Ruang Olahraga
Sesampainya kami disana. Erin yang berjalan didepan tiba-tiba berhenti. Entah apa yang menbuat dia tiba-tiba berhenti. Tapi firasatku mengatakan bahwa Erin melihat sesuatu. Karena aku merasakan hawa yang berbeda disini. Dan jangan lupakan Sindy, hidungnya mengeluarkan darah lagi. Tapi kali ini hanya sedikit darah yang keluar.
"Apa kalian merasakannya? Dia sekarang berada di belakang ring basket itu. Lihatlah." ucap Erin sambil menunjuk ke arah ring basket yang ada di belakang Pak Yusuf.
Sindy yang langsung melihatnya juga tersentak. Lalu aku juga mulai penasaran dengan apa yang mereka lihat. Aku mulai mengarahkan mataku ke arah yang Erin maksud tadi.
Dan yang ku lihat adalah....
Sesosok pria mengenakan baju olahraga yang sama seperti baju yang kukenakan sekarang. Bajunya penuh dengan darah. Aku melihat luka di perut kirinya. Seperti luka tusuk benda tajam. Dan matanya selalu mengarah kemana bola basket itu berada.
Aku sangat sedih melihat sosok ini. Kenapa tidak? Sosok ini selalu saja mengeluarkan air mata yang berwarna merah pucat. Tapi tunggu, mengapa ia bisa gentayangan di sini. Apa ada hubungannya dengan bola basket?
"Sudah, sekarang kita fokus dulu pada mata pelajaran kita. Setelah pulang sekolah, kita kembali ke sini lagi." ucap Sindy.
Kami pun berlari menuju tempat di mana pembelajaran berlangsung.
.
.
.
Setelah pulang sekolah
.
.
.
Kami segera ke ruang olahraga. Dan ruang itu berada di lantai 2. Jadi kami hanya menuruni satu tangga saja. Sesampainya kami disana, kami tak melihat sosok yang kami lihat tadi.
"Haruskah kita memanggilnya? Atau kita tunggu saja sampai dia muncul dengan sendirinya?" tanya Sindy yang sedari tadi masih sibuk mencari sosok itu.
"Sebaiknya kita tunggu saja. Mungkin sebentar lagi dia akan keluar." ucap Erin seraya mencari tempat duduk untuk kami bertiga.
Dan memang benar. Tak lama kemudian, hidung Sindy mengeluarkan darah yang bertanda ada mahluk lain di sini.
"Hidungku sudah memberikan kita sinyal. Sekarang giliran kalian mencari di mana mahluk itu berada. Aku akan membersihka ini dulu." kata Sindy lalu berlari menuju toilet yang ada di pojok ruangan ini.
Sekarang tinggal kami berdua. Kami sibuk mencari keberadaan mahluk tadi. Tapi kami tak kunjung menemukannya. Tiba-tiba...
"Akkkhhhhh..... "
Jeritan Sindy dari dalam toilet. Aku kaget mendengar jeritan tersebut yang hampir merusak sistem pendengaranku.
Tanpa berpikir panjang, aku dan Erin langsung berlari menuju toilet yang Sindy masuki tadi.
"Ada apa, Sindy? Kau baik-baik saja?" tanyaku dari luar toilet.
Tidak ada jawaban apapun dari Sindy.
"Aku takut terjadi sesuatu di dalam. Bagaimana ini?" ucap Erin yang masih berdiri di depan pintu toilet.
Tiba-tiba Sindy keluar dengan kelakuan yang sangat aneh. Dia keluar dengan keadaan tertunduk dan rambut yang tadinya ia urai ke belakang sekarang sudah menutupi semua wajahnya. Sampai aku pun tak bisa melihat wajahnya sedikit pun.
Sudah pasti. Sesuatu terjadi padanya.
Tak lama, Sindy mulai mengeluarkan suara. Tapi yang ia keluarkan bukanlah suaranya. Melainkan terdengar seperti suara pria.
"Tolong aku..." ucap Sindy.
Aku berpikiran bahwa ini bukan Sindy. Karena suaranya saja sudah beda.
"Siapa kau? Mengapa kau ada di dalam tubuh temanku? Apa mau mu?" tanya Erin yang berada di samping kanan Sindy.
"Tanyanya pelan-pelan saja. Mungkin dia kesulitan menjawab semua pertanyaanmu. Selesaikan ini dengan tenang, yah." ucapku menenangkan Erin yang mulai bergetar.
Saat Erin ingin mengulang kembali pertanyaannya tadi, Sindy terjatuh ke lantai. Dan kami langsung membawanya ke tempat duduk kami tadi. Tak lama, akhirnya Sindy sadar. Dan dia heran mengapa ia ada disini.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian menatap ku seperti itu?" tanya Sindy yang rupanya heran juga.
Kami tak berani menjawab pertanyaannya. Kami masih heran dengan kejadian tadi.
"Oh iya, di mana hantu itu? Dari tadi dia belum menampakkan keberadaannya pada kita." ucap Sindy yang tidak tahu sama sekali tentang kejadian tadi.
"Sudahlah, mungkin dia belum bisa berkomunikasi dengan kita" ucapku.
"Kalau begitu, kita pulang saja dulu. Besok kita ke sini lagi saat pulang sekolah." tawar Erin.
Kami pun meninggalkan ruang olahraga itu. Kami berjalan menuruni tangga untuk menuju ku lantai bawah. Dan kami berjalan keluar sekolah. Lalu pulang menaiki bus sekolah.
.
.
.
Sesampaiku dirumah
.
.
.
Aku merebahkan tubuhku dikasur empuk yang ada di kamarku. Hari ini terasa begitu melelahkan. Disela-sela kehenginanku. Dari lantai bawah, ibu berteriak memanggilku turun untuk makan malam bersama. Tunggu apa lagi? Aku langsung turun menuju meja makan. Di meja makan sudah ada ayah dan ibuku.
"Ayo dimakan." ucap ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk appaku. Mereka memang sangat romantis seperti pasangan yang baru menikah padahal umur mereka sudah tidak mulai lagi.
"Terima kasih." ucap ayahku saat ibuku menyodorkan makanan di depannya. Dan ibuku membalasnya dengan senyuman yang sangat tulus.
"Tami, kamu mau makan apa? Sini ibu ambilkan." tawar ibuku yang masih berdiri disamping ayahku.
"Tak apa, ibu. Biar aku ambil sendiri. Ibu juga harus makan, kan. Ayo duduk." jawabku.
"Ayah, ternyata dikelas ku ada anak indigo juga. Namanya Sindyandra tapi dia lebih sering disapa Sindy. Dia orang yang sangat berani. Dia juga mau membantu ku dan Erin memecahkan misteri yang ada di sekolah itu." jelasku panjang lebar.
"Sindy? Namanya unik sekali. Kalian bertiga harus selalu berhati-hati dalam memecahkan misteri apapun. Itu pesan appa." ucap ayahku.
"Baiklah, tapi kali ini aku rasa misteri ini agak lebih menantang." ucapku yang membuat ayah melihat ke arahku.
"Kalau begitu, kalian harus tetap tenang. Jangan terburu-buru. Dan kalian harus saling melindungi satu sama lain." begitulah pesan yang selalu ayahku sampaikan padaku.
"Sudah, sudah. Makan dengan cepat. Setelah ini, kerjakan tugas sekolah jika ada. Kalau tidak ada, segeralah beristirahat." ucap ibuku yang membuat ku fokus menyantap makananku.
Setelah selesai makan, aku membantu ibu membersihkan meja makan dan mencuci piring. Kemudian aku berjalan ke kamar.
"Akhhh, rasanya sudah lama sekali aku disekolah SMA ini. Padahal kan baru seminggu. Oh iya, sudah lama aku tidak melihat Kak Susan. Sebenarnya dia kelas berapa?" kata ku dalam hati.
.
.
.
Keesokan harinya
.
.
.
"Bagaimana dengan rencana kita kemarin?" tanya Erin.
"Tentu saja kita akan melanjutkannya." ucap Sindy dengan begitu entengnya.
Disela-sela percakapan mereka,
Tinggggggggggg.......
Bel berbunyi dengan lantangnya. Menandakan jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Kita lanjutkan ini sepulang sekolah." ucapku.
Tak lama, guru masuk dan langsung mengabses semua siswa. Kemudian dia melanjutkan dengan pembahasan materi. Kami semua memperhatikan apa yang guru tersebut jelaskan.
Setelah pulang sekolah, sesuai kesepakatan. Kami menuju ke ruang olahraga. Dan baru saja kami masuk beberapa langkah ke dalam ruangan ini. Hidung Sindy sudah mengeluarkan darah. Anak ini sangat sensitif rupanya.
Tak lama kemudian. Erin yang sedari tadi terdiam, kini tiba-tiba pingsan. Dan firasatku mengatakan bahwa Erin akan mendapat penglihatan lagi seperti waktu kasus Nani dulu.
Lalu kami mengangkat tubuh Erin ke tempat duduk yang berada tak jauh dari tempat Erin pingsan.
.
.
.
Erin pov
.
.
.
Setelah beberapa langkah masuk ke ruangan ini. Lagi-lagi, hidung Sindy mengeluarkan darah. Yang menandakan bahwa ada mahluk lain disini. Tak butuh waktu lama, aku sudah melihat mahluk itu. Tapi kini dia terlihat sedikit lebih baik dari waktu itu. Dan dia mulai berjalan ke arahku.
Sekarang dia sudah berada tepat didepan wajahku. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Lalu aku berusaha menerima apa yang akan ia katakan. Rupanya dia bukan ingin mengatakan sesuatu melainkan dia ingin memperlihatkan sesuatu padaku.
Seperti saat kasus Nani dulu. Pandanganku perlahan mulai gelap dan akhirnya aku kehilangan kesadaranku.