Bab 6. Trik Kotor
Keesokan paginya.
Mya dibangunkan oleh suara pintu dibuka, dia langsung membuka matanya dan duduk, dia pikir pria itu datang membangunkannya untuk bekerja, tapi pintu kamar masih tertutup rapat.
Mya terdiam sejenak, kemudian dia mendengar suara mesin mobil dari luar, dia baru sadar Theo sudah pergi, sudah tidak sempat mengejarnya.
Pandangan Mya menelusuri tubuhnya, saat ini pakaian yang dipakainya sangat kusut, sedangkan hari ini masih akan ke tempat pamannya. Tanpa berpikir panjang dia bergegas pergi mandi, kemudian mengambil pakaian yang di dalam lemari dan memakainya. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian biasa, ini membuatnya sedikit senang, kalau seragamnya seperti seragam di film korea atau jepang, dia benar-benar tidak berani memakainya.
Setelah siap dia segera pergi. Namun, sebelumnya dia meninggalkan note untuk Theo kalau dia mau keluar dan akan kembali sesegera mungkin, kemudian dia pun keluar rumah menuju tempat pamannya.
***
Di halte menunggu bus datang selama beberapa waktu hingga beberapa kali berganti bus, Mya pun akhirnya sampai ke komplek tempat pamannya tinggal.
Mengingat pamannya tinggal di salah satu komplek mewah kota dan penampilan dirinya, Mya tentu saja tidak akan bisa dengan mudah masuk ke kawasan itu.
Hingga setelah menjelaskan berulang kali, Mya baru berhasil membujuk keamanan komplek untuk membiarkan dia masuk.
Setelah membunyikan bel, pengurus rumah membuka pintu untuknya.
"Anda sudah datang, Tuan ada di ruang kerja." Pengurus rumah dengan sopan menunjukkan arah kantor kemudian langsung berbalik dan masuk ke dapur.
Melihat sikap sang pengurus rumah, Mya mengepal tangannya, menarik napas panjang kemudian berjalan ke arah ruang kerja.
Tok ... tok.
Mya mengetuk pintu. "Paman, aku Mya, bolehkah aku masuk?"
Di sisi lain, di dalam kantor duduk seorang pria paruh baya, wajahnya kotak dengan alis tebal, dia adalah paman satu marga dengan Mya, Jimmy Hilaire.
Jimmy yang mendengar suara ketukan pintu, tersenyum miring sampai ke mata.
"Mya, masuklah." Jimmy berkata seraya berdiri dan membuat kopi menggunakan mesin kopi.
Di luar ruangan, Mya yang mendengar jawaban Jimmy pun membuka pintu dan masuk. Mya merasa sedikit tertahan, dia menatapi Jimmy sejenak dan kemudian membuka mulut. "Paman, aku—"
"Mya." Jimmy memotong kalimat Mya, tidak memberinya kesempatan berbicara lebih lanjut. Dia membawa dua gelas kopi berjalan ke arah Mya, sambil menyuruhnya duduk. Sembari meletakkan secangkir kopi ke depan Mya, dia berkata, "Kamu juga tahu, masalah ayahmu kali ini, aku juga terpengaruh, transfer modal perusahaan juga menjadi masalah, terlebih lagi masih ada hutang besar yang menanti untuk dilunasi."
Mendengarnya, Mya mengerutkan keningnya, merasa sangat bersalah. Karena masalah ayahnya mempengaruhi sang paman, dia pun berkata, "Maaf ... Paman, aku pasti bisa mencari cara menyelesaikannya, berikan aku sedikit waktu."
"Tidak perlu terburu-buru, dalam perjalananmu ke sini pasti sudah sangat lelah, ini adalah kopi hadiah dari orang lain, kamu coba dulu, kalau suka boleh bawa pulang. Mengenai cara penyelesaian masalah, pasti akan ada jalan keluar." Jimmy berkata dengan ringan, seperti sedang menenangkan Mya, tetapi sorot matanya penuh dengan kelicikan.
"Terima kasih." Mya yang tidak mencurigai apa pun mengambil gelasnya. Pamannya benar, setelah datang ke sini dengan bus, ditambah merasa sedikit tegang, dia pun merasa haus. Tanpa rasa curiga dia meminum kopi seperti meminum air, sekali minum langsung habis setengah gelas, baru kemudian dia bertanya kepada Jimmy. "Apakah Paman sudah ada solusi yang bagus?"
"Presdir Joey awal tahun ini baru saja kehilangan istri dan mempunyai keinginan untuk menikah lagi. Di pesta kemarin dia sangat menyukaimu, bagaimana kalau ...." Mata Jimmy menyipit karena tersenyum.
"Apa maksudmu, Paman?! Usianya lebih tua dari ayahku, bagaimana kamu bisa punya pemikiran seperti ini!" Mya yang tidak bisa percaya membelalakkan matanya, hatinya bergetar, dia tidak berani mempercayai pamannya mempunyai pemikiran seperti itu.
Jimmy membuat ekspresi seperti hal tersebut bukanlah masalah besar dan dengan ringan menasehati Mya. "Zaman sekarang ini, suami tua dan istri muda sangat banyak, terlebih lagi ada dia sangat menyukaimu, juga sudah memutuskan bersedia untuk menyelesaikan masalah hutang. Nantinya kamu juga punya rumah untuk pulang, ayahmu di penjara juga lebih tenang."
"Cukup! Kalau ayahku tahu kamu melakukan ini, dia tidak akan tenang!" Mata Mya memerah karena emosi, tangannya yang sejuk seketika mendingin, dia merasa pamannya ini sangat asing.
"Masalah ini sepertinya tidak bisa diputuskan olehmu." Jimmy melipat tangannya dan bersandar ke sofa, antara tersenyum dan tidak tersenyum menatap Mya.
Ditatap dengan tatapan seperti itu oleh pamannya sendiri membuat bulu kuduk Mya berdiri hingga akhirnya dia memutuskan untuk bangun dan bermaksud pergi, tetapi baru saja berdiri, dia merasa kepalanya pusing dan terduduk kembali.
Mya merasa kakinya tidak bertenaga, lebih parahnya lagi matanya mulai kabur, pemandangan yang dilihatnya mulai bergoyang, seperti kaleidoskop, membuatnya masuk ke kondisi setengah sadar. 'Sial, ada sesuatu di kopi itu!'
"Kamu ... kenapa ...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Mya sudah ambruk.
Sementara itu, Jimmy tersenyum licik saat melihat Mya sudah tidak sadarkan diri di sofa dan tersenyum licik.
"Keponakanku, kamu tidak boleh menyalahkan pamanmu ini, siapa suruh nilai jualmu begitu tinggi?" Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, Jimmy mengambil telepon yang terletak di atas meja, kemudian menelepon seseorang dan begitu orang di seberang line mengangkat teleponnya, dia pun berkata, "Sudah selesai, datang dan bawa pergi."
Tak berselang lama, sekitar 10 menit lebih, tiga orang pria berpakaian hitam masuk ke ruang kerja Jimmy, mereka kemudian memasukkan Mya ke kantung tidur yang sudah disiapkan dan keluar.
***
Selang beberapa saat, perlahan-lahan kesadaran Mya pulih. Dia menahan ketidaknyamanan yang dirasakannya dan membuka matanya.
Penerangan di sekelilingnya remang-remang, lingkungan yang asing membuat detak jantungnya bertambah cepat, ketika dia meraba-raba dan mencoba untuk turun dan pergi meninggalkan tempat, dia mendengar di depan pintu ada orang yang sedang berbicara.
Dia tidak berani sembarangan bergerak, tangannya tanpa sengaja menyentuh telepon di samping tempat tidur dan pemikiran pertamanya adalah hendak telepon polisi, tetapi nomor telepon Theo muncul di otaknya.
Tanpa berlama-lama dia langsung menekan nomor teleponnya dan menghubunginya, ketika dia sadar, sudah tidak sempat memutus telepon.
"Halo?" Suara jelas dan dingin Theo terdengar dari line seberang.
Mya terdiam, dia merasa sedikit ragu, tidak tahu apakah boleh menyuruh Theo menjemputnya.
Di sisi lain, Theo yang tidak mendengar suara apa pun menyahut sekali lagi dan Mya baru berkata dengan berbisik, "Ini aku!"
Theo yang merasakan keanehan Mya maka dia bertanya, "Ada apa?"
"Aku ...." Tepat ketika Mya mau berbicara, dia secara samar mendengar ada perubahan di luar pintu. "Tunggu sebentar!" Kemudian dia bergegas turun dari tempat tidur dan dengan langkah ringan mendekati pintu.
Suara derap langkah kaki di koridor semakin mendekat, terdengar sepertinya ada 3-5 orang. Mya yang merasa ketakutan, dengan panik mengedarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan hingga akhirnya pandangan matanya menangkap sebuah meja pendek di dekatnya.
Dengan sekuat tenaga, Mya memindahkan meja tersebut ke depan pintu. Selain itu dia juga memindahkan dua kursi dan meletakkannya di atas meja. Mya berharap benda-benda itu mampu menahan pintu agar tidak terbuka.
Setelah itu Mya bersembunyi di sebelah tempat tidur, seluruh tubuhnya bersandar di lantai, dia merasa dia semakin lemas, keringat mengalir di seluruh tubuhnya, sementara tangannya masih memegang telepon yang belum diputus. Karena terlalu panik dia jadi lupa sejenak kalau dia mau meminta tolong.
Theo yang di ujung telepon hanya mendengar suara ribut, dia mengerutkan keningnya. 'Apa yang sedang dilakukan wanita ini?'
Kemudian Theo yang tidak sabar menunggu akhirnya bertanya, "Kamu di mana?"
Brak Brak Brak.
Suara pukulan pintu terdengar. Mya tidak bisa mendengar pertanyaan Theo karena terlalu berisik orang yang di luar pintu tidak henti-hentinya menggebrak pintu.
"Kurang ajar, wanita itu menghadang pintunya!"
"Menghadang ya menghadang, cepat dobrak!"
"Baik!"
Tiga pria kekar di luar pintu menggunakan seluruh tenaga mereka, kemudian terdengar suara keras, lalu terdengar suara kursi jatuh, dan meja yang terdorong.
Mya yang saat ini baru teringat telepon yang ada di genggamannya masih tersambung, mengambil kesempatan sebelum orang yang di luar belum masuk dengan berteriak ke arah telepon. "Tolong! Tolong aku!"