Bab 4 Sebuah Penolakan
Bab 4 Sebuah Penolakan
“Tolong, jangan!”
Om Pras beringas makin mendekat pada Melati yang kian tersudut di ruangan gelap.
“Kamu tidak akan bisa lari, Melati.”
Suara om Pras memanggil namanya berulang-ulang, bergaung. Membuat Melati disergap ketakutan. Melati berlari, menyusuri lorong yang gelap yang seolah tiada berujung. Ia terus berlari sementara suara-suara itu terus memanggilnya. Seolah suara-suara itu sudah mampu menarik seluruh kekuatannya.
“Melati! Anak sialan. Jangan lari kamu, Melati!” Itu suara Ayahnya. Melati berteriak. IA mencoba berlari tapi seolah tenaganya sudah habis.
“Ampun. Tolong…. Jangan. Lepaskan aku. Kumohon!” Racau Melati berulang-ulang. Tapi ia merasa semakin terpojok. Suara-suara Ayahnya dan Om Pras masih terdengar membuat teinganya pekak. Dia meringkuk di sudut jalan. Menenggelamkan kepalanya di balik lipatan kakinya. Mengatupkan kedua tangannya, memohon agar Ayahnya dan Om Pras melepaskannya.
Ia merasa tangan-tangan besar menjamah tubuhnya sementara ia sama sekali tidak berani membuka mata. Ia terlalu takut.
“Ampun!”
Melati berteriak. Ia terbangun. Rupanya itu hanyalah mimpi buruk. Napasnya terengah-engah, berat. Kepalanya terasa pusing mengingat mimpi buruk yang mengganggu tidurnya yang terasa sangat nyata. Ia masih bisa merasakan jejak tangan besar dan gerakan kasar Om Pras di seluruh tubuhnya dalam mimpi.
Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terisak dalam hening.
Melati mengira Zahir masih tertidur. Rupanya pemuda itu sudah terbangun dan menatap Melati dari sela pintu kamar yang terbuka. Ada rasa iba menyelimuti hati Zahir melihat gadis yang sangat jauh lebih muda darinya itu. Semalam saat ia mengobati gadis itu, ia menemukan ada banyak bekas luka lebam di tubuh Melati. Gadis itu tidak berhenti terisak. Bukan karena kesakitan saat Zahir mengobati luka-lukanya, melainkan Zahir dapat menangkap ada sorot takut ayng amat dalam di mata cokelat milik Melati.
Zahir bisa saja membiarkan gadis itu tertidur lebih lama. Tapi ia harus segera pergi ke rumah sakit. Ia sudah mengirimkan pesan kepada Noah tapi pemuda itu belum memblas pesannya. Ia akan mengantar Melati ke rumah orangtua Noah dulu sebelum pergi bekerja.
“Hm.” Zahir berdeham agak keras agar Melati tidak terkejut dengan kehadirannya. “Kau sudah bangun, Melati?”
“Ah iya.” Melati buru-buru bangkit membuka daun pintu lebih lebar. Terlihat Zahir sudah segar dengan rambut basah. “Maaf.”
“Tidak apa-apa. Bergegaslah, aku harus segera pergi ke rumah sakit setelah ini.” perintah Zahir sebelum pergi dari depan kamar.
Melati menutup pintu. Segera membersihkan dirinya dan bersiap-siap. Ia tidak bisa membiarkan pemuda itu menunggu lebih lama lagi. Ia merasa sudah menjadi tamu yang tidak tahu diri melihat Zahir yang sudah rapi sedangkan dirinya masih dalam keadaan kusut karena baru bangun.
Tidak sampai 15 menit, Melati sudah keluar dari kamarnya. Zahir sudah duduk di meja menawarkan sepotong roti pada Melati. “Kau tidak masalah jika makan di mobil?”
“Tidak. Tentu tidak.” Ujar Melati cepat. Melati tentu sudah cukup sadar diri jika dirinya tidak boleh bersikap seenaknya terhadap kebaikan Zahir.
“Bagus. Ayo kita pergi.”
*****
Mobil Zahir masih terhenti di perempatan lampu merah. Keduanya masih diliputi oleh keheningan. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Zahir dan Melati sejak keduanya meninggalkan basement apartemen Zahir. Hanya terdengar deru mesin mobil milik Zahir halus dan samar-samar suara riuh dari luar mobil. Suara para pedagang asongan, pengamen dan suara pagi yang begitu sibuk di jalanan.
Melati mencoba menikmati perjalanan. Membuang pandangannya ke luar jendela, memperhatikan segala aktivitas yang terjadi di sana. Seorang pedagang asongan menawarkan dagangannya dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Anak-anak penjual koran, pengamen-pengamen yang berlarian menyanyikan sebuah lagu yang tidak familiar di telinga Melati. Melati menarik napas panjang, membiarkan udara pagi yang sudah tercampur polusi memenuhi rongga dadanya. Rasanya udara di sini berbeda dengan udara yang ia hirup di rumahnya dulu.
“Melati.”
Suara Zahir menarik Melati kembali pada realitas. Mobil berwarna putih milik Zahir itu kembali melintasi jalanan.
“Berapa usia kamu?”
“Saya baru 18, Bang.” Melati menjawab pelan. Melati baru menyadari, jika dress kekecilan yang digunakannya tempo hari adalah ‘kado’ dari sang ayah. Ayahnya memang tidak memukulnya hari itu, tapi ‘kado’ yang ia dapatkan akan menjadi kado yang tidak akan pernah bisa Melati lupakan. Kejadian malam itu akan terus membekas di kepala Melati entah sampai kapan. Dress itu pun sudah ia buang saat di apartemen Zahir. Ia ingin meninggalkan semua barang yang berhubungan dengan kejadian malam itu. Mengikis agar kepalanya bisa berhenti memikirkan kenangan buruk yang dialaminya.
“Baru lulus sekolah?” Lagi-lagi Zahir bertanya. Sepertinya pemuda itu tidak betah disergap kecanggungan dan mencoba mencairkan suasana dengan pertanyaan-pertanyaan formalitas.
“Iya, Bang.” jawab Melati, mengabaikan keinginan hatinya yang ingin menambah kalimatnya dengan pernyataan jika ijazahnya harus ditahan pihak sekolah karena masalah tunggakan yang belum terlunasi.
Keduanya kembali diam. Sibuk dengan sii kepala masing-maisng.
“Bang Zahir.” Melati memberanikan diri untuk memulai percakapan. “Abang dokter?”
Zahir mengangguk. “Baru Intership,” jelasnya
Melati mengangguk-anggukan kepalanya meskipun sebenarnya ia tidak tidak terlalu mengerti maksud dari kata yang disebutkan oleh Zahir barusan.
“Jadi kayak gini…” Zahir berpikir sejenak. Mengolah kalimat penjelasan agar dapat dimengerti oleh Melati. “Semacam masih kerja praktek setelah lulus kelas teori. Setelah itu barulah bisa dikatakan benar-benar lulus menjadi dokter dan mendapatkan izin untuk membuka praktek sendiri.”
“Saya baru tahu kalau seperti itu.” Melati menanggapi. “Saya pikir sama seperti sekolah lain, kalau sudah lulus langsung menjadi Dokter.”
Menit-menit berikutnya dilalui Melati dan Zahir dengan mengobrol banyak hal. Lebih banyak Melati bertanya banyak hal pada Zahir dan Zahir akan menjawab pertanyaan Melati dengan kalimat sesederhana mungkin agar Melati dapat mengerti.
Sejujurnya Zahir sendiri ingin bertanya banyak hal pada Melati. Mengenai bekas luka di tubuh Melati, kejadian malam itu. Juga apa yang Melati mimpikan semalam tadi hingga membuat gadis itu terbangun dengan menjerit dan tampak menangis. Melati hanya mengatakan jika ayahnya telah menjualnya dan ia kabur tidak ingin kembali. Hanya sebatas itu dan itu sama sekali tidak memuaskan rasa penasaran yang berkecamuk di dalam diri Zahir. Namun semua tanda tanya itu Zahir simpan kembali dalam kepalanya karena ia merasa Melati masih terlihat enggan membuka lagi ingatannya tentang kejadian-kejadian, yang mungkin teringat sebagai kenangan buruk bagi gadis itu.
Mobil sampai di kompleks perumahan dan berhenti di depan sebuah gerbang berwarna hitam. Zahir mematikan mesin mobilnya dan Melati buru-buru mengekor langkah pemuda jangkung itu ketika mereka keluar.
Gerbang hitam itu terbuka, lalu keluarlah seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik di mata Melati.
Wanita itu menyambut hangat dan ramah Zahir. Memeluk pemuda itu lalu sekilas melirik pada Melati yang berdiri kikuk di belakang Zahir.
“Siapa gadis ini, Zahir?” wanita itu langsung bertanya mengenai kehadiran Melati, emmbuat gadis itu sedikit merasa terintimidasi.
“Oh ini….” Zahir tampak ragu-ragu. “Noah belum mengatakan apapun pada Tante?"
“Oh jadi ini yang diceritakan Noah semalam.”
“Nama saya Melati, Bu.” Melati berusaah tampil sebaik mungkin meskipun ia merasa wanita itu mengamati dirinya dengan tatapan yang membuat Melati kurang nyaman. Entah, seperti seorang pembeli yang sedang melabeli barang yang akan dibeli olehnya.
“Saya sudah mengatakan kepada Noah, rumah saya tidak menerima pembantu seperti ini.”
Kalimat itu diucapkan dengan begitu datar tetapi terasa menusuk di telinga Melati. ‘Seperti ini? Apa maksudnya?’
“Zahir, dia masih terlalu muda. Tante tidak yakin dia bisa bekerja dengan baik di rumah ini. Kau tahu ‘kan, zaman sekarang ini ada banyak gadis muda yang berpura-pura bekerja tetapi mereka sebenarnya bekerja dengan ‘tubuh’ mereka. Kau mengerti dengan yang saya katakan ‘kan, Zahir?”
“Saya khawatir dia,” Sesa menuding Melati yang menunduk dengan matanya, “hanya berniat menggoda laki-laki dengan kedok bekerja sebagai pembantu.”
Setiap kalimat yang dilontarkan Sesa membuat dada Melati terasa nyeri. Wajahnya terasa panas. Ia mengigit bibir bagian dalamnya, berusaha menahan agar airmatanya yang sudah menggenang tidak lolos terjatuh.
“Mama!”
Noah keluar dari rumah. Mendekati Mamanya yang masih bersidekap di depan Melati dan Zahir.
“Mama boleh menolak, tapi apa perlu mengatakan kalimat seperti itu?”
“Mama hanya mengatakan hal yang sebenarnya, Noah.” Sesa berkata dengan sengit. “Dia bisa bekerja di tempat lain tapi bukan di rumah Mama!”
“Mama!” Noah memijat pelipisnya. Berusaha menahan emosi. Ia sudah tahu mamanya akan menolak karena semalam mereka sudah membicarakannya. Tapi ia tak menyangka MAmanya akan berkata menyakitkan seperti itu.
Noah melirik melati yang menunduk begitu dalam. Sementara Zahir hanya berdiri kikuk di antara Melati dan Sesa tanpa harus berbuat apa.
“Mama tidak akan pernah mengizinkan gadis ini menginjakkan kakinya di rumah Mama. Mengerti kamu, Noah!”
Sesa langsung berbalik masuk ke dalam rumah dengan langkah lebar. Meninggalkan Zahir dan Noah yang saling berpandangan sementara Melati tergugu. Tangisnya luruh kembali.