut merah? Keterlaluan!

* * *

Satu jam lebih berlalu setelah kepergian Bos. Aku yang harusnya bisa sedikit bersantai karena tak perlu menjelaskan ulang apa saja yang sudah dibahas saat rapat harus bersiap menemuinya setelah ini.

Selesai merapikan rambut panjangku yang berantakan untuk kembali menjadi sanggulan, aku segera membawa barang-barangku untuk keluar. Namun, betapa terkejutnya aku melihat Casandra sedang bergelayut manja di lengan Pak Bos menuju ruangannya.

"Boss!" teriakku sambil berlari menghampirinya.

Dia tidak mejawab. Hanya alisnya yang tebal seperti pasukan semut hitam yang tengah berbaris itu tertarik ke atas.

"Mau laporan." Aku mengangkat berkas yang aku bawa ke udara.

"Nanti. Saya lagi ada tamu."

Aku menatap Casandra yang menempel pada Bos seperti cicak yang takut jatuh dari dinding. Sialnya, cicak ini punya rambut. Merah lagi. Ck ck ck...

"Aleena."

"Ya Boss!"

"Bawakan dua cangkir teh ke ruangan saya."

"Tapi Bos, 'kan ada Bejo."

"Bejo sibuk mengurus anak asuhmu. Kamu saja."

Anak asuh? Ya ampun, masih ingat saja dia. "Baik Boss."

"Oh, iya. Sekalian bawakan cemilan."

"Siap Boss!"

Aku mengumpat dalam hati --melihat Casandra menggoyangkan pinggulnya melewatiku-- karena tak berani jika sampai Bos mendengarnya.

"Oh, iya satu lagi. Aleena ..."

Aku melihat Bos berbalik menatapku. Dia diam beberapa detik sebelun kemudian tersenyum dengan wajah hendak mengolokku.

"... berhenti makan coklat, pipimu semakin terlihat seperti bakpau."

Aku pikir mulutku yang terbuka cukup lebar susah untuk kembali menutup setelah mendengar kalimat itu. Bahkan suara cekikikan Casandra masih bisa kudengar karena pintu ruangan Bos yang belum sempat mereka tutup.

"Ya Tuhan, Brian! Kau lucu sekali. Aku pikir aku tidak akan bisa berhenti tertawa di dekatmu."

Dasar si rambut merah sialan! Apa dia sedang menggoda Bosku?

"Duduklah, Casandra."

"Di mana? Di hatimu?"

Wanita itu semakin cekikikan dengan ucapannya yang tidak jelas itu.

"Di kursi."

Aku menghela napas lega setelah kembali bisa menutup mulutku mendengar jawaban Pak Bos.

Sebelum aku melangkah jauh, aku mendengar suara pintu di tutup. Aku sangat yakin, yang melakukan itu pasti bukan Casandra.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel