Bab 7 Permainan Takdir
Bab 7 Permainan Takdir
“Astaga! Jam segini belum bangun ya!”
Melati terpogoh-pogoh keluar dari kamarnya dengan kepala sedikit pusing mendengar teriakan Sesa dari arah ruang utama. Ia kesiangan.
Sebenarnya Melati sudah bangun sejak subuh. Ia terbiasa bangun pagi sejak di rumahya dan berangkat sekolah sepagi mungkin. Bukan karena ia siswa teladan dan rajin, melainkan itu adalah caranya untuk menghindari sang Ayah yang masih tertidur pulas setelah mabuk semalaman. Namun, sepertinya ia tertidur tanpa sadar saat menunggu waktu agar berlalu. Sesa sudah bangun terlebih dahulu.
“Maafkan saya, Nyonya!”
Melati membungkukkan badan meminta maaf. Ia tak boleh membuat wanita itu marah.
Sesa melototi Melati yang tampak menyesal. Wanita itu berkacak pinggang. “Kamu sudah saya beri kesempatan, seharusnya kamu bisa bekerja dengan benar!” omelnya. “Kali ini akan saya maafkan kamu karena saya tidak ingin merusak hari saya karen aulah kamu. Jadi cepat bekerja, saya tidak perlu mengatakan apa saja yang harus kamu lakukan, ‘kan?”
Melati mengangguk. Ia sudah beberapa hari tinggal dan Sesa sudah menjelaskan apa saja pekerjaannya di rumah ini secara mendetail. Mulai membersihkan setiap sudut-sudut rumah, merawat tanaman hias milik Sesa, membersihkan kolam renang rumah itu di halaman belakang hingga memasak. Untuk urusan ini, Sesa masih mengambil kendali penuh. Melati hanya membantu ketika Sesa menyiapkan makanan.
“Saya masih belum bisa mempercayakan urusan dapur kepada gadis seperti kamu. Saya ingin keluarga saya makan makanan yang baik dan enak, dan tentu saja hanya saya yang bisa membuatnya di rumah ini.” begitu kata Sesa setiap kali mereka ada di dapur.
Sesa melarangnya untuk berbelanja. Jadi segala keperluan dapur yang ia butuhkan untuk menyiapkan makanan anggota keluarga itu akan diantarkan oleh seorang kurir setiap paginya. Menegaskan berulang kali kepada Melati, apa saja yang harus dilakukannya dan hal apa saja yang tidak boleh. Melati benar-benar tidak diperkenankan untuk keluar dari halaman rumah keluarga itu. Dan satu lagi ia juga dilarang untuk naik ke lantai 2. Terlebih jika tidak ada Sesa di rumah, ia tidak diperbolehkan keluar dari area belakang rumah itu, tempat kamarnya berada.
Setelah beberapa hari tinggal di sana, Melati bekerja dalam diam. Rumah yang cukup luas itu cukup sepi. Noah beberapa kali datang berkunjung, memberikan beberapa pakaian yang bisa Melati gunakan secara diam-diam. Lalu ada Sofia yang namanya pernah Melati dengar dari Noah ketika ia di apartemen Zahir. Rupanya Sofia adalah adik Noah yang ia perkirakan seumuran dengan dirinya. Melati belum pernah melihat Sofia sejak kedatangannya di rumah itu.
“Kau baik-baik saja?”
Itu pertanyaan rutin Noah yang tak perah absen Noah tanyakan setap kali laki-laki itu datang dan Melati hanya akan tersenyum mengatakan semuanya baik-baik saja.
“Jauh lebih baik daripada di rumahku dulu.”
Sesa walaupun bermulut pedas dengan kata-kata tajam yang selalu membuat hatinya ngilu, tapi wanita itu masih memperlakukannya dengan layak dan baik. Kalimat Sesa mungkin menyakitkan, tapi Sesa sama sekali tidak pernah menyakiti fisiknya. Tidak seperti perlakuan ayahnya dulu.
Pagi ini Noah kembali datang dengan tampilan santai daripada pagi-pagi sebelumnya. Kemeja slimfit yang biasa Noah pakai diganti kaos lengan panjang dengan celana pendek sebatas lutut berwarna khaki. Laki-laki itu membantu sang Mama membawakan barang kantong belanjaan yang sudah diantarkan oleh kurir.
Gadis itu segera membantu, mengeluarkan isi kantong belanjaan yang ada di meja dapur. Memasukkan beberapa bahan ke dalam kulkas dan lemari penyimpanan.
“Pagi, Melati.”
Noah tersenyum, mengambil sebotol jus dan menuangkannya pada gelas yang ia pegang.
“Pagi, Bang Noah.” Melati balas menyapa. Tangannya sibuk mencuci sayur dan buah yang akan diolah oleh Sesa sebagai menu sarapan pagi ini.
“Bagaimana kabar kamu pagi ini, Melati? Mama saya masih galak sama kamu?”
Pertanyaan Noah membuat bibir Melati tak urung tersenyum kecil. Noah nyaris setiap hari mengajukan perrtanyaan yang sama dan Melati akan menjawabnya dengan jawaban yang sama secara repetitif.
“Beliau baik ke saya kok, Bang.” Melati tidak sepenuhnya berbohong. Wanita itu sudah cukup baik mau menerimanya di rumah mereka walau dengan berbagai banyak persyaratan.
Noah baru akan bertanya lagi ketika suara deheman keras dari Sesa menginterupsi. Tatapan mata Sesa tampak tidak terlalu menyukai bagaimana anak laki-lakinya dekat dengan Melati. Melati segera beranjak menuju meja makan dan menata piring serta alat makan.
“Noah, panggil Sofia turun.”
“Kapan Sofia datang, Ma? Sofia bilang pesawatnya delay. Noah kira dia baru akan sampai nanti siang.”
Sesa memotong-motong sayuran hijau di meja dengan cekatan, memasukkan ke sebuah mangkok kaca besar. Mencampurkannya dengan beberapa potong tomat ceri dan sayuran lainnya.
“Tadi subuh. Dia mengganti penerbangan kemarin.” Sesa menambahkan dressing dengan saus hitam pekat yang awalnya Melati kira adalah kecap. Melati baru tahu kalau itu adalah balsamic sauce setelah ia tanpa sengaja menambahkannya pada sambal kecap pendamping ayam panggang yang dibuat oleh Sesa beberapa hari yang lalu.
Melati mendengarkan sementara tangannya dengan sigap membereskan kitchen island dari barang-barang yang sudah tidak digunakan Sesa dan segera mencucinya di wastafel. Sementara Noah, laki-laki itu sudah melangkah menuju lantai 2. Terdengar suaranya memanggil nama adiknya berulang kali yang kemudian terdengar sahutan riang yang Melati perkirakan adalah suara milik Sofia. Dari arah dapur, ungkapan rindu keduanya pecah dalam kalimat-kalimat mengejek satu sama lain. Terdengar begitu hangat di telinga Melati.
Pikiran Melati kembali melayang. Rasanya ia tak pernah memiliki ingatan hangat tentang rumahnya. Suara canda tawa seperti yang dilakukan Noah dengan Sofia. Juga bagaimana Sesa meneriaki keduanya agar segera turun. Semuanya, terasa asing bagi Melati yang tidak pernah merasakan suasana sehangat itu.
Ia seorang anak tunggal dan orangtuanya sibuk bekerja. Ibunya merupakan guru honorer di sebuah sekolah dan ayahnya bekerja di sebuah pabrik kertas. Tidak ada yang istimewa. Pagi yang dilaluinya dulu terasa datar. Ibunya akan menyiapkan makanan dan ayahnya menunggu dengan kopi hitam yang terhidang. Lalu ia akan berangkat sekolah bersama sang Ayah. Begitu setiap hari. Percakapa yang ada pun terasa hanya sebagai formalitas. Seputar nilai-nilai Melati, pekerjaan Ayah dan Ibunya.
“Selamat pagi, Mama.”
Sofia turun menghampiri sang Mama dan memeluk tubuh Sesa dari samping seraya memberikan kecupan singkat di pipi wanita itu. Melati sempat terpana. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan kulit bersih dan rambut hitam panjang.
“Oh, Hai.” Sofia tampak sedikit terkejut menyadari kehadiran Melati. Tapi bibir gadis itu tak urung memberikan senyuman. “Bi Inah ke mana, Ma?”
“Bi Inah pulang kampung karena orangtuanya sakit.” Sesa menjelaskan. “Dan dia akan menggantikan Bi Inah sampai Bibi kembali dari kampungnya.”
“Siapkan minuman di meja makan. Susu hangat untuk Sofia dan Jus Apel tanpa gula dengan sedikit lemon untuk saya.”
“Baik, Bu.”
Sesa segera berlalu menuju meja makan yang sudah tertata rapi dengan menu sarapan yang cukup sederhana. Roti panggang dilengkapi dengan sosis dan irisan daging serta telur setengah matang, Melati masih di dapur, membuat minuman yang diminta oleh Sesa.
Denting suara garpu dan piring saling beradu diiringi suara tawa renyah dari meja makan. Ada rasa iri menelusup dalam rongga dada Melati. Ah, seandainya dia bisa memilki kehidupan yang bahagia seperti itu.
“Papaaa…”
Melati sudah menuangkan Jus Apel milik Sesa ke dalam gelas saat pekik riang Sofia bergema dari ruang makan. Ia eletakkan gelas-gelas berisi minuman ke atas nampan dan membawanya ke meja makan.
“Putri cantik Papa sudah pulang.”
Suara berat dari seorang laki-laki yang kini berbicara dengan Sofia terdengar familiar di telinga Melati. Tapi kepalanya sama sekali tidak bisa mendapatkan memori pemilik suara itu dengan jelas.
“Ini minumannya, Bu.”
Mata Melati menangkap siluet tubuh laki-laki yang paling amat ia hindari. Tubuhnya mendadak kaku. Seluruh persendiannya seketika lemas ketika netranya sempurna menangkap sosok laki-laki yang berdiri tepat di depannya. Nampan yang ia bawa terjatuh, isi gelas-gelasnya tumpah bersamaan dengan airmata Melati yang ingin mendobrak pertahanannya.
“Melati!!!!!”
Telinganya masih bisa menangkap suara Sesa dan Noah memanggil namanya. Ia membeku, terlalu terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sama terkejut dengan sorot mata yang kini menatap tajam ke arahnya.
“Maaf, maafkan saya.”
Melati segera membersihkan kekacauan yang ia buat. Gemetar memunguti pecahan gelas di lantai sementara Sesa masih berseru kesal dengan kecerobohan yang di buat Melati. Gadis itu hanya mampu menunduk, menyembunyikan ketakutan di matanya, juga airmata yang sudah menerobos jatuh.
Padahal ia sudah merasa bisa lari dan sembunyi, tapi takdir kembali mempertemukannya dengan laki-laki yang ia hindari.
Prasetyo, om-om yang nyaris memperkosanya malam itu.
*****