8. Fleurs
Un envoi pour vous, Madamme.* (Kiriman untuk anda, Nona)." Seorang pria mengangsurkan seikat bunga pada Shelyn yang baru saja akan pergi bekerja.
Shelyn menerima bunga tersebut dengan dahi berkerut. Ini sudah kali ketiga ia mendapatkan bunga misterius tanpa nama pengirimnya. Hanya berisi sebuah pesan singkat dalam bahasa Prancis.
"Savez-vous qui me l'a donné?* (Apa kamu tahu siapa yang memberikannya untukku)?" tanya Shelyn.
Pemuda itu mengendikkan bahu. "Tugas saya hanya mengantar. Jadi saya tidak tahu, Nona."
"Baiklah." Shelyn mendekap bunga itu ke dalam pelukannya.
Pemuda itu pun pergi sementara Shelyn memeriksa kertas pesan yang terselip di dalam bunga itu.
Souriez, alors ces fleurs deviendront plus belles.*
(Tersenyumlah, maka bunga-bunga ini akan menjadi lebih indah.)*
Shelyn mau tidak mau ikut tersenyum setelah membaca pesan tersebut. Sembari mendesah, disentuhnya kelopak-kelopak bunga mawar tersebut dengan gemas. Lalu, dimasukkan ke dalam keranjang sepedanya.
Ia bersiap untuk segera berangkat ke tempatnya bekerja. Hari ini adalah jadwal Shelyn mengantar bunga. Mau tidak mau, ia jadi sedikit merasa geli juga. Mengantarkan bunga pada orang lain sementara dirinya juga mendapatkan bunga misterius dari seseorang.
Apa bunga ini dari Darren? Atau Bara?
Namun, Shelyn tidak yakin Darren akan melakukan hal merepotkan seperti ini. Darren pasti akan memberikan langsung padanya jika mau, begitupun dengan Bara. Gadis itu jadi semakin bertanya-tanya.
Sambil terus mengayuh sepedanya dengan penuh semangat, Shelyn menengadah. Hari ini langit seolah bekerja sama untuk mencerahkan hatinya. Shelyn merasakan angin sejuk mencium pelan wajahnya. Semenjak mendapatkan bunga-bunga misterius tersebut, entah mengapa gadis itu seperti mendapatkan energi positif yang aneh.
"Bonjour!" sapa Madam Tracie begitu Shelyn sampai. Wanita itu merupakan pemilik toko bunga tempat Shelyn bekerja.
"Bonjour, Madame!" sahut Shelyn sambil tersenyum lebar.
"Lihatlah dirimu hari ini. Sungguh ceria. Apa ada hal baik yang sedang terjadi?" tanya Madam Tracie takjub.
Shelyn tertawa kecil. "Entahlah. Hanya merasa cuaca sedang bagus akhir-akhir ini."
Madam Tracie ikut tersenyum. "Aku senang kamu tidak murung lagi, Shelyn. Tetaplah seperti ini."
Wanita itu mengusap bahu Shelyn dengan lembut. Shelyn selalu merasa bersyukur bisa bertemu dengan Madam Tracie yang sangat baik padanya. Wanita itu adalah tempat Shelyn berkeluh-kesah selama ini. Bagaimana ia memperlakukan Shelyn seperti anak gadisnya sendiri.
Nama asli wanita itu adalah Tracie Finley. Berusia sekitar 45 tahunan. Seorang single parent. Ia dan suaminya memilih berpisah kala putrinya yang berusia 12 tahun meninggal dalam peristiwa penembakan oleh komplotan gangster beberapa tahun lalu waktu Shelyn baru tiba di Paris.
Shelyn mengenal wanita berambut tembaga ini secara tidak sengaja tatkala ia sedang membutuhkan pekerjaan sampingan dan Madam Tracie baru membuka toko bunganya. Shelyn akhirnya langsung diterima dengan tangan terbuka.
Madam Tracie juga selalu menyemangati Shelyn untuk bersikap tegar dalam menghadapi segala hal yang terjadi. Shelyn memang menceritakan tentang hidupnya pada Tracie walau tidak semuanya, tetapi wanita itu tahu Shelyn sedang menghadapi masa-masa berat.
Melihat Shelyn bisa tersenyum pagi ini, tentu saja membuat Tracie mau tidak mau merasa sedikit penasaran. Hal baik apakah yang tengah terjadi pada Shelyn sehingga terlihat begitu semringah?
"Bagaimana dengan minum teh, lalu menceritakannya padaku?" Tracie menatap Shelyn.
Shelyn menunjukkan bunga misterius yang didapatnya belakangan ini seraya berkata, "Aku tidak tahu siapa pengirimnya. Tapi, rasanya menyenangkan."
Tracie berdecak. "Kamu punya penggemar misterius, Shelyn. Ini manis sekali."
"Ya. Kupikir aku harus mencari tahu siapa pengirimnya." Shelyn tercenung.
"Mungkin seseorang yang mengenalmu dan kenal dekat denganmu," tebak Tracie. "Seperti cowok teman kuliahmu itu, siapa namanya?"
"Darren? Kupikir bukan dia." Shelyn menggeleng.
Tracie mengangkat bahu. "Yah, siapa tahu saja. Sekarang, ayo kita masuk!"
Kemudian, keduanya melangkah ke dalam. Shelyn mendekap bunganya sambil sesekali menghirup aroma harumnya. Senyuman lebar kembali menghiasi wajah gadis itu.
Tanpa Shelyn sadari, tampak seseorang memperhatikannya sejak tadi dari kejauhan. Orang itu adalah Davin, dan memang pemuda itulah yang mengirimkan bunga-bunga tersebut kepada Shelyn. Sejak menyaksikan bagaimana Shelyn menangis di pelukan Bara beberapa hari lalu, ia jadi semakin merasa bersalah.
Davin belum sanggup menemui Shelyn secara langsung. Katakanlah ia seorang pengecut dan pemuda itu takkan memungkirinya. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal sebelumnya, ia sudah menggebu-gebu ingin menemui Shelyn di sini. Namun, begitu melihat betapa menderitanya gadis itu selama ini, membuat Davin kehilangan kepercayaan diri. Ia takut menyakiti gadis itu lagi.
Hari ini menyaksikan Shelyn tersenyum di kejauhan sungguh membuat Davin merasa bahagia. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa dilakukan Davin agar gadis itu menjadi ceria. Sesuatu yang sederhana dengan mengiriminya bunga dan pesan penyemangat.
"Temuin dia dong, dari pada lo cuma senyum-senyum sendiri di sini kayak orang gila," tegur Dimas yang duduk di sebelah Davin dengan jengah. Mereka sedang berada di dalam mobil. Sepagian ini Davin dan Dimas hanya mengikuti Shelyn dan mengamatinya dari kejauhan.
Mereka telah mendapatkan mobil dari Eric untuk menjalankan tugas agar lebih mudah. Setelah memiliki jadwal libur beberapa hari, mereka harus menjalankan misi mencari Danielo Monarez lagi agar bisa mendapatkan informasi tentang kakaknya, Felipe Monarez.
"Berisik lo, ah!" gerutu Davin sambil memutar matanya. "Lagian lo sendiri kenapa mau ikut gue kemari?"
"Gue penasaran aja pengen liat keadaan Shelyn," sahut Dimas, masih memandang Shelyn dari jendela.
Gadis itu saat ini sedang menata beberapa pot bunga di etalase depan bangunan toko. Terlihat bibirnya yang tak berhenti tersenyum tiap kali ada orang yang menyapa atau menatapnya.
"Bunga yang lo kasih kelihatannya berhasil, Vin," komentar Dimas.
Davin tak menjawab. Matanya masih terus mengamati Shelyn di sana. Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesosok mencurigakan berada di seberang jalan. Sosok itu mengenakan jaket jins, celana hitam serta topi hitam. Davin tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang itu karena tertutup masker. Namun dilihat dari perawakannya, Davin yakin dia adalah seorang pria dan tampak tidak asing.
Orang itu mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel yang disandangnya. Sebuah kamera. Seketika firasat aneh menghinggapi hati Davin. Cowok itu memicingkan mata. Sikunya menyenggol Dimas yang duduk di sebelahnya.
"Coba lo lihat cowok di arah jam 1 seberang jalan," kata Davin padanya.
Dimas langsung menggerakkan kepala ke arah yang dikatakan Davin. Lelaki itu tengah memotret sesuatu dan kelihatannya memotret Shelyn yang masih berdiri di depan toko. Gadis itu pun sama sekali tak menyadarinya.
"Penguntit?" tebak Dimas sambil membulatkan mata.
Davin mengepalkan tangan. Rahangnya terkatup rapat sementara pandangannya terfokus pada sosok mencurigakan tersebut. "Kita harus samperin dia," katanya, cepat-cepat menyalakan mesin mobil.
Davin langsung menjalankan mobil menuju lelaki tersebut. Ketika jarak mereka nyaris dekat. Lelaki itu buru-buru berjalan menjauh dan setengah berlari menuju sebuah mobil SUV putih yang terparkir beberapa meter di dekatnya. Kemudian, masuk ke sana.
Davin berniat menyusul pria itu sebelum kehilangan jejak. Namun, Dimas langsung menahannya.
"Cowok itu mencurigakan," protes Davin. "Gue takut dia gangguin Shelyn."
Dimas menunjukkan ponselnya yang berisi pesan dari Pak Mathias. "Kita harus ke lokasi sekarang. Tugas memanggil."
Davin kembali memandang mobil pria misterius tadi yang sudah bergerak menjauh. Sambil menghela napas, ia akhirnya mengalah dan memutar kemudinya meninggalkan tempat ini. Ia sempat melirik sejenak melalui kaca spion ke arah Shelyn. Berharap gadis itu baik-baik saja dan orang mencurigakan itu tidak mengganggunya.
-
Shelyn masuk kembali ke dalam toko, menyibukkan diri dengan memotong-motong tangkai bunga agar lebih rapi saat dirangkai. Ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Ada panggilan masuk dari Bara.
Shelyn terdiam sejenak sementara layar ponsel berkedip-kedip. Setelah pembicaraan mereka yang menguras emosi beberapa hari lalu, Shelyn sejujurnya merasa sedikit lega. Seolah beban yang selama ini menderanya terangkat secara perlahan. Namun, masih ada rasa enggan yang terselip di hatinya dan membuatnya ingin menjaga jarak.
"Ada apa, Bar?" sapa Shelyn begitu mengangkat panggilan itu.
"Kamu lagi apa, Shel? Sibuk?" sahut Bara.
Shelyn melirik ke arah Madam Tracie yang sedang melayani seorang pembeli di depan.
"Aku lagi kerja."
"Oh, maaf kalau aku ganggu kamu. Aku cuma pengen ngajak kamu ketemu malam ini. Bisa?"
Shelyn tidak segera menjawab. Ia melirik jam tangannya sekilas. Hari ini jadwal kerjanya di La Delicieux sedang libur. Jadi ia memiliki waktu sangat luang kalau hanya untuk sekedar mengobrol.
"Aku nggak akan menyita waktu kamu lama-lama kok, Shel. Soalnya aku harus kembali ke Indonesia lagi."
"Oh," gumam Shelyn. "Oke. Jam berapa kita ketemu?"
Terdengar helaan lega di seberang telepon. "Sebelum waktu makan malam, ya. Aku jemput kamu atau—"
"Nggak usah," sela Shelyn cepat. "Kita langsung ketemuan di luar aja. Nanti aku kasih tahu lokasinya."
"Oke, Shel ...."
"Oh ya, Bar!" seru Shelyn sebelum menutup sambungan teleponnya. "Apa kamu yang ngirimin aku bunga beberapa hari ini?"
"Bunga?" tanya Bara bingung. "Bunga apa?"
Shelyn menggigit bibir. Kecurigaannya ternyata benar kalau memang bukan Bara yang mengirim bunga misterius itu.
"Nggak papa, kok. Kalo gitu aku tutup dulu ya, Bar. Aku lagi kerja soalnya."
"Oke, Shel. Sampe ketemu nanti malem!"
Lalu, suara panggilan terputus. Shelyn tercenung. Kalau bukan Bara, apakah Darren? Tapi, jika Darren juga bukan orang yang mengirimi bunga tersebut. Lalu, siapa?
Shelyn menatap bunga mawar misterius yang didapatnya tadi pagi dengan nanar. Bunga tersebut sudah dimasukkan Shelyn ke dalam vas dengan rapi dan diletakkan di pinggir jendela toko agar tersiram sinar matahari.
Hatinya terus bertanya-tanya siapa gerangan pengirim bunga misterius itu?
Suara Madam Tracie membuyarkan lamunan Shelyn. Wanita berambut tembaga itu meminta Shelyn untuk bersiap-siap mengantarkan bunga pesanan pelanggan. Shelyn pun bergegas membereskan pekerjaannya dan berhenti memikirkan apapun yang berkaitan dengan bunga misterius itu.
Siapapun Sang Pengirim tersebut, Shelyn berterima kasih karena merasa gembira menerima bunga-bunga itu.