Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Permulaan Sandiwara

Bab 8 Permulaan Sandiwara

Bagas mengamati Nara dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia sedang memberikan penilaiannya pada penampilan Nara yang terkesan semaunya, padahal saat ini di luar para wartawan sedang menunggu mereka.

Mereka hanya memakai kaos oblong putih yang di tengahnya terdapat tulisan S&S, lambang agensi mereka, dipadu dengan blue jeans longgar. Sementara rambut Nara dibiarkan tergerai dan wajahnya sama sekali sekali tak tersentuh make up. Hanya bibirnya yang dipoles lipstik warna soft pink yang nyaris sama dengan warna bibirnya hanya nampak sedikit berkilau.

“Kamu yakin dengan penampilanmu ini?”

“Memangnya kenapa?”

Bagas menggelengkan kepalanya dan ia mulai membandingkan Nara dengan penampilan mantan pacarnya, yang selalu nampak sempurna dengan selalu memakai outfit mewah juga make up lengkap yang memukau.

“Aku tak percaya kamu masih saja sesederhana ini. Dengar kamu itu sekarang seorang artis, kamu harus memperhatikan penampilan kamu.”

“Oh, akhirnya kamu mengakui juga kalau aku seorang artis, biasanya selama ini kamu selalu memanggilku gadis udik.”

Bagas nyaris putus asa menghadapi sikap Nara yang terlalu cuek dengan penampilan. Ia lalu membuka lemari Nara berusaha mencari pakaian yang menurutnya lebih pantas untuk Nara. Namun almari Nara kebanyakan berisi kaos oblong dan jeans.

“Apa hanya ini isi almari pakaian kamu?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Honor yang selama ini kamu terima kamu buat apa saja, gadis udik?”

“Bukan urusan kamu. Memangnya kamu siapa, kamu kan bukan siapa-siapa, jadi jangan tanya macam-macam. Ayo sekarang kita keluar, kita temui para wartawan,” ajak Meta sambil membuka pintu kamarnya dan langsung menemui para wartawan tanpa mempedulikan Bagas yang masih mempermasalahkan penampilannya.

“Selamat pagi semuanya, maaf ya tadi aku kaget sekali sampai berteriak dan langsung menutup pintu. Kalian sih datang di saat aku belum siap, masih acak-acakan dan belum mandi pula.”

“Mbak Nara, tetap cantik kok walau belum mandi,” seloroh salah seorang dari mereka.

Nara hanya memberikan senyumnya dan mulai merasa risih saat Bagas mulai mendekatinya dan berdiri di sampingnya.

“Begini mbak kami bermaksud ingin meliput kebersamaan mbak dengan Mas Bagas ini. Bukankah sekarang kalian sudah pacaran?”

“Iya, memang kami sekarang pacaran,” sahut Bagas cepat sambil memeluk bahu Nara. Nara langsung menatap tajam pada Bagas karena telah berani memeluknya. Walau ia begitu kesal Nara harus menahan diri dan tak bisa menolak.

“Sudah berapa lama? Karena setahu kami Mas Bagas ini masih menjalin hubungan dengan si anak konglomerat itu, apa kalian telah putus mas?”

“Memang aku sudah putus dengan Siska. Aku lebih nyaman dengan hubunganku yang sekarang karena Nara itu…”

Bagas menatap sejenak ke arah Nara ia nampak ragu harus menyebut kelebihan Nara yang memang tak bisa dilihatnya. Selama ini ia lebih sering menemui kekurangan Nara.

“Karena Nara apa kak?” sahut salah satu wartawan.

“Orangnya sederhana,” sahut Bagas cepat dan harus diakui jawabannya memang jujur.

“Apakah ini kencan pertama kalian? Kami kok masih penasaran kalian kok bisa jalan bersama bahkan sampai menjalin hubungan, padahal selama ini kami mengenal kehidupan Mas Bagas selalu berada di kalangan high class?”

Bagas mencoba menyunggingkan segaris senyum untuk menyembunyikan kegugupannya. Dalam hatinya terus merutuki keputusannya sendiri, kenapa ia harus menerima usul Shasha yang sekarang nyatanya malah membuatnya menjadi serba sulit.

“Iya ini kencan pertama kami, dan aku sengaja memilih tempat yang lebih apa ya, istilahnya down to earth, aku ingin membaur dengan kehidupan pacarku ini. Soalnya Nara itu masih suka dengan kesederhanaannya.”

“Kalau begitu kalian akan kemana pada kencan pertama kalian ini?”

Bagas terdiam dan langsung menatap pada Nara.

“Kami akan ke taman di ujung gang untuk jalan-jalan pagi setelah itu makan lontong mie di dekat sana,” sahut Nara cepat menyelamatkan keadaan.

“Baiklah, ayo kita ke sana sayang,” ajak Bagas sambil menggandeng tangan Nara. Nara begitu ingin menghempaskan tangan Bagas dari jemarinya. Tapi lagi-lagi Nara tak mau merusak suasana. Bagaimanapun Nara merasa bertanggung jawab untuk keberhasilan hubungan settingan ini sampai nama baik Bagas kembali.

****

Bagas terus mengikuti langkah Nara mendampingi Nara berjalan kaki, walau ia sudah merasa kedua kakinya mulai lemas. Ternyata jarak antara tempat kos Nara dari taman yang dimaksud masih sangat jauh. Bagas merasa Nara sedang mengerjainya. Namun yang ia heran Nara sama sekali nampak tak terpengaruh. Ia masih nampak segar dan sesekali menyapa orang-orang yang ia temui di jalan. Nara sepertinya telah cukup mengenal dekat mereka. Untuk sejenak keberadaan mereka menarik perhatian penduduk sekitar karena mereka tengah diikuti oleh para infotaiment yang sedang menyorotkan kamera pada mereka berdua. Namun Nara menanggapinya dengan santai begitu juga Bagas.

“Mbak Nara, apa yang membuat mbak mau menerima cinta Mas Bagas ini? Setahu kami gadis seperti mbak ini bukan tipe Mas Bagas karena sebelumnya pacar Mas Bagas itu selalu wanita-wanita seksi yang senang memakai baju terbuka, seperti misalnya Siska, pacarnya yang terakhir.”

Ganti Nara yang mulai menatap Bagas seolah memberi isyarat agar Bagas saja yang menjawab. Namun Bagas malah mendengus dan memalingkan mukanya, memancing kekesalan Nara.

“Mungkin dia sedang bosan, tapi menurutku Bagas ketika memacari gadis seksi sedang mencari sensasi saja supaya dianggap lelaki paling ganteng. Cuma untuk eksistensi diri saja,” jawab Nara sekenanya yang membuat Bagas langsung membelalakan mata ke arah Nara namun untungnya tak terlihat para wartawan.

“Apa benar begitu Mas Bagas?”

Bagas nampak tergeragap sesaat.

“Iya bisa juga begitu.”

“Jadi apa kali ini dengan Nara, mas akan serius?”

“Aku selalu serius dengan semua hubungan yang kujalin sebelumnya. Bahkan dengan Siska aku juga serius dan kami berencana untuk menikah. Walau pada akhirnya kami putus karena beberapa hal.”

Untuk sesaat Bagas seperti sedang mencurahkan isi hatinya. Sampai saat ini sebenarnnya Bagas masih tak bisa menerima Siska memutuskannya. Ia masih begitu mencintai Siska namun nyatanya gadis itu terlalu sulit ditaklukkan olehnya.

“Kalau dengan Mbak Nara apa Mas Bagas juga berniat untuk menikahinya?”

“Apa menikah?” tanya mereka hampir bersamaan dan mereka saling berpandangan kaget.

“Tidak…” jawab Nara cepat.

“Belum maksud Nara,” potong Bagas cepat sambil membungkam mulut Nara dengan tangannya yang membuat Nara berusaha untuk memberontak.

“Iya, iya maksudku juga begitu. Tahun ini aku berencana akan masuk kuliah. Aku sedang mengumpulkan uang untuk itu. Aku sama sekali belum berencana untuk menikah.”

“Lagipula kami baru saling mengenal walau kami telah memutuskan untuk berpacaran. Aku berusaha untuk selalu mendukung cita-citaku Nara dan akan membantunya. Itu adalah salah satu bentuk keseriusan padanya.”

“Cita-citaku bukan hanya kuliah tapi juga memiliki rumah, apa kamu juga akan mendukungku?” tanya Nara polos yang langsung memancing kekesalan Bagas walau ia tak bisa menampakkannya di hadapan para wartawan.

Sekarang semua wartawan sedang menunggu pernyataan dari Bagas.

“Iya, termasuk juga rumah, kamu harus mulai berhemat dan mengumpulkan uang honormu dengan baik,” ucap Bagas terus terang yang langsung menerbitkan rasa kecewa di wajah Nara karena ia sempat berharap pernyataannya tadi bisa memaksa Bagas untuk memberinya bantuan agar ia bisa segera memiliki rumah.

Kini mereka berdua menjadi sama-sama kesal satu sama lain. Namun tetap saja tak boleh ditampakkan di permukaan. Mereka terus bersandiwara. Walau pada permulaan sandiwara itu mereka malah nampak seperti saling mengintimidasi. Akhirnya sesi syuting yang melelahkan itu diakhiri dengan makan lontong mie yang membuat raut muka Bagas pucat pasi karena harus menahan rasa jijiknya makan di warung kaki lima sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Nara hanya bisa menertawakan ekspresinya membuat rasa lontong mie terasa semakin nikmat.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel