BAB. 4 Menemui Opa Bram
Seorang gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun bernama Zuri Agnesha terlihat sedang berjalan tergesa-gesa di sebuah koridor rumah sakit ternama di kawasan Jakarta Selatan.
Pagi ini Zuri mendapatkan kabar jika Opa Bram, masuk rumah sakit. Membuat dirinya menjadi panik. Pasalnya, dia sangat dekat dengan orang yang telah tua renta itu.
Opa Bram sering sekali membantunya dan membantu keluarganya jika mereka kesulitan dalam hal keuangan.
Setelah berjalan agak lama, akhirnya Zuri sampai juga di depan ruang VVIP tempat sang opa sedang dirawat.
Gadis itu langsung disambut oleh Geri, Asisten pribadi dari Opa Bram.
"Selamat datang, Nona Zuri." sambut Geri hangat.
"Asisten Geri, bagaimana keadaan Opa? Aku sangat khawatir dengannya!" tutur gadis itu mencoba mengatur napasnya.
Bagaimana tidak, sejak dirinya meninggalkan kost-kosantnya, gadis itu terus saja berjalan cepat dengan setengah berlari. Untung saja dia tidak terlalu lama menunggu bis di halte. Sehingga akhirnya Zuri bisa sampai dengan cepat di rumah sakit.
"Silakan Anda masuk saja untuk memastikan keadaan Tuan Bram, Nona." seru sang asisten.
"Geri! Jangan bikin aku panik, deh!" kesalnya kepada asisten itu.
Namun Geri membalas kepanikan Zuri dengan tersenyum jenaka. Sejujurnya pria itu menaruh perasaan terpendam kepadanya. Namun apa daya, Tuan Bram punya misi khusus untuk sang gadis.
Tentu saja Geri yang hanya seorang asisten pasti kalah saing dengan Tuan Muda, Edward Kenneth.
Zuri pun segera masuk ke dalam ruangan mewah itu,
"Opa?" kaget Zuri saat melihat pria itu malah sedang duduk santai di sofa sambil membaca surat kabar langganannya, tak lupa secangkir kopi hangat juga tersedia di atas meja.
"Cucuku, Zuri. Akhirnya kamu muncul juga di hadapanku!" ucap sang opa lalu mulai meletakkan surat kabar itu di atas meja.
"Kemarilah, silakan duduk." perintahnya.
Zuri langsung menghembuskan napasnya lega melihat keadaan Opa Bram ternyata baik-baik saja dan kesal juga kepada sang opa karena telah mengarang cerita jika dirinya sedang sakit.
"Opa? Kok bilangnya Opa sedang sakit, sih? Bikin panik saja, deh!" Gadis itu pun mulai menunjukkan kekesalannya kepada Opa Bram.
"Ha-ha-ha. Namanya juga taktik perang. Lagian kalau Opa tidak mengatakan jika Opa sedang sakit, mana mau kamu menemui Opa. Iya kan?"
"A ... aku kan sibuk, Opa." alasannya.
"Sibuk apa kamu?" cecar Opa Bram.
"Minggu lalu aku baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan besar bernama EK Corp. Aku sangat bersyukur Opa!" serunya senang.
Zuri baru saja menamatkan kuliahnya beberapa bulan yang lalu dan telah di wisuda juga. Gadis itu tak pernah menyangka jika dirinya dan sang sahabat bernama Mirah, diterima sebagai karyawan baru di perusahaan raksasa itu.
"Oh, ya?" Senyum misterius dari bibir Opa Bram mulai terbit semakin merekah saat ini.
Semakin yakinlah pria tua itu untuk menugaskan Zuri menjalankan misi penting dan bersifat rahasia darinya.
"Iya, Opa."
"Terus hari ini, kamu kok bisa menjenguk Opa? Bukannya kamu mengatakan jika kamu telah bekerja?"
"Ya ampun, Opa? Hari ini kan hari Sabtu. Waktunya untuk libur bagi karyawan di Perusahaan EK Corp."
"Ha-ha-ha! Iya, ya? Hari ini hari Sabtu. Ternyata Opa sudah sangat tua dan mulai pikun." sedihnya.
Raut wajah sang Opa tiba-tiba menjadi suram bagaikan musim kemarau yang berkepanjangan kering dan kusam.
Hal tersebut tiba-tiba saja menggelitik rasa penasaran di hati Zuri.
"Opa, are you okay?" tanyanya kepada sang pria tua.
"Sebenarnya, Opa sedang tidak baik-baik saja, sekarang." serunya mulai mendramatisir keadaan.
"Lho kenapa, Opa? Apakah ada sesuatu hal yang mengganggu pikiranmu?" tanya Zuri menunduk. Sepertinya gadis itu juga menyembunyikan satu hal besar di dalam hatinya.
Apalagi saat ini Opa Bram malah menatapnya dari tadi tanpa berkedip.
"Ya, tentu saja Opa sedang kalut saat ini. Opa sedang memikirkan kedua cucu Opa yang sedang menghadapi masalah yang pelik sekarang. Termasuk kamu!"
"Deg!" Jantung Zuri tiba-tiba berdegup kencang. Sepertinya kejadian disaat sang penagih utang mendatangi rumahnya di kampung telah sampai di telinga sang Opa.
"Apakah kamu yakin tidak menyembunyikan sesuatu kepada Opa?" selidiknya lagi.
Zuri hanya bisa diam. Dia tidak dapat mengatakan hal apa pun saat ini. Gadis itu sangat yakin jika sang opa telah mengetahui yang sebenarnya.
Beberapa hari yang lalu Zuri mendapatkan kabar dari ibunya yang berada di kampung jika para rentenir telah mendatangi rumah mereka.
Para penagih utang itu memberi jangka waktu sampai akhir bulan ini, kepada Bu Heni untuk membayar semua utang almarhum suaminya.
"Kamu memilih diam Zuri?" tutur Opa Bram.
"Ma ... maafkan aku, Opa. Maaf jika aku dan Ibu selalu menyusahkan Opa." sahut sang gadis.
Zuri pun semakin yakin jika Opa Bram ingin menemuinya karena ingin membantunya lagi.
Begitu berjasanya Opa Bram kepadanya dan sang ibu. Pria tua itu sering sekali meringankan beban keluarganya. Padahal Opa Bram tidak memiliki hubungan darah sedikit pun dengan keluarga.
Zuri pernah mendengar cerita dari ibunya. Jika almarhum Omanya berteman baik dengan Opa Bram. Dulu sebelum Oma meninggal, sang nenek pernah meminta kepada Opa Bram untuk menjaga kedua keturunannya.
Opa Bram sampai saat ini masih mengingat perkataan sang oma dan tetap memberi perhatiannya kepada Zuri dan ibunya.
"Kita adalah keluarga Zuri. Kamu harus ingat itu," tutur Opa Bram.
"I ... iya, Opa. Maafkan aku," isaknya tak tertahankan.
Sepertinya kali ini Zuri membutuhkan pertolongan Opa Bram. Utang-utang mendiang ayahnya begitu sangat banyak. Gadis itu tidak memiliki uang untuk melunasinya.
Lalu di atas meja, Opa Bram meletakkan sebuah kertas yang bertuliskan sejumlah uang yang bernilai fantastis.
Lalu berkata,
"Ambil lah dan Coba baca apa yang tertera di sana," ucap Opa Bram.
"Iya, Opa." Zuri lalu meraih kertas putih itu dan mulai membaca apa yang di tulis di sana.
Ternyata kertas itu berisikan surat perjanjian pelunasan utang yang telah dibayarkan oleh Opa Bram kepada para rentenir yang selalu menagih ibunya yang berada di kampung.
"O ... opa, sudah melunasi
semuanya?" seru Zuri tak percaya.
Tangisan gadis itu kembali pecah. Lalu dengan cepat dia bersimpuh di depan Opa Bram sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.
"Zuri! Apa yang kamu lakukan? Berdirilah. Opa bukanlah Tuhan yang patut disembah."
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasihku, kepada Opa karena telah banyak menolong keluargaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi kepada ibu di kampung jika Opa tidak melunasi semuanya," isaknya lagi.
Opa Bram kembali tersenyum penuh misteri saat ini.
"Jadi kamu ingin membalas budi, Opa? Begitu maksudmu?"
"I ... iya, Opa. Apa pun yang Opa inginkan akan saya lakukan," ucapnya penuh harap.