Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Bunga Telanjang

Bab 1 Bunga Telanjang

Beberapa anak perempuan memiliki impian bisa mendapatkan pria yang mencintai dan melindungi seperti ayah mereka. Ayah, adalah sosok cinta pertama bagi anak perempuan, yang mereka yakini akan menjadi seseorang yang mencintai dengan tulus dan tidak akan pernah menyakiti mereka. Tapi, Melati tidak pernah menginginkan hal itu. Ia sama sekali tidak menginginkan laki-laki seperti ayahnya di hidupnya kelak. Bahkan jika bisa, ia lebih memilih tidak memiliki ayah sama sekali.

“Melati!”

Itu suara ayahnya. Melati menghela napas, membereskan kertas-kertas diatas meja ruang tamu rumah mereka yang sempit dan membawanya masuk beserta dengan mie cup yang baru diseduhnya ke dalam kamar, lalu menutup pintu. Terdengar suara sofa tua rumah mereka berderit disertai suara lenguhan berat sang ayah. Bahkan dari kamar, Melati sudah bisa mencium aroma alkohol yang menguar dari tubuh ayah kandungnya itu.

“Melati!” Pintu kamar Melati terbuka keras. Tampak sang Ayah berdiri limbung berpegangan pada daun pintu. “Mana makanan untukku?”

Melati mendengus pelan menatap mie cup yang belum sempat ia nikmati lalu bangkit memberikan mie cup miliknya untuk sang ayah.

“Makanan macam apa ini!” tolak laki-laki itu. “Kamu sebut itu makanan, hah?!”

“Cuma sisa mie instan di dapur, Yah. Beras habis.”

Sang ayah mendengkus, aroma alkohol dari napas sang ayah memenuhi ruuang penciuman Melati. “Anak bodoh. Kau kan bisa berhutang dulu di warung depan.”

“Utang kita sudah banyak di sana, Yah. Melati malu.”

“Kamu lebih memilih malu dibanding tak bisa makan? Dasar anak tak berguna!” Lalu satu tamparan mendarat di pipi Melati. “Sia-sia aku membesarkanmu!”

Dan malam itu ayahnya menambah lebam di tubuh Melati yang hanya bisa terisak menerima semuanya tanpa bersuara.

*****

Namanya Melati, tapi ia tak pernah memiliki keindahan seperti bunga melati. Kulit putihnya selalu dihiasi lebam kebiruan yang ia sembunyikan dibalik lengan baju panjangnya. Senyumnya tak pernah mekar, ia hanya mampu menunduk, merunduk menutupi gores luka di bibir dan pelipisnya setiap kali sang ayah memukul wajahnya. Tubuhnya tak pernah menguarkan aroma sewangi melati. Baju-bajunya beraorma apek dan lusuh karena terlalu sering dicuci dan kekurangan sinar matahari.

Dulu sampai kini hidupnya biasa-biasa saja, meski begitu ia merasa sudah cukup bahagia. Tapi semenjak ibunya meninggal lalu sang ayah dipecat dari pekerjaan lamanya, semuanya terasa seperti di neraka. Ayahnya mulai melampiaskan kesepian dan rasa lelahnya dengan menenggak minuman keras. Awalnya sang ayah mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga di sebuah klub malam di pinggiran kota. Namun kemudian ayahnya hanyut oleh arus kehidupan malam. Mulai mengenal minuman keras sampai memakai jasa wanita penghibur. Hingga sang ayah tega memukulinya setiap kali Melati dianggap melakukan kesalahan.

“Maaf, Melati. Tapi tunggakan uang sekolah kamu belum dilunasi. Jadi ijazah kamu harus ditahan.”

Melati kembali teringat dengan penjelasan gurunya saat kelulusannya beberapa hari yang lalu. Beasiswa yang ia dapatkan tidak mampu menutupi tunggakan uang sekolahnya dan hal itu menyebabkan rapot dan ijazahnya ditahan oleh pihak sekolah sampai Melati melunasi sisa tunggakan. Sebenarnya sudah ada peraturan jika pihak sekolah tidak diperbolehkan menahan ijazah siswa. Melati tidak bisa melakukan pembelaan apapun karena memang hanya ijazah itu yang bisa ia jadikan jaminan untuk tunggakan uang sekolah yang belum dilunasinya.

Gadis berusia 18 tahun itu mendesah pelan. Ia memerlukan ijazahnya untuk mencari kerja yang lebih baik dengan gaji yang lebih besar. Ia tidak bisa mengandalkan penghasilan yang ia dapatkan dari menjaga sebuah toko kelontong di dekat rusun yang ia tinggali. Belum lagi ia membutuhkan uang tambahan untuk membayar utang-utang keperluan sehari-hari mereka di warung rusun.

Ia sudah mencoba memasukkan lamaran di beberapa toko swalayan atau franchise di kota tapi ia belum menerima satu panggilan wawancara ataupun kabar mengenai surat lamarannya. Ia mencoba menambah uang penghasilan dengan menawarkan jasa bersih-bersih ataupun mengajar anak-anak tetangga sekitar rusunnya.

Melati menghitung sisa uang yang ia punya. Cukup untuk membeli beras dan beberapa bahan makanan. Ia butuh uang yang lebih banyak. Apa sebaiknya dia mengajukan pinjaman di bank? Tapi tidak akan ada bank yang mau memberikan pinjaman untuk anak berusia 18 tahun seperti dirinya tanpa jaminan apapun. Dan Melati tidak cukup berani jika harus meminjam pada renternir atau pinjaman online.

“Melati!”

Melati buru-buru menyimpan uang yang ia pegang ke bawah tumpukan bukunya, tepat saat itu pintu kamarnya terbuka dan sosok ayahnya muncul dengan sebuah pakaian di tagannya.

“Ganti pakaianmu dan ikut ayah.”

Mata cokelat milik Melati menatap ayahnya bingung, “ke mana?” tanya Melati takut-takut. Ayahnya pulang dalam keadaan lebih segar dari biasanya. Pakaiannya masih bersih dan Melati tidak mencium aroma alkohol dari tubuh sang ayah.

Melati menatap pakaian yang diberikan ayahnya dan bergidik. Sebuah dress model sabrina berwarna merah maroon dengan aksen renda di bagian kerah yang tampaknya berukuran lebih kecil dari ukuran size yang biasa Melati gunakan.

“Tak usah banyak tanya. Cepat ganti pakaianmu dan berdandanlah yang cantik. Ayah tunggu 10 menit lagi kamu harus selesai.” Titah sang ayah sebelum menutup pintu kamar Melati.

*****

“Yah, kenapa kita di sini?”

Melati bergerak tidak nyaman dengan dress yang ia gunakan. Sebelah tangannya menutupi bagian atas bajunya yang rendah dan tangannya yang lain sibuk menarik bagian bawah dress yang panjangnya hanya menutupi setengah pahanya saja. Ditambah dengan sepasang high heels berwarna hitam yang membuat kakinya nyeri.

“Kita akan bertemu dengan teman ayah.” Sang Ayah menarik tangan Melati membuat langkah gasi itu sedikit terseok. Mereka menyusuri bangunan hotel yang lampunya temaram dan kemudian berhenti di sebuah pintu bernomor 11 yang berada di ujung lorong bangunan.

“Masuklah dulu. Ayah akan menyusul.”

Melati belum sempat membantah ketika ayahnya mendorong tubuhnya masuk ke dalam kamar.

Ragu-ragu, Melati melangkah masuk. Manik mataya menelisik sekitar ruangan yang tidak terlalu besar itu. Ia melangkah menuju jendela kamar hotel itu dan membuka gordennya. Rupanya jendela kamar itu langsung menghadap ke sebuah jalan kecil yang sepi. Tidak heran, ini hanya hotel kelas bintang 2 yang jauh dari area perkotaan.

Melati mendengar pintu kamar terbuka, disusul seorang laki-laki yang ia perkirakan berusia sedikit lebih tua dari ayahnya masuk. Melati melangkah mundur takut-takut, meraih bantal yang ada di ranjang dan berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya dengan bantal tersebut.

“Halo, Melati.” Pria setetngah baya itu menyapanya ramah. “Wah, Rizwan enggak bohong kalau anak perempuannya sangat cantik seperti kamu.”

Pria itu berjalan mendekat membuat Melati semakin melangkah mundur hingga langkahnya tehenti oleh nakas di samping ranjang.

“Jangan takut, Melati. Saya tidak akan menyakiti kamu.”

“S-sa-saya mau pulang, Om.”

“Nanti kamu Om antar pulang. Sekarang kita ngobrol dulu.” Pria itu meraih pergelangan tangan Melati dan menarik tubuh Melati hingga terduduk di atas ranjang.

Melati merasa makin tidak nyaman karena ditatap begitu intens. Ditambah dengan tangan pria itu yang mulai menyentuh lengannya.

“Nama saya, Pras. Kamu bisa panggil saya Om Pras, Melati.” Bantal yang dipegang Melati ditarik oleh om Pras, kini mata lelaki itu menatap begitu mendamba pada paha mulus milik Melati. “Melati, Melati…”

“Om… “ Melati terkesiap saat om Pras tiba-tiba menyentuh pahanya dan membelainya pelan. “Om Pras.”

Laki-laki itu seolah tidak mendengar suara Melati yang menyerak dan malah makin menyentuh seluruh bagian tubuh Melati yang terbuka. Tangan besarnya menyusuri paha bagian dalam Melati dan jari jarinya mulai bermain di sekitar pangkal paha Melati.

“Jangan, Om.”

Melati bisa merasakaan helaan napas om Pras di ceruk lehernya. Hingga bibir laki-laki itu menyentuh kulit lehernya dan menghisapnya membuat Melati mengigir bibir dalamnya menahan lenguhan.

“Om suka, kamu wangi dan cantik sekali, Melati.”

Melati bergidik, mengingat parfum murahan yang sempat disemprotkan sang ayah sebelum mereka berangkat tadi. Aroma parfum yang menyengat dan membuat Melati terbatuk. Dan laki-laki setengah baya di depannya kini sedang menikmati aroma parfum itu yang sudah bercampur dengan keringat dingin Melati.

Tubuh Melati bergetar hebat. Ia ketakutan saat laki-laki itu mulai menarik kerah sabrina dressnya hingga terdengar suara robek dan mengendus bagian dadanya yang terbuka.

Airmata Melati turun saat tangan Om Pras meremas gundukan payudaranya yang sudah tersingkap sebagian dan hanya ditutupi bra berwarna hitam. Laki-laki setengah baya itu malah semakin bersemangat memainkan lidahnya diatas dada milik Melati. Jari-jari laki-laki itu bahkan sudah berada di tubuh bagian bawah milik Melati dan mencoba menyusup ke balik celna dalam yang Melati gunakan. Mengabaikan suara rintihan gadis belia itu yang memohon untuk berhenti.

Melati berusaha berontak, menjauhkan wajahnya dari om Pras yang berusaha mencium bibirnya. Tangannya yang bebas berusaha mendorong tubuh om Pras yang mulai menindih badannya membuat laki-laki itu marah.

“Aku sudah membayarmu cukup mahal, Melati. Kamu harus melayaniku!” Om Pras berang, mengunci kedua tangan Melati dalam cengkraman tangannya dan mulai membuka dress yang dipakai Melati dengan kasar. Melati kembali berontak. Sekuat tenaga ia mengigit bibir milik om Pras yang menciumi bibirnya hingga pria itu mengaduh dan cengkraman tangannya pada tangan Melati mengendur. Kesempatan itu Melati gunakan untuk membebaskan diri dari kukungan om Pras dan berlari menuju pintu kamar. Sayagnya pintu kamar terkunci dan sepertinya kunci kamar tersebut disimpan oleh om Pras.

“Melati! Jangan kabur!”

Om Pras bangkit dan meraih tubuh Melati. Melati melawan dan menendang selangkangan milik Om Pras hingga membuat pria itu jatuh terduduk. Melati serta merta lari menuju jendela kamar hotel dan melompati dinding yang membatasi hotel dengan jalan kecil yang dilihat Melati tadi. Beruntung tinggi dinding itu tidak sampai 1 meter sehingga Melati bisa melompatinya tanpa kesulitan.

Melati kehilangan tenaga tapi ai harus segera pergi mendengar suara om Pras yang memanggil-manggil namanya. Ia berusaha berlari dengan sisa tenaga yang ia punya, tidak menyadari ada sebuah mobil yang datang dari belakangnya.

Melati menyipitkan mata saat sinar lampu mobil tersebut menyilaukan pandangannya. Terdengar suara klakson yang cukup keras. Lalu pandangan Melati mengggelap.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel