Bab 10
Suasana kantin sedang ramai, ini adalah jam istirahat pertama. Di tengah keramaian itu, ada lima orang cowok tampan yang selalu menjadi pusat perhatian. Tidak jarang banyak siswi yang modus melewati mereka.
Venus, si Playboy kelas cicak selalu memanfaatkan momen itu untuk menggoda para siswi cantik. Seperti sekarang.
"Bun! Bun!" Panggil Venus pada seorang adik kelas yang baru saja melewatinya. Entah apa tujuan Venus memanggil adik kelas itu dengan panggilan 'Bun', padahal namanya Audi.
Audi menoleh, bukan bermaksud untuk geer. Namun, ia hanya penasaran, siapa yang dipanggil Venus.
"Akhirnya noleh," ujar Venus, "sini, dong!"
"Aku, Kak?" ujar Audi seraya menunjuk dirinya sendiri, Venus berbicara sambil menatap matanya sih!
"Iya, kamu. Sini." Venus membuat gesture tangan memanggil.
"Ada apa, Kak?" tanya Audi.
"Lo dari tadi gue panggil nggak noleh, gue kan mau silaturahmi," ujar Venus memasang wajah super gantengnya.
Audi mengernyit. "Bukannya tadi kakak teriak 'Bun'? Nama saya Audi, Kak."
Venus terkekeh, kemudian menyisir rambutnya dengan jari. Memperlihatkan karisma seorang Venus yang tampan ... tapi masih lebih tampan Marco.
"Bun itu maksudnya Bunda, panggilan dari anak-anak kita nanti," ujarnya. Sukses membuat Antariksa, Marco, Awan dan Bima yang menyaksikan itu ingin muntah.
Sedangkan Audi, gadis itu sedang menahan malu sekarang, senang juga. Siapa sih, yang tidak mau dengan Venus? Ibaratnya, Venus itu ada di posisi ketiga di antara lima cowok di hadapannya.
"Duh jangan malu-malu gitu, dong. Kan gue gemes," ujar Venus dengan suara menggoda. "Pengen banget gue cubit pipinya, tapi gue nggak boleh kontak fisik sama cewek."
"Eh? Kenapa nggak boleh, Kak?" tanya Audi langsung.
Venus menarik senyum, umpannya sudah dimakan, siap untuk ditarik.
"Iya, kontak fisik nggak boleh. Kontak WA aja, sini."
"Lo harus berguru sama Venus, Bim." Bisik Awan, cowok itu terkekeh seraya menggeleng melihat kelakuan sahabatnya.
"Nggak mau, ah. Nggak perlu ngejar, cewek yang dateng ke gue," ujar Bima. Baiklah, ajaran Marco tentang P kuadrat benar-benar diterapkan Bima.
"Ah, masa cewek yang ngejar. Nggak gentle." Awan memasang wajah meremehkan menatap Bima.
"Zaman emansipasi wanita, dong. Bukan masalah gentle. Ibu Kartini udah susah berjuang buat hak perempuan, masa perempuan masih nggak mau gerak duluan?" Alibi Bima. Cowok itu penuh dengan teori di kepalanya, padahal kegiatannya setiap saat hanya bermain PSP yang ada di genggamannya saat ini.
"Bisa aja lo ngelesnya, kayak bajai." Cibir Awan.
Venus kembali duduk di tengah-tengah keduanya, dengan senyum cerah yang terpampang di bibir tipisnya. "Asik, nambah lagi isi kosan putri gue."
"Berapa cewek yang lo minta WAnya hari ini?" tanya Bima.
"Berapa, yak?" Venus nampak berpikir, "sepuluh, kayaknya. Atau lebih?"
"Semua cewek di SMA KOMET kayaknya udah masuk ke kos putri lo, Ven." komentar Awan. Kos Putri Venus adalah WhatsApp-nya, jadi setiap gadis yang memberikan kontaknya pada Venus maka akan disebut sebagai anak Kos Putri Venus. Wow.
"Ada dua cewek doang yang nggak bisa Venus dapetin," ujar Bima. Mereka semua menoleh ke arah cowok yang selalu mengenakan headset itu.
"Siapa?" tanya Awan.
"Barbie," sahut Bima menggantung. Membuat semua teman-temannya yang fokus pada hal lain, kini memperhatikannya, penasaran.
"Lo ngomong jangan setengah kayak otak lo napa si, Bim." Kesal Awan.
"Ye, sabar, Bego! Kan biar penasaran, lo ngerusak suasana, ah!" Kesal Bima.
"Lanjutin sebelum gue tampol," ancam Awan. Cowok itu sudah mengangkat tangan, bersiap hendak menampol Bima.
"Sabar!" Bima menggerutu, "cewek yang satunya, Syakilla."
Marco dan Antariksa menoleh bersamaan ke arah Bima.
"Eh, lo bedua denger nama Syakilla kenapa pada noleh gitu?" celetuk Venus. "Tenang aja kali, walaupun gue ganteng, Syakilla kaga bakal mau. Jangan takut kalah saing gitu, lah."
"Apaan sih lo!" Awan menoyor kepala Venus, "Pede banget!"
"P kuadrat, Wan!" ujar Venus seraya membalas menoyor kepala Awan.
"Lo berdua ...." Bima menatap Antariksa dan Marco yang sejak tadi tidak bersuara.
"... nggak bakal ngulang kejadian setahun yang lalu, kan?" lanjut Bima.
"Apa? Gue lupa," sahut Marco. Cowok itu beranjak dari posisinya. Dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam kantong celana, ia berjalan meninggalkan teman-temannya.
"Lo mau ke mana, Co!" tanya Venus sedikit berteriak, karena posisi cowok itu jauh sekarang.
Namun, Marco tidak menjawab. Cowok itu terus berjalan, mungkin ia akan ke rooftop sekolah. Tempat bolos paling nyaman.
Bugh!
Marco merasakan ada yang menabrak tubuhnya dari depan. Cowok itu menunduk, mendapati seorang gadis berambut panjang yang tingginya hanya sedagu Marco.
"Duh, sorry!" Gadis itu mendongak, kemudian matanya membulat. "Eh, Sorry, Marco!" Dia Syakilla.
Marco menatap gadis itu sebentar, sebelum akhirnya memasang wajah datar dan pergi meninggalkan Syakilla tanpa sepatah kata apapun.
Syakilla mengernyit, seraya berbalik memperhatikan punggung Marco yang semakin menjauh. "Itu orang kenapa, sih?"
• Suasana kantin sedang ramai, ini adalah jam istirahat pertama. Di tengah keramaian itu, ada lima orang cowok tampan yang selalu menjadi pusat perhatian. Tidak jarang banyak siswi yang modus melewati mereka.
Venus, si Playboy kelas cicak selalu memanfaatkan momen itu untuk menggoda para siswi cantik. Seperti sekarang.
"Bun! Bun!" Panggil Venus pada seorang adik kelas yang baru saja melewatinya. Entah apa tujuan Venus memanggil adik kelas itu dengan panggilan 'Bun', padahal namanya Audi.
Audi menoleh, bukan bermaksud untuk geer. Namun, ia hanya penasaran, siapa yang dipanggil Venus.
"Akhirnya noleh," ujar Venus, "sini, dong!"
"Aku, Kak?" ujar Audi seraya menunjuk dirinya sendiri, Venus berbicara sambil menatap matanya sih!
"Iya, kamu. Sini." Venus membuat gesture tangan memanggil.
"Ada apa, Kak?" tanya Audi.
"Lo dari tadi gue panggil nggak noleh, gue kan mau silaturahmi," ujar Venus memasang wajah super gantengnya.
Audi mengernyit. "Bukannya tadi kakak teriak 'Bun'? Nama saya Audi, Kak."
Venus terkekeh, kemudian menyisir rambutnya dengan jari. Memperlihatkan karisma seorang Venus yang tampan ... tapi masih lebih tampan Marco.
"Bun itu maksudnya Bunda, panggilan dari anak-anak kita nanti," ujarnya. Sukses membuat Antariksa, Marco, Awan dan Bima yang menyaksikan itu ingin muntah.
Sedangkan Audi, gadis itu sedang menahan malu sekarang, senang juga. Siapa sih, yang tidak mau dengan Venus? Ibaratnya, Venus itu ada di posisi ketiga di antara lima cowok di hadapannya.
"Duh jangan malu-malu gitu, dong. Kan gue gemes," ujar Venus dengan suara menggoda. "Pengen banget gue cubit pipinya, tapi gue nggak boleh kontak fisik sama cewek."
"Eh? Kenapa nggak boleh, Kak?" tanya Audi langsung.
Venus menarik senyum, umpannya sudah dimakan, siap untuk ditarik.
"Iya, kontak fisik nggak boleh. Kontak WA aja, sini."
"Lo harus berguru sama Venus, Bim." Bisik Awan, cowok itu terkekeh seraya menggeleng melihat kelakuan sahabatnya.
"Nggak mau, ah. Nggak perlu ngejar, cewek yang dateng ke gue," ujar Bima. Baiklah, ajaran Marco tentang P kuadrat benar-benar diterapkan Bima.
"Ah, masa cewek yang ngejar. Nggak gentle." Awan memasang wajah meremehkan menatap Bima.
"Zaman emansipasi wanita, dong. Bukan masalah gentle. Ibu Kartini udah susah berjuang buat hak perempuan, masa perempuan masih nggak mau gerak duluan?" Alibi Bima. Cowok itu penuh dengan teori di kepalanya, padahal kegiatannya setiap saat hanya bermain PSP yang ada di genggamannya saat ini.
"Bisa aja lo ngelesnya, kayak bajai." Cibir Awan.
Venus kembali duduk di tengah-tengah keduanya, dengan senyum cerah yang terpampang di bibir tipisnya. "Asik, nambah lagi isi kosan putri gue."
"Berapa cewek yang lo minta WAnya hari ini?" tanya Bima.
"Berapa, yak?" Venus nampak berpikir, "sepuluh, kayaknya. Atau lebih?"
"Semua cewek di SMA KOMET kayaknya udah masuk ke kos putri lo, Ven." komentar Awan. Kos Putri Venus adalah WhatsApp-nya, jadi setiap gadis yang memberikan kontaknya pada Venus maka akan disebut sebagai anak Kos Putri Venus. Wow.
"Ada dua cewek doang yang nggak bisa Venus dapetin," ujar Bima. Mereka semua menoleh ke arah cowok yang selalu mengenakan headset itu.
"Siapa?" tanya Awan.
"Barbie," sahut Bima menggantung. Membuat semua teman-temannya yang fokus pada hal lain, kini memperhatikannya, penasaran.
"Lo ngomong jangan setengah kayak otak lo napa si, Bim." Kesal Awan.
"Ye, sabar, Bego! Kan biar penasaran, lo ngerusak suasana, ah!" Kesal Bima.
"Lanjutin sebelum gue tampol," ancam Awan. Cowok itu sudah mengangkat tangan, bersiap hendak menampol Bima.
"Sabar!" Bima menggerutu, "cewek yang satunya, Syakilla."
Marco dan Antariksa menoleh bersamaan ke arah Bima.
"Eh, lo bedua denger nama Syakilla kenapa pada noleh gitu?" celetuk Venus. "Tenang aja kali, walaupun gue ganteng, Syakilla kaga bakal mau. Jangan takut kalah saing gitu, lah."
"Apaan sih lo!" Awan menoyor kepala Venus, "Pede banget!"
"P kuadrat, Wan!" ujar Venus seraya membalas menoyor kepala Awan.
"Lo berdua ...." Bima menatap Antariksa dan Marco yang sejak tadi tidak bersuara.
"... nggak bakal ngulang kejadian setahun yang lalu, kan?" lanjut Bima.
"Apa? Gue lupa," sahut Marco. Cowok itu beranjak dari posisinya. Dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam kantong celana, ia berjalan meninggalkan teman-temannya.
"Lo mau ke mana, Co!" tanya Venus sedikit berteriak, karena posisi cowok itu jauh sekarang.
Namun, Marco tidak menjawab. Cowok itu terus berjalan, mungkin ia akan ke rooftop sekolah. Tempat bolos paling nyaman.
Bugh!
Marco merasakan ada yang menabrak tubuhnya dari depan. Cowok itu menunduk, mendapati seorang gadis berambut panjang yang tingginya hanya sedagu Marco.
"Duh, sorry!" Gadis itu mendongak, kemudian matanya membulat. "Eh, Sorry, Marco!" Dia Syakilla.
Marco menatap gadis itu sebentar, sebelum akhirnya memasang wajah datar dan pergi meninggalkan Syakilla tanpa sepatah kata apapun.
Syakilla mengernyit, seraya berbalik memperhatikan punggung Marco yang semakin menjauh. "Itu orang kenapa, sih?"
•NEFARIOUS•