Bab 9. SANG PENYIHIR SAKIT?
Lara buru-buru berdiri, tetapi dia tiba-tiba terjatuh ke lantai, suara 'gedebuk' keras bergema di dalam ruangan.
"Ahh!" Lara tanpa sadar menangis ketika dia mencoba menstabilkan dirinya, meraih tepi tempat tidur sebagai penopangnya dan mendorong dirinya ke atas.
Kakinya kehilangan kekuatannya seperti anak sapi yang baru lahir. Pinggangnya pun terasa seperti pecah berkeping-keping. Setiap gerakan yang dia lakukan, dia merasa seperti sedang disiksa. Inti tubuh bagian bawahnya sangat sakit seolah-olah telah digali secara menyeluruh.
Liam sangat kasar tadi malam sehingga dia hanya bisa berteriak dan memohon belas kasihan. Seluruh vitalitasnya terkuras karena aktivitas keras yang mereka lakukan bersama.
"Bajingan ini! Diberi hati dan dia meminta jantung!" gumam Lara.
Memikirkan berapa kali pria itu menyedotnya hingga kering, dalam hati Lara muncul kebencian. "Awas saja, lain kali aku akan memastikan akan memerasnya hingga tetes terakhir!"
Kemudian dengan penuh semangat juang, Lara mencoba memanfaatkan kakinya yang gemetar dan memaksa dirinya untuk tidak merangkak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Beberapa menit kemudian, Lara akhirnya siap. Mengenakan blus lengan putih dan rok selutut. Rambutnya diikat sanggul dan wajahnya bebas riasan. Dia siap berangkat bekerja.
Lara mengambil kuncinya di atas meja dan segera turun. Ketika tiba di lantai bawah, dia melihat Liam sedang memasak makanan di dalam dapur.
Mengabaikan yang telah terjadi, dengan tergesa dia berjalan menuju lemari es dan mengambil secangkir susu untuk dirinya sendiri dan mengambil roti panggang, lalu menggigitnya.
"Aku terlambat! Aku tidak bisa sarapan di sini," ucap Lara sambil mencoba menghabiskan roti panggang terakhir di tangannya.
"Kenapa kamu terburu-buru?" Liam berkata dengan kesal. Wajahnya berkerut saat dia menyiapkan piring.
"Semua salah siapa?!" tukas Lara sembari memelototinya.
"Fine, tapi sebaiknya kamu makan setelah sampai di kantormu."
"Ya, ya, aku akan melakukannya!" jawab Lara, lalu dia membuka pintu dan siap keluar, tetapi langkahnya terhenti ketika pria itu meraih lengannya.
"Pulanglah lebih awal. Aku akan menunggumu," ucap Liam yang kemudian tanpa basa-basi dia menundukkan kepalanya, mematuk bibir Lara.
Deg!
Lara terpaku karena tindakan Liam yang tiba-tiba. Setelah beberapa detik dia menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya.
Kali ini dia sudah terlambat dan dia tidak punya waktu untuk menegur tindakan pria yang tidak tahu malu itu.
Lara praktis berlari dari pintu menuju lift, melarikan diri seperti kelinci yang terkejut. Melihat itu sudut bibir Liam terangkat ke atas setelah menyaksikan wanita itu menjadi bingung karena tindakan liciknya.
***
Lara tidak tahu bagaimana dia bisa tiba di perusahaan dengan selamat. Pasalnya sepanjang perjalanan menuju perusahaan, dia sangat bingung dan terganggu dengan tindakan pria itu. "Kenapa dia bertingkah seperti itu? Rasanya seperti kita adalah pengantin baru saja," pikirnya.
Lara dalam hati merutuki dirinya sendiri dan segera menghapus pemikiran itu. "Mungkin aku terlalu banyak berpikir," gumamnya kemudian.
Dia sangat bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Segala sesuatunya baru baginya. Dia merasa canggung karena dia tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini, tetapi pada saat yang sama, dia merasa hangat dan lembut di dalam.
Setelah memarkirkan mobilnya, Lara turun dan berjalan masuk ke gedung perusahaan. Sepanjang jalan dia berpikir keras. Sampai saat memasuki lobby dia sangat tidak menyadari para karyawan yang menyapanya.
Dia masih memikirkan tindakan Liam hingga tiba-tiba BRUK ...!
Tubuh Lara terpental kembali setelah bertabrakan dengan sesuatu. Dia hampir jatuh ke tanah, tetapi untungnya, dia berhasil tetap berjalan kaki.
Itu terjadi begitu cepat sehingga dia tidak dapat berpikir selama setengah detik sampai dia menyadari kalau pintu masuknya ada di sisi lain dan dia saat ini sedang berdiri berhadapan dengan jendela kaca.
"Sshh ...." Lara meringis saat dia merasakan sakit di dahinya. Seluruh karyawan yang berada di tempat saat itu ternganga saat melihat benjolan membengkak di atas keningnya.
Sebenarnya dalam hati Lara tersipu. Saat ini dia ingin mencari lubang dan merangkak ke dalamnya, tetapi dia mencoba yang terbaik untuk terlihat acuh tak acuh seperti biasanya. Mempertahankan ekspresi wajahnya yang tanpa emosi dan tabah.
Kemudian Lara menggerakkan kepalanya dan menatap mereka semua. Bagaikan sekawanan burung yang dikejutkan ular, semuanya terbang secepat mungkin, berpura-pura tidak melihat apa-apa.
***
Setibanya Lara di ruangannya, dia segera menelepon Ricci. "Suruh mereka menunda pertemuannya. Kita akan menjadwal ulang besok." Saat mengatakannya, Lara sembari mengambil cermin dan melihat benjolan kecil di keningnya.
Begitu mendengar kata-kata bosnya itu, Ricci seketika ingin menangis. 'Bos, mereka sudah menunggu Anda hampir satu jam, tetapi Anda ingin membatalkan pertemuannya begitu saja? Ini sungguh tidak adil.'
Tidak mempunyai pilihan lain, Ricci akhirnya hanya bisa mengikuti perintah Lara dan memberi tahu orang-orang yang menunggu di dalam ruang meeting kalau bos mereka memutuskan untuk menunda pertemuan mereka.
***
Saat itu sudah jam tiga sore ketika Lara memutuskan untuk keluar dan membeli makanan di restoran terdekat. Dia memutuskan untuk pergi makan sendiri karena dia merasa pengap di dalam kantornya.
Ketika dia hendak kembali ke kantornya, dia merasa ingin buang air kecil sehingga dia memutuskan segera pergi ke toilet yang terletak di lantai satu.
Saat dia sedang duduk di dudukan toilet, dia mendengar seseorang berbicara.
"Hei, apakah kamu tahu kalau meeting kita ditunda karena sang Penyihir terlambat."
"Benarkah? Bagaimana mungkin dia terlambat?Mungkin ada keadaan darurat makanya dia tidak bisa datang lebih awal," kata seorang wanita lain yang berbaju kuning sambil membenarkan make up wajahnya.
"Aku tidak tahu, tetapi orang-orang di lantai pertama tadi pagi melihatnya menabrak jendela kaca.
"Hahaha! Benarkah? Aku yakin itu epik!"
"Ya. Sayang sekali, padahal aku berharap bisa melihatnya saat itu."
Setelah itu keduanya tertawa. Mereka begitu asyik mengobrol hingga tak menyadari terbukanya salah satu pintu bilik terjauh.
"Haruskah aku menunjukkannya lagi agar kamu bisa melihatnya?"
Lara tiba-tiba muncul kembali di belakang mereka, berbicara dengan suara dingin yang hampir membuat mereka mengompol di celana.
"Aah!" Kedua wanita yang merupakan karyawan perusahaan itu berteriak bersamaan. Mereka sangat terkejut ketika melihat 'penyihir' yang mereka gosipkan kini berdiri di belakang mereka seperti setan dari neraka.
"B-Bos!"
Kedua wanita itu gemetar hebat. Mereka takut Lara akan mengutuk dan mengusir mereka keluar dari gedung.
"Dari pada bergosip, kenapa tidak kerjakan pekerjaanmu dengan baik? Alangkah baiknya jika kalian mengerjakan pekerjaanmu dengan penuh semangat seperti caramu bergosip saat ini.
Sebelum kalian membuka mulut untuk berbicara yang tidak-tidak, lebih baik kalian perhatikan dulu performa kerjamu. Perusahaan bukan membayar uang kepada sampah seperti kalian yang hanya tahu cara membuka mulut dan tidak bekerja dengan tangan." Lara berbicara sambil menyeka tangannya yang telah dicuci dengan tisu. Pesannya keras dan jelas.
Setelah itu Lara memandang mereka dan berkata dengan dingin. "Enyahlah!"
Kemudian tanpa menoleh ke belakang, Lara meninggalkan toilet. Membiarkan kedua karyawan wanita itu terpaku di tempat, menggigil ketakutan.