Bab 8 Tak Bisa Lari
Bab 8 Tak Bisa Lari
Sesa murka. Melati langsung ditarik Noah untuk menjauh dari meja makan sementara Sesa ditenangkan oleh Sofia. Suasana menjadi dingin. Entah bagaimana nasib makanan yang sudah disiapkan sejak pagi. Sesa sudah pasti kehilangan selera untuk menyantapnya. Begitu juga Melati yang kehilangan keberanian untuk membereskan sisa kekacauan yang ia buat.
Melati hanya berdiri di depan wastafel dengan pikiran kalut. Tubuhnya masih gemetar. Ia sangat yakin laki-laki yang dipanggil papa oleh Sofia itu adalah Prasetyo. Laki-laki yang ditemuinya di hotel malam itu. Bagaimana bisa ia tidak menyadari jejak keberadaan laki-laki itu di rumah ini sebelumnya?
“Nama saya, Pras. Kamu bisa panggil saya Om Pras, Melati.”
“Om suka, kamu wangi dan cantik sekali, Melati.”
“Aku sudah membayarmu cukup mahal, Melati. Kamu harus melayaniku!”
Suara-suara Pras malam itu terus bergema di kepala Melati. Terus terputar hingga rasanya telinga Melati berdenging nyeri. Ia menggigil sekali lagi. Tangannya berpegangan ada sisi wastafel hingga buku-buku jarinya mengeras merah. Berkata lirih “jangan.” berulang kali ada kucuran air keran yang mengalir.
“Melati, kau tidak apa-apa?”
Melati menoleh. Tersadar dari bayangan yang diputar oleh kepalanya. Wajahnya basah oleh keringat dingin dan airmata. Ia hanya terdiam, lalu kepalanya menunduk lebih dalam.
“Maafkan saya, Bang. Saya ceroboh. Maaf.”
Hanya itu yang keluar dari bibir Melati berulang-ulang. Noah dapat melihat ketakutan yang sama, sorot ketakutan saat ia pertama kali menemukan gadis itu. Ia ingin bertanya, tapi mulutnya terkunci ketika matanya melihat tubuh itu bergetar.
Noah pikir semuanya sudah lebih baik dari sebelumnya. Pagi tadi Melati masih tampak biasa saja, tersenyum membalas sapanya. Tapi mengapa tiba-tiba gadis itu bisa kembali ketakutan seperti itu dalam waktu yang cukup singkat. Noah dihantui rasa penasaran dan banyak pertanyaan bergelayut dalam pikirannya. Tapi mulutnya enggan untuk menyuarakan. Ia harus membuat gadis itu merasa tenang.
“Sudah, sudah.” Noah mencoba menenangkan. Mengelus punggung Melati hingga napas gadis itu bisa berhembus dengan normal. “Nanti saya akan bantu kamu bicara dengan Mama.”
Lalu keduanya kembali terdiam. Melati menyibukkan dirinya dengan mencuci nampan dan perkakas kotor yang tadi ia gunakan. Sementara kepalanya masih menolak bekerja dengan normal.
“Kamu…” kalimat Noah menggantung. “Kamu kenapa tadi? Kenapa tiba-tiba…”
“Ah, tidak, tidak apa-apa, Bang. Saya…. “ Melati menimbang-nimbang. Haruskah ia bercerita pada laki-laki itu? Mengatakan jika laki-laki yang nyaris memperkosanya adalah Papa Noah sendiri. Tapi hatinya merasa bimbang dan kekhawatiran.
Apakah Noah akan mempercayainya?
Ia sadar, ia hanyalah seorang gadis asing. Akan sulit bagi Noah memercayai ceritanya dibanding orangtua kandungnya sendiri.
“Melati.”
Melati tersentak saat tangan Noah menyentuh pundaknya pelan.
“Bang Noah.”
Sofia mendekat. Wajahnya terlihat khawatir.
“Kamu baik-baik saja ‘kan, Melati?”
Sofia bertanya dengan nada lembut. Jelas sekali gadis itu mengkhawatirkan Melati yang pucat pasi. Namun pertanyaan Sofia yang terdengar tulus justru membuat hati semakin dilanda keraguan.
“Melati, tidak usah khawatir. Saya yakin Mama akan mengerti kalau kamu tidak sengaja tadi.” Sofia tersenyum, mengelus punggung tangan Melati yang dingin. “Mama hanya perlu menenangkan diri.”
Senyuman Sofia selaksa aliran listrik yang menyengat hati Melati.
“Kamu masih bisa tinggal dan bekerja di sini. Nanti biar saya temani kamu untuk ketemu dan minta maaf sama Mama ya.”
Melati tidak tahu harus melakukan apalagi. Ia hanya bisa mengucapkan terimakasih berulang kali. Nyeri di dadanya belum hilang. Baik Noah dan Sofia menerimanya di rumah ini. Tapi ia justru saat ini, ingin pergi dan lari.
*****
Sofia benar, Sesa tidak menyuruhnya pergi dari rumah, walau wanita itu jelas masih tampak sangat kesal. Noah dan Sofia membantunya bicara saat ia terbata mengungkakan maaf. Sesa tak bicara lagi, hanya mengatakan Melati harus pergi dari hadapannya hingga rasa marahnya sedikit mereda. Setidaknya Melati bisa sedikit merasa lega. Ditambah ia tak melihat kehadiran Pras disekitar Sesa saat ia menemuinya.
Melati sudah hampir seminggu di rumah itu, dan baru kali ini ia menyadari ada sebuah foto keluarga yang terpajang di ruang tengah. Ia tak pernah menyadari keberadaan foto itu sebelumnya di sana. Jejak Prasetyo di rumah ini sama sekali tak tertangkap indera Melati. Dari hari pertama kedatangannya, tak sekalipun ia melihat laki-laki itu datang. Atau mungkin ia memang tidak terlalu memperhatikan dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga abai dengan keberadaan foto itu. Entahlah. Yang jelas Melati hanya bisa berharap tidak akan bertemu dengan laki-laki itu di rumah ini seorang diri. Dan dia bisa melewati waktu 1 bulan yang diberikan oleh Sesa dengan tenang.
“Kami akan makan di luar. Mungkin sampai malam.” Begitu kata Noah saat berpamitan tadi. “Kamu tidak apa-apa jika sendirian, Melati?”
Gadis itu sejenak tampak ragu. Tak masalah sebenarnya jika ia ditinggal seorang diri di rumah ini. Ada banyak pekerjaan yang ia bisa lakukan. Tapi mengingat Prasetyo mengetahui keberadaannya dan laki-laki itu adalah suami Sesa, yang notabene tinggal di rumah tempat ia bekerja, membuat Melati sedikit merasa khawatir.
“Selagi semua bisa berkumpul.” Kekeh Sofia menambahkan.
Kalimat yang diucapkan Sofia membuat Melati sedikit tenang. Tandanya Prasetyo akan bersama keluarganya selama beberapa jam ke depan jadi Melati tidak perlu repot-repot mencari tempat persembunyian di rumah ini.
Akhirnya Melati mengerjakan sisa pekerjaan rumahnya hari itu dengan lebih tenang. Kemudian kembali ke kamarnya saat matahari sudah mulai tenggelam ke peraduan.
Melati kira, hari itu akan segera berlalu tanpa rasa khawatir. Namun deru suara mobil yang masuk ke halaman, disusul kemudian langkah kaki yang berjaan masuk ke dalam rumah merobohkan semua ketenangan Melati. Gadis itu baru akan menyambut kedatangan orang, yang ia pikir adalah Sesa dan kedua naaknya. Namun netranya malah menangkap sosok Prasetyo, berjalan menuju kamarnya dengan seringai yang membuat tubuhnya menegang kaku.
“Halo, Melati.”
Suara berat milik Prasetyo membangunkan rasa ketakutan yang sama seperti malam itu. Melati bergeming di tempatnya berdiri. Ia ingin lari, tapi kakinya seolah terpaku pada lantai yang ia pijak.
“Kita bertemu lagi.” Tubuh Prasetyo semakin mendekat ke arah Melati. Gadis itu gemetar melangkah mundur.
“Kamu masih berhutang pada saya.”
Melati tercekat. Tubuhnya terhalang tembok sementara Prasetyo sudah berdiri tepat di depannya. Tubuh mereka hanya berjarak tidak lebih dari 3 langkah.
“Kamu tahu, saya sudah memberikan begitu banyak uang kepada ayahmu,” Prasetyo berdesis, memajukan wajahnya lebih dekat ke wajah Melati yang pucat pasi, “dan dia tidak bisa mengembalikan uang yang sudah saya berikan.” Prasetyo mengusap peluh dingin yang membasahi wajah Melati.
“O-om…”
Prasetyo mencekal tangan Melati, membuat gadis itu meringis karena cengkraman tangan Prasetyo terasa menyakitkan.
“Kamu harus membayarnya sekarang!” bibir Prasetyo membentuk sebuah seringai. Napasnya berhembus kasar tepat di depan muka Melati, membuat gadis itu memalingkan wajahnya.”
Tangan Prasetyo menarik dagu Melati, memaksa Melati menatap matanya meskipun Melati hanya menjatuhkan pandangannya pada kaki-kaki dengan pandangan buram karena airmatanya sudah lolos tergenang.
“Kamu milik saya, Melati!”
Melati memberontak. Berusaha berteriak walaupun rasanya akan sia-sia karena tidak ada siapapun selain dirinya dan Prasetyo di rumah.
“Lepas, Om! Tolong lepas!”
Isak tangis Melati pecah saat wajah Prasetyo kian mendekat. Tangannya terkunci sementara kekuatannya sudah habis terkuras ketakutan.
Ia tak bisa lari.
*****