Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11

"Turut berduka cita untuk mereka yang kalah sebelum bertempur, dalam sebuah pertempuran perasaan."

***

"... anak saya itu pintar, karena didikan saya. Makanya sekarang dia bisa masuk Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia ...," Bu Dakna bercerita panjang lebar mengenai anaknya.

Memang sudah menjadi kebiasaan para guru, saat mengajar di kelas, pasti akan melenceng ke arah lain saat menjelaskan. Entah menceritakam tentang hidupnya, atau tentang anaknya.

"Capek gue dengerin Bu Dakna nyeritain anaknya mulu," bisik Febi pada Syakilla.

"Gue sampai hapal," balas Syakilla tak kalah berbisik.

"Pengen banget bisa ngerasain bolos kayak yang lain."

"Heh!" Syakilla melotot, "jangan macem-macem, deh. Orangtua lo nyekolahin lo biar pintar, jangan kecewain mereka dengan bolos."

"Ya ampun, Kil. Gue becanda ... lo serius amat." Febi mendengus, "lagian, masa SMA tuh masa yang paling indah. Harusnya, dipake buat seneng-seneng. Bukan flat-flat aja kayak kita, belajar, ikut lomba, belajar, ikut lomba. Bosen."

"Seneng sih seneng, nggak bolos juga kali."

"Atau pacaran sama salah satu cowok terganteng di sekolah? Ah, kayaknya itu juga nggak bakal terjadi di masa SMA gue yang tinggal beberapa bulan ini." Febi menghembuskan napasnya pasrah.

Syakilla terkekeh pelan seraya menggeleng. "Lo mau pacaran sama siapa emang?"

"Cowok ganteng di sekolah kita siapa lagi emang selain anak-anak President?" ujar Febi, "Bima? Nggak mungkin, dia dingin banget. Awan? Lebih nggak mungkin. Venus? Nggak mungkin kuadrat. Antariksa? Nggak mungkin kubik. Marco? Udah lah nggak mungkin, cewek yang sabunnya masih diisi air biar nggak cepet abis kayak gue gini nggak bakal cocok bersanding sama pangeran kayak mereka."

"Lo jangan merendah gitu dong, Feb. Mereka yang ketinggian, bukan lo yang nggak pantes." Syakilla mendengus, ia paling tidak suka jika pembahasan sudah ke arah kasta dan harta.

"Emang gitu kenyataannya, Kil." Febi terkekeh.

Bel tanda pelajaran berakhir telah berbunyi, Bu Dakna menutup pelajaran dan para murid kelas dua belas IPA satu mulai bersiap untuk pulang ke rumah.

"Eh, gue temenin lo nunggu gojek ya, Kil," ujar Febi yang telah lebih dulu membereskan barang-barangnya.

"Hmm, gue latihan tennis, Feb. Jadi, nggak pulang sekarang." Syakilla memasang tampang bersalahnya.

"Yah ... eh, tapi ntar malem lo free, kan?" tanya Febi. Syakilla mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa, emang?"

"Lo lupa? Kan kita mau ngerjain tugas kelompok," ingat Febi. Syakilla menepuk jidatnya, hampir saja ia lupa. Padahal masih muda, namun penyakit lupa sudah merajalela.

"Hampir lupa." Syakilla nyengir. "Yaudah, see you nanti malem. Di apart gue kan, Feb?"

"Hooh." Sahut Febi. Keduanya berjalan berbarengan menuju luar kelas, Febi yang berjalan menuju halte dan Syakilla ke arah lapangan tennis akhirnya berpisah di depan pintu kelas.

***

"Syakilla, ayo istirahat!" teriak Pak Markus yang berdiri sekitar lima belas meter dari Syakilla.

Hari ini, ia ada jadwal berlatih eskul tennis. Sudah sangat lama Syakilla absen karena harua fokua dengan Marching band, dan sekarang ia bisa kembali kepada hoby lamanya.

Gadis itu berjalan menuju deretan kursi panjang, tempat ia menaruh barang-barangnya. Mengambil sebuah botol yang berisi air putih, namun tidak lama, air itu beralih mengalir ke kerongongan Syakilla. Lega.

Syakilla hendak kembali ke lapangan, menyelesaikan game terakhirnya dan segera pulang untuk bersiap menyambut kedatangan Febi. Mereka akan melakukan kerja kelompok di apartemen Syakilla.

"Syakilla?"

Syakilla memutar tubuh saat mendengar seseorang memanggilnya dari belakang. Gadis itu mengernyit, bingung.

"Siapa?" tanya Syakilla pada orang di hadapannya.

***

Sebuket berisi seratus tangkai mawar merah Marco letakkan di atas makam yang sedang ia kunjungi. Marco menyentuh nisan yang terbuat dari keramik marble berwarna hitam dengan tinta emas itu dengan lembut, seolah sedang menyentuh wajah seseorang.

"Selamat ulang tahun, Qilla," ucapnya seraya tersenyum.

Siapapun yang melihat Marco saat ini, sangat tahu kalau sorot mata cowok itu sangat menyiratkan kerinduan yang mendalam. Rindu yang tidak pernah bisa ia sampaikan langsung, pada si penghuni makam di hadapannya.

Marco paling jarang menunjukkan perasaannya. Di mata orang-orang, ia hanyalah sosok lelaki menyebalkan dengan mulut pedasnya. Tidak banyak yang tahu, bahwa seorang Nicholas Marcosamy juga memiliki sisi lain, sisi yang hanya ia tunjukan pada kekasihnya–yang sudah tiada.

Percayalah, Marco memiliki rasa bersalah yang luar biasa. Bahkan untuk datang ke tempat ini, ia merasa tidak pantas. Namun, kerinduan yang mengalahkan rasa bersalahnya.

Berbagai memori tentang kebersamaannya dengan Qilla kembali memenuhi isi kepala Marco. Lelaki itu termenung di tempatnya, dengan tatapan kosong ke arah nisan yang bertuliskan :

Aqilla Jasmine Wijaya

"Maaf," gumam Marco. "Nanti aku datang lagi, ya."

Marco harus segera pergi, karena kini ingatannya mulai merambat ke hal yang paling ia takuti. Cowok itu beranjak dari posisinya, menatap sebentar ke arah makam itu sekali lagi, kemudian pergi.

Membawa sejuta perasaan bersalahnya.

Bertepatan saat Marco sudah sangat jauh, sosok yang sejak tadi berdiri di belakang pohon untuk menutupi kehadirannya segera keluar. Melangkahkan kakinya pada makam yang sama, milik Qilla.

Tidak seperti Marco yang membawa buket bunga besar, cowok itu–Antariksa hanya membawa setangkai mawar merah.

Antariksa meletakkan bunga yang ia bawa. Kemudian menarik sebuah senyum tipis.

"Maaf, Aqilla."

• "Turut berduka cita untuk mereka yang kalah sebelum bertempur, dalam sebuah pertempuran perasaan."

***

"... anak saya itu pintar, karena didikan saya. Makanya sekarang dia bisa masuk Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia ...," Bu Dakna bercerita panjang lebar mengenai anaknya.

Memang sudah menjadi kebiasaan para guru, saat mengajar di kelas, pasti akan melenceng ke arah lain saat menjelaskan. Entah menceritakam tentang hidupnya, atau tentang anaknya.

"Capek gue dengerin Bu Dakna nyeritain anaknya mulu," bisik Febi pada Syakilla.

"Gue sampai hapal," balas Syakilla tak kalah berbisik.

"Pengen banget bisa ngerasain bolos kayak yang lain."

"Heh!" Syakilla melotot, "jangan macem-macem, deh. Orangtua lo nyekolahin lo biar pintar, jangan kecewain mereka dengan bolos."

"Ya ampun, Kil. Gue becanda ... lo serius amat." Febi mendengus, "lagian, masa SMA tuh masa yang paling indah. Harusnya, dipake buat seneng-seneng. Bukan flat-flat aja kayak kita, belajar, ikut lomba, belajar, ikut lomba. Bosen."

"Seneng sih seneng, nggak bolos juga kali."

"Atau pacaran sama salah satu cowok terganteng di sekolah? Ah, kayaknya itu juga nggak bakal terjadi di masa SMA gue yang tinggal beberapa bulan ini." Febi menghembuskan napasnya pasrah.

Syakilla terkekeh pelan seraya menggeleng. "Lo mau pacaran sama siapa emang?"

"Cowok ganteng di sekolah kita siapa lagi emang selain anak-anak President?" ujar Febi, "Bima? Nggak mungkin, dia dingin banget. Awan? Lebih nggak mungkin. Venus? Nggak mungkin kuadrat. Antariksa? Nggak mungkin kubik. Marco? Udah lah nggak mungkin, cewek yang sabunnya masih diisi air biar nggak cepet abis kayak gue gini nggak bakal cocok bersanding sama pangeran kayak mereka."

"Lo jangan merendah gitu dong, Feb. Mereka yang ketinggian, bukan lo yang nggak pantes." Syakilla mendengus, ia paling tidak suka jika pembahasan sudah ke arah kasta dan harta.

"Emang gitu kenyataannya, Kil." Febi terkekeh.

Bel tanda pelajaran berakhir telah berbunyi, Bu Dakna menutup pelajaran dan para murid kelas dua belas IPA satu mulai bersiap untuk pulang ke rumah.

"Eh, gue temenin lo nunggu gojek ya, Kil," ujar Febi yang telah lebih dulu membereskan barang-barangnya.

"Hmm, gue latihan tennis, Feb. Jadi, nggak pulang sekarang." Syakilla memasang tampang bersalahnya.

"Yah ... eh, tapi ntar malem lo free, kan?" tanya Febi. Syakilla mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa, emang?"

"Lo lupa? Kan kita mau ngerjain tugas kelompok," ingat Febi. Syakilla menepuk jidatnya, hampir saja ia lupa. Padahal masih muda, namun penyakit lupa sudah merajalela.

"Hampir lupa." Syakilla nyengir. "Yaudah, see you nanti malem. Di apart gue kan, Feb?"

"Hooh." Sahut Febi. Keduanya berjalan berbarengan menuju luar kelas, Febi yang berjalan menuju halte dan Syakilla ke arah lapangan tennis akhirnya berpisah di depan pintu kelas.

***

"Syakilla, ayo istirahat!" teriak Pak Markus yang berdiri sekitar lima belas meter dari Syakilla.

Hari ini, ia ada jadwal berlatih eskul tennis. Sudah sangat lama Syakilla absen karena harua fokua dengan Marching band, dan sekarang ia bisa kembali kepada hoby lamanya.

Gadis itu berjalan menuju deretan kursi panjang, tempat ia menaruh barang-barangnya. Mengambil sebuah botol yang berisi air putih, namun tidak lama, air itu beralih mengalir ke kerongongan Syakilla. Lega.

Syakilla hendak kembali ke lapangan, menyelesaikan game terakhirnya dan segera pulang untuk bersiap menyambut kedatangan Febi. Mereka akan melakukan kerja kelompok di apartemen Syakilla.

"Syakilla?"

Syakilla memutar tubuh saat mendengar seseorang memanggilnya dari belakang. Gadis itu mengernyit, bingung.

"Siapa?" tanya Syakilla pada orang di hadapannya.

***

Sebuket berisi seratus tangkai mawar merah Marco letakkan di atas makam yang sedang ia kunjungi. Marco menyentuh nisan yang terbuat dari keramik marble berwarna hitam dengan tinta emas itu dengan lembut, seolah sedang menyentuh wajah seseorang.

"Selamat ulang tahun, Qilla," ucapnya seraya tersenyum.

Siapapun yang melihat Marco saat ini, sangat tahu kalau sorot mata cowok itu sangat menyiratkan kerinduan yang mendalam. Rindu yang tidak pernah bisa ia sampaikan langsung, pada si penghuni makam di hadapannya.

Marco paling jarang menunjukkan perasaannya. Di mata orang-orang, ia hanyalah sosok lelaki menyebalkan dengan mulut pedasnya. Tidak banyak yang tahu, bahwa seorang Nicholas Marcosamy juga memiliki sisi lain, sisi yang hanya ia tunjukan pada kekasihnya–yang sudah tiada.

Percayalah, Marco memiliki rasa bersalah yang luar biasa. Bahkan untuk datang ke tempat ini, ia merasa tidak pantas. Namun, kerinduan yang mengalahkan rasa bersalahnya.

Berbagai memori tentang kebersamaannya dengan Qilla kembali memenuhi isi kepala Marco. Lelaki itu termenung di tempatnya, dengan tatapan kosong ke arah nisan yang bertuliskan :

Aqilla Jasmine Wijaya

"Maaf," gumam Marco. "Nanti aku datang lagi, ya."

Marco harus segera pergi, karena kini ingatannya mulai merambat ke hal yang paling ia takuti. Cowok itu beranjak dari posisinya, menatap sebentar ke arah makam itu sekali lagi, kemudian pergi.

Membawa sejuta perasaan bersalahnya.

Bertepatan saat Marco sudah sangat jauh, sosok yang sejak tadi berdiri di belakang pohon untuk menutupi kehadirannya segera keluar. Melangkahkan kakinya pada makam yang sama, milik Qilla.

Tidak seperti Marco yang membawa buket bunga besar, cowok itu–Antariksa hanya membawa setangkai mawar merah.

Antariksa meletakkan bunga yang ia bawa. Kemudian menarik sebuah senyum tipis.

"Maaf, Aqilla."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel