Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Bukan Lagi Bunga

Bab 6 Bukan Lagi Bunga

Noah meninggalkan Melati di ruang tengah apartemennya dalam waktu yang cukup lama. Pemuda itu hanya mengatakan akan mencoba berbicara dan membujuk Mamanya lagi agar bisa menerima Melati bekerja di rumah keluarganya. Melati tidak langsung menolak tawaran Noah sebelumnya agar gadis itu bekerja di apartemennya. Tapi, melihat bagaimana gadis itu terlihat sangat tidak nyaman, Noah jadi mengerti. Mungkin tawarannya bukan pilihan yang baik. Ia pada akhirnya mengatakan pada Melati, ia akan mencoba berbicara lagi dengan sang Mama, agar wanita yang melahirkannya itu menerima Melati bekerja di rumahnya.

Melati tidak menolak, pun tidak mengiyakan usulan Noah. Di satu sisi, ia membenarkan alasan tersebut. Namun, di sisi lain ia masih sangsi jika ibu dari pemuda itu dapat menerima kehadirannya. Ia sudah cukup merepotkan pemuda itu, sehingga ia merasa tidak memiliki pilihan lain selain menurut dan mencoba memahami kemarahan dan penolakan yang akan ia hadapi nanti.

Jadi, ketika pemuda itu mengajaknya kembali ke rumah orangtuanya untuk kemali menemui Mamanya, Melati hanya mengangguk dan mengikuti langkah pemuda itu tanpa banyak bicara.

*****

Perjalanan kembali ke rumah keluarga Noah terasa begitu panjang. Ditambah keheningan yang masih menyelimuti membuat menit-menit terasa begitu lama. Melati merasa begitu tegang. Begitupun raut wajah Noah yang terlihat kaku dan gelisah. Melati merasa bersalah karena membuat pemuda berada di posisi yang sulit.

“Melati.” Noah berbicara sementara matanya masih menatap lurus ke jalanan. “Kamu jangan khawatir. Aku akan membujuk Mama untuk menerima kamu bekerja di sana.”

Melati hanya mengangguk tanpa berbicara. Jari-jemarinya saling bertautan menahan rasa gugup dan ketakutan akan menerima penolakan yang menyakitkan lagi.

Mobil Noah memasuki halaman rumahnya yang cukup luas. Setelah mematikan mobil, pemuda itu menyuruh Melati untuk ikut dengannya. Walau sebenarnya hati Melati menolak, ia paksakan kakinya untuk melangkah masuk ke dalam rumah berlantai 2 yang terlihat sangat mewah bagi Melati yang terbiasa melihat perumahan kumuh di lingkungannya yang dulu.

Rumah keluarga Noah bergaya minimalis modern yang didominasi warna putih dengan jendela-jendela kaca besar. Ada 2 buah mobil dalam garasi sedangkan mobil Noah sendiri berada di carport. Halamannya tidak terlalu luas namun cukup segar dengan berbagai tanaman hijau yang terawat dengan sangat baik.

“Noah!”

Baru saja mereka masuk di ambang pintu utama, wanita dengan rambut sebahu hitam legam itu langsung menyambut dengan pekikan tajam. Matanya masih menatap melati dengan pandangan tidak suka.

“Kamu benar-benar ya!”

“Ma… “ Suara Noah melunak. “Noah sudah jelasin semuanya ke mamah tadi di telepon., dan Mama bilang mau memikirkannya lagi.”

“Tapi tidak secepat ini, Noah.” geram Sesa melihat anaknya yang dianggap mengambil tindakan di uar pembicaraan mereka sebelumnya di telepon.

“Mau menunggu apa lagi, Ma. Bukankah Mama butuh pembantu karena Bi Inah harus pulang kampung? Bi Inah juga belum bisa memastikan akan kembali dalam waktu cepat, bukan?” Noah memberikan argument. “Hanya untuk sementara waktu, Ma. Sampai Bi Inah kembali.”

Sesa masih tidak menyahut. Raut wajahnya memerah dan terlihat menahan marah. Wanita yang tampak masih begitu segar itu hanya bersidekap, membuang pandangannya kea rah lain.

“Ma…” Noah merendahkan nada suaranya, “Melati tidak seperti yang Mama pikirkan. Noah jamin itu.”

Sesa tampak tersenyum ketus. “Memang kau sudah mengenal anak itu degan cukup baik, Noah? Kau tahu latar belakang anak itu? Kau juga tidak tahu ‘kan?”

Noah sangat tahu, mamanya itu sangat keras kepala dan tidak mudah percaya. Tapi Noah juga tahu, mamanya itu adalah seorang wanita berhati lembut. Hanya saja beberapa tahun ke belakang sikap Mamanya mulai sedikit berubah. Mamanya lebih cepat marah dan mudah mencurigai sesuatu.

Suasana tegang sangat jelas terasa. Tidak ada suara yang terdengar selain bunyi detak jam besar yang berada di ruang tengah. Juga detak jantung milik Melati yang rasanya berdegup sangat keras.

“Bu, maaf kalau saya lancang.” Melati tiba-tiba menyela pelan. Takut-takut ia mengambil satu langkah mendekat. “Saya benar-benar tidak seperti yang ibu pikirkan.”

Melati meremas buku-buku jarinya, berusaha menahan kegugupan luar biasa. Setelah berhasil mengendalikan deru napasnya, ia kembali memberikan pembelaan terhadap dirinya. “Saya memang gadis yang tidak jelas asal usulnya. Tapi saya tidak pernah berniat buruk terhadap siapapun. Terlebih terhadap Bang Noah yang sudah bersedia membantu saya. Saya memang hanya gadis miskin yang tidak beruntung. Yang terbuang dan akhirnya ditemukan oleh Bang Noah di jalanan.”

“Tolong beri saya kesempatan, Bu.” Melati menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di hadapan Sesa. Mengiba, mengharap belas kasih wanita itu. “Izinkan saya bekerja di sini. Saya tidak mengharapkan bayaran jika ibu tdak memberikan. Anggap ini cara saya membayar hutang budi saya kepada Bang Noah dan ibu.”

Rumah ini adalah harapan satu-satunya yang Melati miliki untuk bisa memulai hidupnya yang baru, lepas dari kukungan sang Ayah. Melati sangat ingin menceritakan pilu getir kehidupan yang telah ia lalui. Tapi bibirnya seolah menolak untuk menyuarakan kesakitan itu, seolah setiap kata dan kalimat yang menceritakan masa lalunya itu bisa membuat luka di hatinya semakin besar dan perih.

“Saya kasih kamu waktu 1 bulan.” Sesa akhirnya memberikan keputusan. Melati hampir saja memekik girang sebelum wanita itu kembali membuka mulut dan melanjutkan kalimatnya, "Tapi setelah 1 bulan, kamu harus segera pergi dari rumah ini. Tidak ada alasan apa pun.”

Sesa kali ini tersenyum. Tapi Melati dapat melihat mata wanita itu masih sama dinginnya dengan tatapan saat pertama kali mereka bertemu.

“Maa…”

“Dan saya tidak ingin kamu berkeliaran di luar rumah ini, tidak bersuara dan lakukan seolah-olah kamu tidak ingin terlihat oleh siapapun.”

“Maa…” volume suara Noah naik sedikit. Ia merasa persyaratan dari sang Mama cukup tak masuk akal.

“Kamu tidak usah ikut campur, Noah. Ini tawaran dari Mama. Ah, lebih tepatnya ini sebuah perintah. Jika dia memang tidak bisa, silakan bawa dia pergi dan jangan pernah mencoba untuk merubah keputusan Mama.”

“Bagaimana? Kalau kamu memang tidak siap, segera keluar dari rumah saya.”

Mata Noah otomatis melotot mendengar betapa sang Mama seolah tidak memiliki perasaan. Ia beralih menatap Melati yang sedari tadi kembali terdiam. Berbeda dengan respon Noah yang tampak tidak terima, Melati segera mengiyakan permintaan Sesa.

“Baik, Bu.” Melati tahu ia tidak punya pilihan lain selain menerima semua permintaan Sesa padanya. Tidak masalah bagi Melati jika harus bekerja dalam diam. Toh sebenarnya juga dia tidak menginginkan keberadaannya diketahui siapapun. “Saya sanggup dengan permintaan Ibu.”

Hanya 1 bulan. Ia harus bertahan dan melakukan yang terbaik dalam 1 bulan seraya memikirkan rencana hidupnya setelah keluar dari rumah ini.

“Ah, satu lagi. Saya tidak akan memanggil nama kamu Melati.” telunjuk Sesa menuding ke arah Melati. Mata wanita itu menelisik penampilan Melati dari atas sampai bawah dengan tatapan merendahkan. “Bagi saya, kamu tidak seindah Melati. Kamu lebih mirip gulma dibandingkan bunga.”

Melati tercekat. Kata-kata Sesa seperti petir yang menyambar tepat di hatinya. Ia tak mampu memikirkan apapun lagi dalam kepalanya. Semua terasa hampa seolah kata-kata Sesa menyedot segala isi pikirannya. Ia merasa marah. Hidup seolah tak pernah memberikannya pilihan selain menerima. Tapi apa ia berhak merasa terhina? Sedangkan ia memanglah tidak seindah bunga. Mungkin benar, ia hanyalah gulma. Tanaman liar pengganggu yang tidak berguna.

Setidaknya, ia punya waktu 1 bulan, untuk bersembunyi dan menghindar dari ketakutan yang terus saja mengejarnya.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel