Bab 3
Sai nampak sibuk melukis bunga di taman hingga seekor kumbang menganggunya sontak membuat pria itu menjerit ketakutan. Pria dengan senyum palsu itu memang memiliki trauma di masa kecilnya karena pernah ditakuti Sasuke menggunakan kumbang.
"Kakak!!!” Sai terus berteriak sambil mengibas-ibaskan tangannya di atas kepala berharap kumbang itu akan pergi atau setidaknya kakaknya akan datang. Tak lama kemudian ia tak lagi mendengar suara kumbang itu membuat ia akhirnya mendongakan kepalanya, melihat Sakura kini tengah menganiaya kumbang kecil itu dengan pedangnya yang besar.
"P-putri Haruno,” Sai tergagap memanggil Sakura hingga gadis itu menoleh ke arahnya.
"Kau ini pria, mengapa takut pada kumbang yang bahkan sangat kecil dibandingkan tubuhmu,” ucap Sakura sambil geleng-geleng kepala.
"Lupakan itu!" pekik Sai malu membuat Sakura mendengus geli.
"Baiklah-baiklah,” sahut Sakura kembali memasukan pedangnya ke dalam sarung pedangnya.
"Terima kasih karena Putri Haruno sudah menolongku,” ucap Sai seraya memamerkan senyum palsunya.
"Kita pernah bertemu sebelumnya bukan? Kau adik Pangeran Sasuke," tanya Sakura hingga Sai mengangguk pelan.
"Aku Uchiha Sai,” ucap Sai memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangannya.
"Aa, aku Haruno Sakura,” ucap Sakura yang langsung menjabat tangan Sai.
"Kenapa Kau ada di Istana dan membawa pedang Putri?” ucap Sai penuh tanya sambil sambil menunjuk pedang yang Sakura bawa.
"Ohh ya, aku di sini menemani ayahku, kalau soal pedang aku selalu membawanya. Kau tahu? Bahaya selalu mengintai kita,” jelas Sakura membuat Sai mengangguk paham.
Sejak menjadi seorang agen FBI, Sakura memang selalu terbiasa membawa senjata kemana pun ia berada bahkan ketika ia tidur, ia meletakan pistol di bawah bantalnya. Bukan karena paranoid, hanya saja Sakura dulu pernah diserang ketika ia tidur di apartemennya hingga akhirnya ia selalu waspada.
"Kau sedang melukis Pangeran Sai?” tanya Sakura ketika ia melihat lukisan bunga milik Sai.
"Ya sebelum kumbang itu mengangguku,” ucap Sai dengan dengusannya.
"Lukisanmu sangat indah, ini terlihat sangat nyata, cantik sekali!" puji Sakura dengan decak kagumnya. Sai tersentak kaget melihat wajah Sakura yang menatap lukisannya dengan mata yang berbinar senang membuat hatinya terasa menghangat, sebuah senyuman hangat terlukis dibibirnya. Ini bukan kali pertama seseorang memuji lukisannya akan tetapi cara Sakura menatap lukisannya terasa berbeda, seolah gadis itu benar-benar menyukainya berbeda dengan ekspresi orang-orang lain yang pernah memuji lukisannya.
"Benarkah?!" tanya Sai dengan wajah sumringah yang tak bisa ditutup-tutupi.
"Tentu saja! Kau benar-benar seniman sejati Pangeran Sai!,” ucap Sakura kembali memuji seraya memgacungkan jempolnya.
Dari kejauhan Sasuke menatap interaksi Sai dan Sakura pun tersenyum tipis, merasa bahagia melihat Sai bisa tersenyum. Sebuah senyuman yang dulu terengut pada sebuah tragedi yang sangat mengerikan. Sasuke berharap senyum itu tak lagi hilang, ia ingin tetap melihat adiknya memiliki warna, tetap hidup dan ceria seperti dulu. Semoga senyum itu tetap terjaga. Sasuke pun pergi ketika Naruto memanggilnya namun sebelum itu ia masih sempat melihat aksi konyol Sakura yang tengah berpose untuk dilukis oleh Sai.
"Putri berhentilah bergerak, Kau ingin kulukis seperti apa?!” Sai mulai merengek karena Sakura yang tak kunjung diam.
"Aku bingung mau terlihat seperti apa? Kurasa aku cantik dari segala sisi,” ucap Sakura masih saja tak bisa diam.
"Pangeran Sai, Putri Haruno salam,” ucap seorang pelayan memberikan salam penghormatannya.
"Mentri Haruno memanggil Putri Haruno untuk pulang bersama,” lanjutnya hingga Sai mengibaskan tangannya isyarat agar pelayan itu pergi.
"Sepertinya aku harus segera pergi Pangeran Sai,” ucap Sakura membuat Sai mendengus kecewa.
"Jangan seperti itu, aku pasti akan sering mengunjungimu nanti,” ucap Sakura yang nampak tak tega melihat raut kecewa di wajah Sai. Walaupun baru saja akrab, Sakura merasa senang bisa akrab dengan Sai karena Sai tidak membosankan seperti orang-orang yang selama ini ia temui. Sai yang masih sangat muda membuat Sakura benar-benar menganggapnya sebagai adik yang menggemaskan.
"Baiklah, berjanjilah Kau akan berkunjung,” ucap Sai hingga Sakura mengangguk.
"Kau juga boleh berkunjung ke kediaman ku, jangan sungkan. Aku sangat senang karena punya teman bermain!” ucap Sakura membuat Sai mengangguk antusias.
"Tentu saja!” sahut Sai dengan penuh semangat.
"Baiklah aku harus segera pergi sekarang,” ucap Sakura mengambil pedangnya yang ia letakan di tanah ketika ia hendak dilukis oleh Sai tadi.
"Kau mau kuantar Putri?” tawar Sai namun Sakura malah menggelengkan kepalanya.
"Teruslah melukis, bye bye!,” ucap Sakura yang kemudian pergi meninggalkan Sai.
"Bye bye? Apa itu?" guman Sai penuh tanya karena tak mengerti istilah apa yang baru saja diucapkan Sakura.
Sementara itu Sakura berjalan dengan langkah ringan menghampiri kumpulan pria-pria paruh baya di depan gedung pertemuan kekaisaran. Tiba-tiba ada sebuah pisau kecil terarah ke arahnya. Semua orang menjerit ketika melihat pisau itu terarah ke arah Sakura namun Sakura dengan gesit menepis pisau itu dengan pedangnya karena sebelumnya ia sudah mendengar suara angin yang terbelah oleh pisau itu.
"Tangkap orang yang menyerang Putri Haruno!!" teriak Kizashi, ayah Sakura hingga para pengawal berlarian mengejar seseorang bebaju hitam.
"Putriku, Kau baik-baik saja?” tanya Kizashi langsung memeluk Sakura dengan paniknya.
"Iya Ayah, aku baik-baik saja. Jangan bersikap berlebihan,” ucap Sakura malas karena menurutnya Kizashi terlalu berlebihan.
"Sungguh?! Jantung ayah hampri saja lepas tadi,” ucap Kizashi melepaskan pelukannya.
"Sudahlah, jantung ayah tidak kemana-mana dan masih di tempatnya,” ucap Sakura sambil memutar bola matanya.
"Mentri Haruno, Putri Haruno,” sang Kaisar, Fugaku menghampiri mereka membuat ayah dan anak itu segera memberi penghormatan mereka.
"Apakah Putri Haruno baik-baik saja?” tanya Fugaku membuat Sakura mengangguk kikuk.
"Berani sekali penyusup itu melakukan kejahatan di siang hari seperti ini bahkan di depan tempat pertemuan,” ucap Fugaku dengan suara datarnya.
"Mohon maaf karena sudah mengacau Yang Mulia,” ucap Kizashi tak enak.
"Jangan bicara seperti itu Tuan Kizashi, justru aku merasa tak enak karena tak bisa melindungi keselamatan kalian bahkan hampir membuat putri Haruno terluka,” ucap Fugaku yang memang merasa tak enak.
"Hamba baik-baik saja Yang Mulia, harap Yang Mulai tidak merasa risau,” ucap Sakura yang ikutan merasa tak enak.
"Jangan seperti itu Putri, aku haruslah menjagamu apalagi Kau adalah calon permaisuri Konoha selanjutnya, keselamatanmu adalah yang terpenting,” ucap Fugaku membuat Kizashi tertawa pelan.
"Yang Mulia tidak perlu melebih-lebihkan, seperti apapun putriku kelak ia tetaplah putri kecilku yang nakal,” ucap Kizashi sementara Sakura mengerutkan keningnya.
"Kau benar, Putri Haruno nampak sangat nakal bahkan membawa sebuah pedang panjang,” canda Fugaku membuat Kizashi tertawa. Sakura tak mengerti dimana letak lucu dari kalimat yang Fugaku katakan hingga ayahnya tertawa.
"Aku masih ada urusan, biarkan para pengawalku mengantar kepulangan kalian,” ucap Fugaku pamit.
"Terima kasih Yang Mulia,” ucap Kizashi seraya memberikan salam penghormatannya diikuti oleh Sakura. Fugaku pun pergi meninggalkan ayah dan anak itu hingga Sakura menatap ayahnya intens.
"Apa maksud dari calon permaisuri Konoha selanjutnya ayah?” tanya Sakura penuh selidik membuat Kizashi keringat dingin.