Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Air dan Minyak

Bab 10 Air dan Minyak

Nara tak menyangka Bagas benar-benar menghentikan mobilnya di depan mall. Nara sejenak merasa ragu namun lelaki arogan di sampingnya itu, nampak begitu yakin dan segera menyuruhnya keluar.

“Mau apa kita ke sini?”

“Mau tidur,” sergah Bagas kesal.

“Ya mau mengantarmu belanja, mau apalagi?” imbuh Ben sambil membuka pintu mobilnya.

“Bagas, tunggu.”

Nara segera mengikuti Bagas keluar dari mobil dan berusaha mengimbangi langkah Bagas.

“Siapa yang mau belanja di situ?”

“Memangnya kamu mau belanja di mana?”

“Kamu, maksudnya aku?” tanya Nara tak mengerti.

“Iya, tentu saja kamu.”

“Aku tidak berniat untuk belanja.”

“Kamu harus membeli beberapa baju yang fashionable. Kamu lihat yang kamu pakai saat ini, begitu menyedihkan.”

Nara memandangi dirinya sendiri, ia merasa telah memakai pakaian yang cukup pantas lagipula tadi ia tak menghadiri acara resmi. Ia hanya melakukan rekaman suara di studio, walau kegiatannya tadi ternyata mengundang para wartawan untuk meliput. Jadi ia merasa sebuah hoodie yang dipadu dengan celana jeans favoritnya sudah sangat pantas untuk ia kenakan. Karena gaya berpakaian Nara memang selalu santai dan apa adanya. Dengan segala yang ia miliki sekarang sudah membuat Nara sangat bersyukur bila dibanding keadaannya dulu yang hanya memiliki beberapa lembar kaos kusam.

Tanpa menunggu persetujuan Nara yang masih nampak bimbang, Bagas langsung menggandeng tangan Nara dan membawanya masuk ke dalam area mall. Bagas langsung mengajak Nara masuk ke dalam gerai pakaian wanita.

“Sekarang aku tunjukkan bagaimana memilih pakaian yang tepat untuk wanita seusia kamu.”

“Maksud kamu untuk artis seperti aku?” tanya Nara sok percaya diri. Sikapnya langsung memancing Bagas untuk menepuk pucuk kepalanya.

“Iya, artis kampung,” sahut Bagas kesal sembari mulai memilih-milih beberapa baju.

Setelah Bagas mulai mendapatkan yang sesuai seleranya ia segera menyerahkannya pada Nara. Nara segera mengamati baju-baju pilihan Bagas. Kontan ia menolak dan segera memberikan semua baju-baju itu pada Bagas. Semua baju pilihan Bagas adalah baju-baju kurang bahan, yang membuat Nara langsung bergidik saat membayangkan jika ia memakai pakaian seperti itu.

“Kamu sudah gila menyuruhku memakai pakaian seperti ini?” sergah Nara sambil melempar semua baju itu di hadapan Bagas.

“Kamu sendiri yang norak, ketinggalan jaman. Dasar artis kampungan, gadis udik.”

“Kamu sendiri apa lelaki mesum, Si Tuan Arogan. Kenapa sih aku harus selalu bersama kamu?”

“Benar ini kamu tidak mau memakai semua baju-baju ini?”

“Siapa juga yang mau.”

“Baik, kalau begitu aku akan coba mencarikan kamu baju yang sedikit tertutup.”

Bagas lalu mencari model baju yang lain, sesuai permintaan Nara. Ia lalu menyerahkannya lagi pada Nara. Kali ini Nara sepertinya bisa menerima walau sebenarnya Bagas kurang menyukai pilihannya tadi. Setelah itu mereka melangkah menuju ke kasir untuk membayar baju-baju itu.

“Semuanya tiga juta delapan ratus ribu,” ucap seorang kasir menyebutkan nominal yang harus dibayar.

Nara lalu menatap pada Bagas namun lelaki berkulit putih itu malah memandang balik pada Nara.

“Itu bayar,” jawab Bagas santai.

“Apa? Aku yang bayar?!!” seru Nara nyaris tak percaya.

“Iya, tentu saja.”

“Lantas apa maksudmu mengajakku berbelanja tadi?”

“Dari awal aku kan sudah bilang hanya mengantarmu, bukan berarti membelikanmu baju.”

“Dasar lelaki pelit, aku semakin membencimu Bagas,” omel Nara semakin kesal sambil mengeluarkan sebuah kartu debitnya dan menyerahkannya pada kasir di depannya.

Setelah membayar semua baju-baju itu, Nara bergegas membawa barang belanjaan dan melangkah cepat meninggalkan area mall. Bagas berusaha mengejarnya sampai mereka tiba di tempat parkir.

“Kenapa kamu berjalan begitu cepat? Apa kamu marah?”

“Jawab saja sendiri,” tungkas Nara sambil membuka pintu mobil dan melemparkan belanjaannya ke jok belakang.

“Dengar ya, kamu itu seorang artis aku dengar honor kamu terus naik. Beli baju buat diri sendiri saja pelit,” sahut Bagas sambil memasang seat belt di depan dadanya.

“Bukan urusanmu itu, apa kamu tahu, aku sedang menabung, untuk biaya kuliahku tahun depan juga untuk membeli rumah. Sekarang kamu memaksaku untuk berbelanja di luar rencana, kamu lihat sekarang uang tabunganku berkurang.”

Bagas nampak tercenung sejenak memandang pada Nara. Harus diakuinya gadis di sampingnya memiliki rencana yang cukup matang dalam hidupnya.

“Tapi kamu itu sudah menjadi seorang artis kamu juga harus memperhatikan penampilan kamu.”

“Tapi selama ini jika aku tampil sering memakai pakaian endorse dari beberapa produk fashion. Jadi aku merasa tak terlalu perlu membeli pakaian panggung.”

“Baru kali ini aku bertemu dengan seorang artis seperti kamu. Sekarang coba lihat aku, lihat semua out fit yang aku pakai saat ini. Lihat jam tangan yang aku pakai ini, kamu tahu berapa harganya?”

Nara mendengus kesal melihat kesombongan Bagas. Ia lalu berusaha memalingkan wajahnya namun Bagas malah memaksanya untuk terus mengamati semua yang dipakai oleh lelaki sombong itu.

‘Harga jam tangan ini tiga ratus.”

“Tiga ratus ribu?”

“Tiga ratus ribu, hallo, ini tiga ratus juta gadis udik.”

“Tiga ratus juta, apa istimewanya jam ini?” tanya Nara tak percaya sembari mengamatinya lebih teliti.

“Ini belum seberapa. Kamu lihat kemejaku ini, harganya sepuluh juta, sementara kamu baru membayar tiga juta saja sudah panik.”

“Memang susah berhadapan dengan orang susah seperti kamu,” imbuh Bagas sambil mulai menyalakan mesin mobilnya dan segera ia melaju meninggalkan tempat parkir mall itu.

Sepanjang perjalanan Nara tak berhenti merutuki dirinya. Ia ingin memaki dan memukuli lelaki sombong di sampingnya itu namun Nara tetap berusaha menahannya ia masih memikirkan keselamatannya karena saat ini Bagas sedang menyetir mobil.

***

Saat Nara tengah menikmati waktu istirahatnya setelah seharian mengisi beberapa acara baik di stasiun televisi juga di sebuah even ulang tahun perusahaan besar, tanpa pernah disangka Bagas mendatanginya di kamar kosnya. Lelaki arogan itu mengusik waktu istirahatnya membuat Nara semakin tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

“Mau apalagi kamu datang?”

“Kamu harus ikut denganku sekarang juga, ganti pakaianmu dengan ini,” tungkas Bagas sambil melemparkan sebuah gaun yang telah dibawanya tepat di depan dada Nara.

“Kamu mau mengajakku kemana?”

“Ke sebuah pesta, kamu harus ikut karena di tempat itu akan didatangi banyak wartawan infotaiment. Aku tak mau ditanyai macam-macam oleh mereka jika aku datang sendiri tanpa mengajak kamu. Seluruh Indonesia kini tahu bahwa kita sedang berpacaran.”

“Iya, pacaran settingan,” sahut Nara kesal namun Bagas langsung membungkam mulut Nara dengan tangannya. Ia takut orang lain di tempat kos ini dapat mendengar ucapan Nara.

Bagas langsung menutup pintu kamar Nara dan mengajak gadis itu ke dalam.

“Kamu harus hati-hati menjaga mulutmu.”

“Tapi aku sudah muak melihat muka sombongmu itu.”

“Ingat kamu sudah janji pada Shasha. Kamu harus membantuku. Kita harus terus berpacaran sampai citraku menjadi baik.”

Nara mendengus sebal pada Bagas.

“Sekarang pakai gaun ini dan kita segera berangkat.”

“Kalau begitu kamu tunggu di luar, aku tak mau mereka berpikir macam-macam pada kita.”

“Memang mereka berpikir kita akan melakukan apa? Melihat mukamu saja sebetulnya aku sudah muak.”

Nara sudah tak dapat menahan dirinya lagi. Amarahnya langsung meluap.

“Apa kamu selalu menyebalkan seperti ini? Jika bukan karena Kak Shasha aku tak akan mau menjalani hubungan settingan ini. Aku yang lebih muak melihat mukamu yang menyebalkan itu. Sekarang juga kamu keluar, keluar Bagas!!”

“Iya, iya aku keluar.”

Bagas keluar dari kamar Nara dengan membawa sumpah serapahnya. Setiap kali mereka bertemu bisa dipastikan mereka akan selalu bertengkar. Seperti air dan minyak yang sangat sulit untuk menyatu.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel