Bab 4 Apa Yang Kamu Mau Bagas?
Bab 4 Apa Yang Kamu Mau Bagas?
Narsih tanpa sadar mengungkap rasa senangnya dengan mengucapkan” wow” berulang kali saat makanan yang telah dipesan Shasha mulai dihidangkan di atas meja. Daging steak itu mengeluarkan aroma yang membuat perut kosongnya seakan terus bergejolak meminta untuk diisi. Narsih sudah tak dapat mengendalikan dirinya lagi saat makanan mewah itu terhidang tepat di depannya.
Tanpa menunggu lama Narsih langsung ingin menyantapnya meski sejenak ia nampak ragu memikirkan bagaimana cara memakan seiris besar daging berbumbu ini. Terpaksa Narsih menunggu untuk melihat cara Shasha menikmati makanan asing itu.
Akhirnya Narsih mempergunakan pisau dan garpu yang telah tersedia di atas meja, mengikuti bagaimana cara Shasha makan. Narsih menyantap steak itu dengan sangat lahap hingga tanpa sadar mulutnya mulai belepotan bumbu.
Shasha tak terlalu memperhatikan karena ia sibuk melihat gawainya. Ekspresi wajahnya juga nampak sangat serius dan sepertinya ia sedang menangani masalah yang cukup serius. Sampai kemudian ia memutuskan untuk pergi demi menyelesaikan masalahnya yang Narsih masih belum tahu.
“Nara, kelihatannya aku harus segera pergi, sesuatu telah terjadi di agensi, tak apa kamu selesaikan dulu makanmu. Maaf ya lain kali kita sambung pembicaraan kita ini,” ucap Shasha cepat sembari mulai menarik pantatnya dari kursi.
“Tak apa-apa kan jika kamu aku tinggal?” tanya Shasha merasa tak enak hati pada Narsih namun Narsih menanggapinya dengan santai.
“Tidak apa-apa kak, Kak Shasha pergi saja.”
“Ok, kalau begitu aku pergi ya,” ucap Shasha sambil melangkah keluar dari dalam restoran dengan terburu-buru.
Setelah kepergian Shasha, Narsih melanjutkan makannya. Ia nampak semakin lahap. Saat steak miliknya telah tandas ia lalu melirik pada steak milik Shasha yang teronggok di depannya. Steak itu hanya berkurang beberapa iris saja.
Narsih merasa sayang membiarkan steak itu begitu saja segera ia mengambil dan memindahkannya di hotplate miliknya yang telah kosong. Namun sebelum ia mulai mengirisnya mendadak seseorang datang dan berdiri di hadapannya dengan sangat angkuh sambil menatapnya tajam.
“Apa yang kamu lakukan di tempat ini?” tanya lelaki itu.
Narsih langsung mendongakkan kepalanya untuk melihat sosok lelaki yang saat ini sedang mengamatinya. Betapa terkejutnya ia saat melihat wajah lelaki itu, ternyata lelaki itu adalah lelaki yang sama yang beberapa hari lalu pernah ia ajak bertengkar di pelataran parkir mall yang menjadi tempatnya bekerja.
“Kamu?” Narsih balik bertanya tak percaya.
“Sedang apa kamu? Aku lihat kamu tadi mengambil steak dari hotplate di depanmu, apa itu punya Shasha? Lalu di mana Shasha?”
“Kak Shasha baru saja pergi,” jawab Narsih acuh.
“Pergi? Padahal tadi dia menyuruhku untuk datang ke restoran ini, bagaimana sih Shasha ini?” gerutu Bagas kesal.
Masih dengan menampakkan kekesalannya Bagas akhirnya duduk di hadapan Narsih yang sedang melahap steak sisa milik Shasha. Bagas lalu mengambil gawainya mencoba menghubungi Shasha namun usahanya tak membuahkan hasil. Perhatiannya menjadi terusik saat mendengar suara kecapan Narsih ketika makan. Bagas langsung menatap jijik ke arah gadis berkaos oblong itu.
“Jadi kamu benar-benar menghabiskan sisa makanan Shasha, menjijikkan!” sergah Bagas sambil bergidik.
“Memangnya apa urusanmu? Daripada dibuang, mubazir kan?” balas Narsih kesal sambil meneruskan makannya.
“Baru kali ini aku melihat gadis paling menyebalkan seperti kamu, dasar tak tahu malu.”
Saat melihat wajah Narsih yang belepotan bumbu steak, Bagas semakin infeel.
“Astaga kenapa aku harus bertemu lagi denganmu? Kenapa pula Shasha bersikeras untuk merekrutmu dalam agensinya? Benar-benar menyebalkan.”
“Berhentilah menyebutku menyebalkan.”
“Memangnya aku harus menyebutmu apa? Gadis udik, gadis kampung, gadis tak tahu malu.”
Kedua mata Narsih langsung melotot saat mendengar semua umpatan Bagas.
“Kamu sudah sangat keterlaluan, kamu benar-benar membuatku marah,” sergah Narsih sambil membanting pisau dan garpu yang dipegangnya.
“Marah? Marah saja sana, memangnya aku takut,” balas Bagas sengit.
Narsih tanpa sadar langsung melipat lengan kaosnya, seperti ingin mengajak lelaki menyebalkan di depannya berkelahi.
‘Kamu mau apa he?” tanya Ben sengit saat melihat apa yang dilakukan Narsih.
“Menurutmu aku mau apa he?” balas Narsih tak kalah sengit.
“Kamu mau menantangku berkelahi memangnya aku takut apa? Mentang-mentang kamu wanita kamu anggap aku tak akan meladenimu?”
“Sudah cukup, sudah habis kesabaranku.”
“Kamu tahu baru kali ini aku bertemu gadis paling menyebalkan seperti kamu. Padahal selama ini semua wanita memujaku, mereka mengerubungiku hanya demi mendapatkan tanda tanganku. Apa kamu masih tidak sadar kalau aku ini model terkenal?”
“Apa itu penting? Mau kamu model terkenal atau bahkan bintang Holywood sekalipun kamu tetap menyebalkan buatku.”
Bagas mulai kehilangan kesabarannya dan ia menjadi semakin muak saat melihat wajah Narsih yang belepotan. Akhirnya ia meraih sehelai serbet di depannya dan mengelap dengan kasar mulut Narsih yang belepotan itu. Narsih menjadi terpancing amarahnya.
Narsih langsung mengangkat pantatnya bersiap untuk mendekati Bagas sambil mengepalkan tinjunya, namun sebelum ia benar-benar melangkah mendadak seorang pelayan datang menghampiri mereka dengan membawa secarik bill yang langsung diserahkan pada Narsih.
Kontan amarah Narsih menguap saat menerima bill itu berganti dengan ekspresi kekagetan sekaligus ketakutan. Di bill itu tertera nominal uang yang harus ia bayar untuk semua makanan dan minuman yang telah ia habiskan tadi.
“Satu juta tiga ratus ribu, yang benar saja!’ gumam Narsih tak percaya.
Sementara Bagas menatapnya dengan pandangan mengejek. Dan Narsih balas menatapnya namun kali ini dengan tatapan nanar. Saat ini ia begitu kebingungan karena ia sama sekali tak memiliki sepeserpun uang. Ia tak tahu harus membayarnya dengan apa. Ia mulai mengumpat dan merutuki semuanya. Bagaimana mungkin harga makanan ini bisa begitu mahal bahkan lebih dari setengah gajinya per bulan.
“Kamu kenapa?”
Narsih diam tak menjawab ia masih kebingungan. Ia bahkan sudah merutuki Shasha yang meninggalkannya sebelum membayar makanan pesanannya.
“Kamu tidak punya uang?” tanya Bagas lagi.
Dengan sangat berat hati Narsih akhirnya mengangguk, seperti mengakui kekalahannya di hadapan lelaki paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Namun Bagas malah menertawakannya.
‘Aku mohon pinjami aku uang untuk membayar makanan ini.”
“Memangnya kamu sanggup untuk membayar?” tanya Bagas mengejek.
“Dengar kalau aku jadi artis aku akan membayarmu dua kali lipat dari pada harga makanan ini.”
Bagas tersenyum dalam seringainya.
“Aku tak butuh uangmu, lagi pula siapa pula yang akan menjadikan kamu artis.”
“Baiklah kamu lalu mau apa?”
Bagas terdiam sejenak kembali tersenyum penuh seringai. Bagas melihat sebuah kesempatan untuk memberi pelajaran pada gadis menyebalkan di depannya.
“Aku mau kamu melakukan apa pun yang aku mau.”
Narsih membelalakkan kedua matanya tak percaya.
“Lalu kamu mau apa?”
“Kita lihat saja nanti apa yang aku mau, saat ini aku belum memikirkannya,” tungkas Bagas penuh rasa percaya diri. Setelah itu ia bangkit dari kursinya sambil menarik bill dari tangan Narsih dan menuju ke kasir untuk membayar makanan yang telah dihabiskan Narsih. Kemudian ia pergi begitu saja tanpa menghiraukan sedikitpun pada Narsih yang masih termangu menatapnya.
Saat Narsih tersadar ia bergegas ingin mengejar langkah Bagas. Namun lelaki itu telah menghilang dengan mobilnya akhirnya Narsih mulai melangkahkan kakinya bersiap untuk pulang ke rumahnya dengan hati yang masih menyimpan kedongkolan pada sosok lelaki yang bernama Bagas itu
******