Bab 2 Beranikah Ia Berharap?
Bab 2 Beranikah Ia Berharap?
Noah mengehentikan laju mobilnya saat ia mendengar suara berdebum. Pemuda itu merasa sudah mengerem tepat waktu sebelum ujung mobilnya menyentuh tubuh seorang gadis yang ia lihat tiba-tiba melintasi jalan sempit itu. Lagipula, Noah tidak akan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi saat berada di tikungan kecil seperti saat ini. Karena ragu, ia memutuskan untuk mematikan mesin mobilnya dan keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Manik mata hitam milik Noah melebar kala menangkap sesosok tubuh jatuh di depan mobilnya. Tepat di depan mobilnya, tubuh seorang gadis muda dengan dress yang tersingkap. Segera ia mendekat dengan penuh kewaspadaan. Khawatir ini hanyalah kedok perampokan.
“Hei. Nona, kau tidak apa-apa?”
Jalanan sekitarnya sepi dan gelap. Hanya ada satu lampu jalan yang menerangi dengan sinar temaram. Tidak ada siapapun selain dirinya dan gadis muda yang matanya masih terpejam di hadapannya.
Noah memeriksa nadi dan napas gadis tersebut. Meski terasa begitu lemah, ia yakin gadis itu masih hidup. Ia menggaruk kepalanya bingung harus melakukan apa. Haruskah ia meninggalkan gadis ini dan pulang saja? Atau ia sebaiknya menghubungi polisi meminta bantuan? Tapi bisa saja ia menjadi yang tertuduh. Belum lagi ia pasti akan dimintai keterangan di kantor polisi dan itu akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Sial.” Noah mengacak rambutnya frustasi. Akhirnya ia memutuskan untuk menggendong gadis itu dan memikirkan langkah selanjutnya di dalam mobil. Ia tidak bisa berlama-lama di luar atau seseorang akan melihatnya sebagai penjahat kelamin yang telah menyakiti gadis ini.
Noah membopong tubuh Melati ke dalam mobilnya dan mendudukkannya di kursi penumpang di samping kemudi, memasang seatbelt lalu segera menuju kursi pengemudi. Menyalakan mesin mobil seraya menghubungkan sambungan telepon ke sebuah nomor melalui sambungan telepon mobil. Mengaktifkan speaker seraya matanya fokus menyetir.
“Halo.”
“Noah?”
“Kau masih di rumah sakit?”
“Aku baru selesai jam malam. Sedang bersiap-siap pulang. Ada apa?”
“Hmm.. “ Noah melirik gadis di sebelahnya yang masih tidak sadarkan diri. Kepalanya sibuk merangkai kalimat yang pas agar temannya di ujung telepon tidak mengeluarkan lebih banyak pertanyaan. “Ke apartemen aku sekarang.” Noah terdiam sejenak. “ Tidak. Lebih baik aku saja ke apartemenmu.” Ujarnya kemudian. “Jangan mampir ke tempat lain. Aku tunggu.”
“Ada apa? Suaramu terdengar begitu panik. Kau tidak sedang melakukan kejahatan, kan?”
“Tak usah berpikir aneh-aneh. Cepat kemudikan mobilmu pulang. Aku akan segera sampai.”
Noah buru-buru mematikan sambungan telepon dan kembali fokus dengan jalanan di depannya. Sesekali ujung matanya melirik ke arah gadis yang masih tak sadarkan diri di kursi penumpang. Rambut gadis itu terlihat acak-acakan. Noah bisa melihat ada bekas airmata di wajah gadis yang tirus itu.
Hatinya bertanya-tanya, mungkinkah gadis itu korban pemerkosaan? Melihat bagaimana dress gadis itu tersingkap dan koyak di bagian dada sepertinya dibuka secara paksa. Ada beberapa bekas merah di leher jenjang gadis itu dan luka lebam yang samar-samar bisa Noah lihat di beberapa bagian tubuh.
Tubuh gadis itu menggeliat pelan. Perlahan matanya terbuka, sedetik kemudian berteriak ketakutan saat matanya menangkap sosok Noah di balik kemudi.
“Kamu sudah bangun, Nona?”
Alih-alih menjawab, Melati malah bertanya dengan suara gemetar. “Hng.. K-kamu siapa? Kamu menculik saya?”
“Tidak. Tidak bukan begitu.”
Noah memilih menepikan mobilnya terlebih dahulu di sisi jalan yang sepi. Khawatir gadis itu berpikiran aneh atau malah berteriak dan membuat keadaan semakin kacau.
“Saya menemukan kamu pingsan di jalan, Nona. Tolong jangan berpikir macam-macam.” Jelas Noah. “Saya tidak berniat jahat.”
“Kamu suruhan ayah saya atau om itu?”
“Om?” Noah membeo. “Tidak. Bukan. Saya bukan suruhan siapapun.”
Melati mulai menangis. Lega sekaligus merasa takut. Jangan-jangan laki-laki ini juga akan memperkosanya setelah ini.
“Tolong, jangan perkosa saya.” Melati mengiba. “Tolong lepaskan saya.”
“Nona, kau baik-baik saja?” tanya Noah hati-hati. “Bagaimana kalau saya antar kamu pulang? Atau kamu mau saya antar ke polisi?”
“Tidak.” Melati menyergah cepat. Ia tak ingin pulang. Ia juga tak ingin ke kantor polisi. Polisi itu pasti akan membawanya kembali ke rumahnya dan bertemu sang Ayah. Tidak ada yang akan mendengarkan dirinya.
“Jangan antar saya pulang.”
Alis Noah mengerenyit heran. “Baiklah, kita ke kantor polisi….”
“TIDAK!” Melati memotong cepat, “jangan bawa saya ke sana. Saya takut.”
Tangis Melati yang kian mengeras membuat Noah panik dan kebingungan. Gadis itu terus menangis membuat Noah todak bisa berpikir bagaimana cara menenangkan gadis itu.
“Berhentilah menangis.” Noah merasa jengkel karena Melati terus saja menangis. “Berhentilah menangis atau orang-orang akan beranggapan saya sudah melakukan hal buruk padamu!”
Mendengar suara Noah yang terdengar sangat jengkel membuat Melati mengigit bibir dalamnya, menahan tangis. Tubuhnya terguncang. Melihat hal itu Noah menarik napas panjang menahan diri agar tidak berteriak lagi kepada gadis yang tampaknya terguncang itu
“A-ayah saya menjual saya.” Melati membuka suara sete;ah beberapa menit mereka diselimuti keheningan. “Dia menjual saya kepada om-om hidung belang dan memaksa saya… memaksa saya melayani om itu di hotel.”
Mendengar cerita Melati rasa jengkel Noah berganti menjadi rasa iba. Mata Noah dapat melihat mata cokelat milik Melati menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Ia juga bisa melihat bagaimana Melati sejak sadar bergerak gelisah dengan pakaian yang sudah koyak. Tampak tidak nyaman dan berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan tangan gemetar.
Noah menarik napas panjang. Meraih jaketnya di kursi belakang dan menyerahkannya pada Melati.
“Pakai ini dulu untuk menutupi tubuhmu. Aku akan membawamu ke dokter dan mengobati lukamu, bagaimana?”
Melati mengangguk, menerima jaket yang diberikan oleh Noah dengan tangan bergetar.
“Terimakasih.” Ujar Melati dengan suara lirih. “Terimakasih sudah menolong saya.”
Noah tidak menjawab lagi dan segera melajukan mobilnya kembali membelah jalanan yang semakin sepi.
*****
“Dari mana kau menemukan gadis itu , Noah.” Zahir bertanya kepada Noah setengah berbisik. Tangannya merapikan alat-alat yang ia gunakan untuk memeriksa luka-luka Melati ke dalam tas hitam miliknya. “Ada banyak bekas luka lebam di tubuhnya.”
“Dia tiba-tiba saja jatuh pingsan di depan mobilku. Aku takut jika membiarkannya di sana begitu saja.”
“Mengapa tak kau antar saja ke kantor polisi? Sepertinya ini kasus kekerasan dan pemerkosaan. Lihat saja bagaimana keadaan gadis itu.”
Noah mendesah pelan. Menatap Melati yang duduk gelisah memegang cangkir berisi air hangat yang diberikan Zahir tanpa meminumnya.
“Dia tidak mau.”
Mata Zahir membulat. “Kenapa?”
“Aku juga tidak tahu.” Noah mengangkat bahunya. “Jika dia mau, aku sudah berada di kantor polisi saat ini, bukan di apartemen kau.”
“Kalau begitu, antar gadis itu pulang.” Zahir memberi saran. “Kau tahu siapa nama gadis itu?”
“Aku belum menanyakan namanya,” Noah mengheka napas panjang. “Dan dia mengatakan tidak ingin pulang ke rumahnya.”
“Kau mau apa?” Noah bertanya saat melihat tubuh Zahir mendekat ke tempat gadis itu duduk. Zahir hanya mengibaskan tangannya, memberi tanda agar Noah tenang. Noah hanya membuntuti di belakang.
“Hai, Nona. Merasa lebih baik?”
Melati menagngguk takut-takut. “Terimakasih.”
Zahir tersenyum. “Kalau begitu, boleh saya tahu nama kamu, Nona?”
“N-nama saya Melati.” Jawab Melati dengan pandangan tertunduk. Matanya seolah tak mampu menatap 2 orang laki-laki dewasa di hadapannya.
Zahir menangkap gerakan Melati yang semakin erat memegang cagkir di tangannya. Gadis itu masih merasa takut.
“Jangan khawatir, Nona. Kami tidak akan melakukan hal buruk padamu.” Zahir mencoba menenagkan Melati. “ Ah, kalau begitu kenalkan, nama saya Zahir dan dia… “ Zahir menunjuk pada Noah yang hanya diam di sampingnya, “Noah.”
Melati mengangguk-anggukkan kepalanya. Merasa canggung, tak tahu harus bersikap seperti apa.
“Kau tinggal di mana, Nona Melati?”
“Di sebuah rusun di pinggiran kota.” Jawab Melati. “Apa kalian akan mengantarku kembali ke tempat itu?”
“Tentu.”
“Tidak.”
Jawaban Noah mendapat satu sikutan dari Zahir di perutnya.
“Kalau kau memang ingin pulang, Noah akan mengantarkanmu.”
“Hei, kenapa jadi aku? Aku tidak mengatakan apapun.” Noah menyergah cepat mendengar kalimat temannya itu. “Kau saja yang mengantarkan gadis ini.”
“Maaf, Tuan Noah yang terhormat. Tapi kalau perlu saya ingatkan kepada Tuan, kalau saya baru saja pulang bekerja setelah lembur 2 hari berturut-turut dan harus kembali bekerja besok pagi.” Zahir beralasan, "lagipula bukankah kau tidak melakukan apapun, Tuan?”
“Aku juga harus bekerja.”
“Kau tidak bekerja seharian, tidak akan ada yang memotong gajimu, Noah.” Zahir mencibir. Terang saja jika Zahir berkata demikian. Noah adalah anak dari pemilik sebuah perusahaan yang cukup besar di kota mereka. Noah bisa melakukan pekerjaannya dari manapun dan tidak harus pergi ke perusahaan seperti halnya Zahir yang harus menghabiskan waktunya di rumah sakit agar saldo tabungannya bisa tetap terisi.
Noah menggerutu pendek mendengar bantahan Zahir. Belum ia membalas, suara rendah milik Melati menginterupsi keduanya.
“Maaf, tapi saya tidak ingin pulang.” Ujar Melati lirih, “saya tidak ingin kembali.”
Noah melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Melati lekat.
“Lalu kau mau ke mana?”
Melati terdiam. Ke mana? Dia tidak punya jawaban untuk itu. Dia tidak ingin kembali ke rumah dan bertemu dengan ayahnya lagi. Rumah itu serasa neraka bagi Melati. Tapi dia juga tidak memiliki tempat tujuan lain. Ia tidak memiliki siapapun kecuali ayahnya. Kakek dan nenek Melati sudah lama meninggal dan dia tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga ibunya sejak ibunya meninggal. Ia tidak memiliki teman. Ia seorang diri.
“Nona.”
Airmata Melati kembali menetes. Ia merasa tidak punya tujuan. Harapannya tinggallah pada sosok pemuda yang menolongnya, Noah. Tapi beranikah dia berharap?