Bab 5 Tawaran Baru
Bab 5 Tawaran Baru
Ketiga manusia itu masih membisu di depan pagar rumah keluarga Noah. Melati menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergerak naik turun meskipun tak terdengar ada isakan. Sementara Noah dan Zahir saling berbicara dalam tatapan mata mereka.
“Melati.” Zahir menyentuh pundak Melati pelan. Gadis itu mengangkat mukanya. Tampak matanya basah dan memerah. “Kau… kau baik-baik saja?” pertanyaan bodoh sebenarnya. Gadis itu tidak mungkin merasa baik setelah mendengar kalimat menyakitkan tadi.
“Maafkan mama saya, Melati.” Noah terdengar menyesal. “Saya minta maaf.”
Melati berusaha menarik bibirnya walau sudut-sudut bibirnya terasa kaku. “Tidak, Bang. Mama Bang Noah ada benarnya.” cicit Melati lirih, “siapapun pasti akan menaruh curiga pada gadis belia seperti aku ini.”
Noah merasa tak nyaman mendengar kalimat Melati. Ia memang belum meengenal gadis itu, tapi rasanya sungguh tak pantas jika gadis semuda Melati harus menerima penghakiman begitu keras dari orang lain setelah apa yang dilaluinya.
“Saya yang seharusnya minta maaf. Saya merepotkan Bang Noah dan bang Zahir. Juga membuat mama Bang Noah marah.”
Situasinya menjadi sangat membingungkan. Tapi taka da satupun jalan keluar yang mampu terpikirkan.
Gawai milik Zahir bordering pelan. Buru-buru pemuda itu mengangkat sebelum deringnya berganti. Mengatakan beberapa kalimat dan menutup sambungan telepon.
“Maaf, tapi aku harus segera pergi ke rumah sakit. Ada pasien darurat yang harus aku tangani.” ada nada sesal dalam kalimat Zahir. Pemuda itu pasti juga merasa tidak enak meninggalkan Melati dan Noah begitu saja setelah insiden tadi.
“Tak apa-apa. Pergilah. Aku akan mengurus ini.” Noah menepuk pundak Zahir. Zahir tersenyum tipis sesaat ketika netranya tertuju pada Melati dan bergegas melajukan mobilnya keluar dari komplek perumahan keluarga Noah.
“Tunggu sebentar di sini, Melati. Aku akan mengambil mobil.”
*****
Mobil Noah melesat di jalanan tanpa tujuan. Noah belum berkata apa-apa lagi dan Melati masih merasa kelu untuk berbicara.
Melati tidak tahu ke mana Noah akan membawanya. Hingga ia merasa mobil berhenti di suatu tempat dan msin mobil di matikan, barulah Melati berani mengangkat kepalanya. Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah papan besar bertuliskan nama kantor dinas pemerintahan yang berhubungan dengan pelayanan perlindungan perempuan dan anak.
“Kita turun dulu.”
Melati menurut. Mengikuti langkah Noah masuk ke halaman kantor yang terlihat sepi. Mereka di sambut oleh seorang perempuan muda ketika masuk ke dalam bangunan yang tidak terlalu besar itu.
“Selamat pagi.” Perempuan itu menyapa ramah. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau melaporkan kekerasan terhadap anak. Bagaimana caranya?”
Mata Melati melebar mendengar pernyataan Noah. Laki-laki itu tidak mengatakan apapun selama di mobil tadi. Bahkan Noah juga tidak mengatakan mengenai ke mana Melati akan di bawa. Melati disergap ketakutan lagi. Dia berdiri gelisah sementara Noah masih berbicara dengan perempuan itu.
“Silakan duduk dan mohon diisi dulu formulirnya.”
“Melati.” Noah menyentuh pundak Melati. Gadis itu tampak gelisah. “Ini bisa kamu isi?”
Gemetar Melati menerima kertas formulir yang diserahkan oleh Noah. Rasanya seluruh tenaganya hilang ketika membaca kata demi kata yang tertulis di atas kertas tersebut. Kepalanya kembali berkecamuk, menampilkan potongan demi potongan adegan yang sudah dia alami sebelumnya.
Bukan. Bukan hanya soal kekerasan-kekerasan itu. Tapi laporan-laporan yang sudah pernah dibuatnya dulu. Laporan-laporan yang tidak pernah ditangani dan berujung ia kembali pada tangan sang Ayah. Ayahnya tidak serta merta langsung menyakitinya setelah menandatangani sebuah kertas perjanjian yang juga ditandatangani olehnya dan beberapa orang lainnya. Serta mendengarkan kata maaf yang sudah seperti kaset ulang terulang terus menerus dengan susunan kalimat yang sama. Hidupnya damai hanya dalam hitungan hari lalu kemudian ia kembali mendapatkan makian dan pukulan yang lebih keras lagi. Sejak saat itu ia menyerah, menutup rapat semua luka dan lebam tanpa memberitahukan pada dunia.
“Melati.” suara Noah berhasil membawa Melati kembali pada kertas yang tulisannya kini tak mampu ia baca dengan jelas sebab airmatanya kembali melesak keluar. “Kamu harus melaporkan apa yang terjadi padamu. Agar ayahmu bisa dihukum.”
Tidak ada suara yang keluar dari bibir Melati. Gadis itu malah terisak dan hal itu membuat Noah cukup panik. Perempuan yang tadi menyambut segera masuk ke dalam ruangan dan beberapa saat kemudian kembali bersama seorang wanita lainnya dan dengan segelas air kemasan di tangannya
“Nak, minumlah dulu.” Wanita itu berkata lembut. Gemetar Melati menerima air mineral itu dan meneguknya pelan. Wanita itu juga meminta Melati untuk mengatur napas sementara Noah ahnya mampu menepuk-nepuk pundak Melati pelan.
Melati sudah tidak mendengarkan apa yang Noah dan wanita itu bicarakan. Ia sibuk menghalau suara-suara di telinganya. Suara-suara ayahnya yang memanggil dan memakinya. Suara Om Pras malam itu. Semua suara itu bergumul dalam kepalanya.
Ia baru tersadar setelah Noah beberapa kali menepuk pundaknya, menuntun gadis itu untuk berdiri dan meninggalkan ruangan itu keluar, kembali ke dalam mobil.
“Melati.”
Seperti sebuah komando, Melati menatap mata Noah dan telinganya mampu mendengar suara laki-laki itu.
“Tarik napasmu pelan-pelan.”
Melati
mencoba menarik napasnya pelan, memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Berulang-ulang kali bersama airmata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipinya. Wajahnya tentu sudah sangat kacau saat ini.
“Tenang, oke.” Noah mengelus lengan Melati. “Kita pulang.”
*****
Noah akhirnya membawa gadis itu ke apartemennya. Apartemen pribadi yang baru dibelinya beberapa bulan yang lalu setelah memutuskan untuk keluar dari rumah.
Melati mengikuti langkah Noah yang memasuki gedung sebuah apartemen dengan pikiran kosong. Ia tak menyadari apapun sampai kakinya berhenti di sebuah unit dan Noah menuntunnya masuk. Begitu masuk, mata Melati langsung tertuju pada sebuah sofa abu-abu di ruang tengah. Ada 2 buah kamar di sisi kiri dan sebuah dapur kecil lengkap dengan pantri dengan nuansa kelabu.
“Duduklah di sini.” Noah menarik sebuah standing stool di depan mini bar dan mempersilakan Melati duduk di sana. Laki-laki itu kembali dengan secangkir minuman yang asapnya masih mengepul tipis.
Melati mengucapkan terimakasih dengan suara lirih dan menerima cangkir yang divberikan Noah padanya.
“Minumlah pelan-pelan.”
Sensasi hangat menjalar di telapak tangan Melati yang menggenggam sisi cangkir. Gadi situ menyesap isinya pelan hingga rasa hangat menjalar di tenggorokannya.
“Saya minta maaf atas kata-kata yang mama saya ucapkan tadi, melati.” tutur Noah lembut
“Tidak apa-apa, Bang. Saya… saya mengerti.” Melati menghela napas cukup panjang. Seolah ia juga melepaskan beban yang menyesakkan dadanya. “Saya mengerti jika mama Bang Noah bersikap seperti itu. Saya gadis tanpa identitas jelas, sudah tentu beliau akan menolak kehadiran saya.”
“Tapi, Bang. Saya bukan gadis seperti itu. Sungguh.” suara Melati tercekat di ujung kalimat, tapi gadis itu masih melanjutkan kalimatnya. “Saya tidak ada niatan untuk menggoda siapapun.”
“Saya… Saya bukan gadis penggoda seperti yang mama Abang pikirkan.” bulir airmata itu jatuh lagi.
Noah hanya mampu menatap Melati iba sekaligus merasa bersalah. Seharusnya ia segera memberikan kabar pada Zahir untuk tidak mengantarkan Melati ke rumahnya pagi tadi. Setidaknya sang Mama tidak akan mengeluarkan kata-kata yag sudah tentu menyakiti hati Melati. Ditambah kondisi Melati yang masih terguncang dengan peristiwa yang dia alami sebelumnya.
“Begini saja, kamu bisa membantu saya untuk di apartemen saya ini untuk sementara waktu. Kamu bisa membersihkan apartemen saya selama saya bekerja dan kamu tinggal di sini. Bagaimana?
*****