7. Pain
Jakarta, Indonesia.
9.00 wib.
Haikal menengadah ketika pintu selnya dibuka oleh seorang sipir penjara. Seketika Ia mendengkus kesal waktu pria itu mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya.
"Katakan saja saya sedang tidak ingin diganggu," sahut Haikal dengan suara jengah. Ia sudah bisa menduga siapa yang ingin bertemu dengannya saat ini.
"Pak Zaki mengatakan ada sesuatu yang ingin disampaikan pada Anda," kata sipir pria itu.
Haikal tidak menjawab.
"Katanya menyangkut keselamatan putri Anda, Pak," lanjut pria itu lagi.
Haikal sontak menoleh dengan terbelalak. "Apa maksud kamu?" Suara beratnya terdengar membentak.
Sipir itu mengendikkan bahu. "Dia hanya menyuruh saya mengatakan itu jika Bapak tetap tidak mau menemuinya."
Haikal menggeram seraya mengepalkan tangannya. Parasnya berubah merah padam. Mendengar putrinya disebut-sebut, menurunkan rasa egonya. Sambil menghela napas, akhirnya Haikal mengangguk. "Baiklah. Saya akan menemuinya."
Sipir pria itu segera membuka pintu sel tersebut.
Haikal menghela napas dan melangkah gontai keluar dari ruangan berukuran 3x4 itu. Ruangan yang telah ditempatinya selama hampir empat tahun belakangan. Dindingnya yang dicat putih telah kusam dan pudar. Terdapat satu kasur busa ukuran single, kipas angin dan lemari kecil yang dipakai Haikal untuk menyimpan barang-barang penting miliknya di dalam sini.
Awalnya, Haikal diberi keistimewaan oleh kepala penjara dengan ruangan sel yang lebih luas dan nyaman seperti sel yang dipakai para pejabat umumnya. Namun, Haikal menolak lantaran Mulya—tangan kanannya yang sangat loyal dan setia—tidak mendapatkan keistimewaan yang sama. Haikal akhirnya hanya meminta ruangan sel biasa, tetapi tidak disatukan dengan tahanan lain.
Sekitar lima menit menyusuri lorong, mereka sampai di depan ruangan tertutup paling ujung gedung. Haikal sempat mengedarkan pandangan menatap para napi lain yang tengah senam pagi. Selama ini Haikal sedikit menutup diri dari lingkungan. Kegiatan berolahraga yang telah dijadwalkan para sipir pun jarang diikutinya. Ia sadar mungkin saja banyak orang-orang di sini tidak menyukainya.
Haikal lebih memilih diam di dalam selnya, meratapi nasib buruk yang terjadi. Setiap hari ia memikirkan Shelyn yang berada jauh di Negara Prancis, juga memikirkan Mulya yang sebentar lagi akan menjalani hukuman mati akibat perbuatan keji yang telah mereka lakukan. Setiap memikirkan hal itu, kesehatan Haikal menjadi terganggu. Ia beberapa kali masuk rumah sakit karena tekanan darahnya memburuk. Namun, Haikal selalu berpesan pada semua orang yang mengetahui keadaannya agar tidak memberitahu apapun pada Shelyn di Prancis.
"Selamat siang, Pak Haikal!" sapa orang dalam ruangan itu begitu Haikal masuk ke dalam. Ia tersenyum lebar sambil bangkit dari duduknya.
Haikal menarik napas perlahan, dan duduk di hadapan pria itu. Wajahnya berekspresi datar. "Apa maksudmu dengan keselamatan putriku?" tanyanya tanpa basa-basi.
Pria itu tertawa kecil dan duduk kembali di kursinya. "Tolong jangan terlalu serius, Pak Haikal. Kenapa kita nggak saling bertanya kabar lebih dulu?"
Haikal mendengkus. "Saya tidak punya banyak waktu untuk berbincang denganmu di sini. Katakan saja apa maumu sebenarnya."
Pria itu duduk menyandar di kursinya. Sebelah kakinya disilangkan. Ia mengeluarkan sebatang rokok, dan menyulutnya dengan santai sementara Haikal masih menunggunya bicara. Pria ini bernama Zakaria Rahardi atau Zaki, pengusaha kaya raya di Indonesia yang bergerak di bidang jasa ekspedisi. Saat Haikal masih menjabat menjadi Perdana Menteri dan melakukan hal gelap, terutama penyelundupan senjata illegal—Zakaria Rahardi-lah yang selalu membantunya memuluskan hal itu.
Kala Haikal ditangkap, Zaki sempat dicurigai pihak penyidik ikut terlibat. Namun, karena bukti-bukti yang mengarah pada Zaki tak terlalu kuat dan juga pria itu berhasil kabur ke luar negeri sebelum disidak, akhirnya ia dibebaskan dari tuduhan.
Akan tetapi belakangan, Zaki terlibat dalam masalah besar dan sedang diincar kepolisian. Jika kejahatannya terbongkar, maka tidak lama lagi ia pun akan mendekam dalam penjara. Disinyalir, Haikal diyakini akan menjadi salah satu saksi kunci yang bisa memberatkan posisi Zaki dalam hukum bila pria itu diadili.
Itulah mengapa Zaki rutin mengunjungi Haikal untuk membujuk mantan Perdana Menteri itu agar mau bekerja sama.
"Bapak 'kan tahu apa yang saya inginkan dari Bapak selama ini." Zaki mengukir senyum ramah di bibirnya seraya menatap lurus Haikal.
"Saya sudah bilang padamu bahwa saya tidak bisa menuruti apa yang kamu minta." Haikal menjawab lantang.
Keramahan yang membayang di wajah Zaki seketika lenyap. "Oke. Jika bapak lebih memilih hal yang merugikan diri Bapak sendiri."
"Apa maksudmu?" Haikal mendelik.
Zaki mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya ke depan wajah Haikal secara perlahan. "Saya tahu di mana persisnya putri Bapak yang bernama Shelyn berada."
Wajah Haikal berubah kelam. "Jangan coba-coba mengancamku!"
Zaki terkekeh dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kulitnya. Sebuah amplop cokelat berukuran sedang. Dilemparkannya amplop tersebut ke atas meja yang memisahkan keduanya. Haikal menatap amplop tersebut dengan waspada.
"Bukalah, Pak. Mungkin Bapak akan berubah pikiran ketika melihatnya."
Tangan Haikal cepat-cepat merobek lipatan amplop tersebut dan mengambil benda yang ada di dalamnya. Ternyata beberapa lembaran foto. Haikal terkejut melihat gambar Shelyn ada dalam foto-foto itu. Terlihat Shelyn sedang berada di tempatnya bekerja, di kampus, berbelanja di sebuah minimarket dan juga sedang berada di depan apartemennya.
"Dari mana kamu mendapatkan foto-foto ini?" Haikal menatapnya tajam.
Zaki mengendikkan bahu. "Saya bisa melakukan apapun, Pak Haikal. Yah, anggap saja sama seperti Anda di masa lalu. Sayangnya, sekarang Anda sudah tidak berada di posisi seperti itu lagi."
Haikal memejamkan mata. Hatinya berkecamuk. Ia tahu pria di hadapannya ini tidak akan main-main dengan ucapannya.
"Apa yang harus saya lakukan?" gumam Haikal setelah terdiam cukup lama.
Senyuman cerah terbit di wajah Zaki yang ditumbuhi kumis tipis. "Bantu saya untuk selamat dari jeratan hukum. Anda tahu apa yang harus Anda lakukan untuk menyelamatkan saya."
Haikal menggigit rahangnya. Matanya kembali bertumbuk pada foto-foto Shelyn di tangannya sementara jantungnya pun berdebar-debar tidak karuan. "Kenapa harus saya? Saya bukan orang yang memiliki jabatan penting lagi di negeri ini, Pak Zaki."
"Ya, saya tahu," kata Zaki, mengangguk. "Tapi, Bapak adalah orang yang tahu banyak tentang rahasia saya, dan kita pernah terlibat kerja sama. Kesaksian Bapak sangat penting jika saya diadili nanti. Saya harap Bapak senantiasa berpihak pada saya. Bukan hanya posisi saya saja yang sedang di ujung tanduk, tapi Anda juga, Pak. Saya tahu siapa sebenarnya pembunuh Setyo, Mantan ketua KPK beberapa tahun lalu—"
"Tutup mulutmu!" teriak Haikal menginterupsi ucapan Zaki.
Zaki menyeringai. "Jangan biarkan pengorbanan kaki tangan Bapak yang setia itu menjadi sia-sia."
Haikal diam saja. Ia sebetulnya tidak ingin terlibat dengan masalah yang sedang dihadapi Zaki saat ini. Ia tahu, Zaki hanya ingin menyuruhnya menjadi saksi agar bisa meringankan posisinya sebagai tertuduh kasus gelap yang dilakukannya saat ini. Desas-desus tentang penyelundupan narkoba sedang ramai diperbincangkan dan melibatkan beberapa petinggi Negara. Zaki termasuk dalam lingkaran itu. Namun, perlu pembuktian lebih kuat agar pihak kepolisian bisa menjeratnya ke dalam penjara.
"Para anggota BNN mulai bergerak, Pak. Saya dengar mereka bekerja sama dengan anggota intelijen swasta untuk mencari seseorang yang merupakan kunci kasus besar ini. Kalau sampai ia tertangkap, maka tamat riwayat kami semua."
Haikal menyunggingkan senyum sinis dan menyahut dalam nada sarkasme. "Seharusnya saat chip memory terkuak, mereka sudah bisa menjeratmu, Zaki. Saya tidak menyangka ternyata kamu lebih licik dari yang saya kira."
Zaki balas tersenyum. "Saya belum mau merasakan dinginnya ubin penjara. Dan saya juga nggak mau terlihat menyedihkan seperti anda, Pak." Lalu, pria itu tertawa. "Cerdik dan licik itu bukan sesuatu yang berbeda."
Haikal menatap jam di dinding, lalu bangkit berdiri. Ia tidak ingin meladeni Zaki lebih lama.
"Jadi? Anda menerima tawaran saya, Pak?" Zaki menghentikan tawanya. Kali ini berekspresi serius. "Anda ingin putri Anda baik-baik saja, 'kan?"
Haikal menggeram. "Jangan pernah ganggu putriku!"
o0o
Shelyn tertegun menatap pemuda yang memanggilnya dengan jantung berdebar keras. Pemuda itu masih menyunggingkan senyum kelegaan. Tatapan matanya dipenuhi pancaran kerinduan yang menyala.
"Shel ...," panggil pemuda itu lagi dan Shelyn membuang muka.
Pemuda itu adalah Bara. Shelyn tidak menduga Bara akhirnya bisa menemuinya di sini. Seberapapun ia menolak untuk bertemu dengan pemuda itu, tetap saja Bara akan berkeras mencarinya.
"Aku udah bilang sama kamu kalo aku baik-baik aja. Kenapa kamu ke sini?" ketus Shelyn sambil berjalan menjauh.
Bara cepat-cepat berlari menyusulnya, mencoba untuk menarik lengan Shelyn, tetapi Darren lebih dulu menahannya.
"Please, stay away. She doesn't want to meet you," ujar Darren pada Bara. Ia tidak tahu apa hubungan Shelyn dengan pemuda itu. Namun melihat keengganan Shelyn untuk berbicara dengan Bara, membuat Darren otomatis membelanya.
"It's none of your business, Dude," balas Bara dingin.
"She is my friend." Darren menyahut tajam.
"And me too." Bara mendelik padanya.
"Cukup, Bara!" teriak Shelyn kesal. "Tolong tinggalin aku sendiri. Jangan pernah cari aku lagi!"
"Shel! Sampai kapan kamu akan menghindari aku kayak begini?"
"Aku nggak mau ketemu siapapun!"
Bara mengepalkan tangannya. Bagaimanapun ia mencoba untuk mengerti sikap Shelyn selama ini atas dirinya. Pasti ada alasan besar yang membuat gadis itu menutup diri dari semua orang-orang di masa lalunya.
"Apa kamu nggak merindukan papa kamu?" tanya Bara dengan lembut.
Shelyn menunduk. Lidahnya mendadak kelu untuk menjawab.
"Apa kamu nggak tahu kalau papa kamu sering jatuh sakit? Kesehatannya terus menurun, Shel," lanjut Bara lagi.
Shelyn mendongak. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Dia baik-baik aja, Bar. Kamu jangan coba-coba tipu aku lagi."
Bara menghela napas. "Aku tahu kamu masih marah sama aku, Shel. Tapi, aku nggak berbohong sama kamu. Papa kamu sering sakit, Shel ...."
Shelyn diam saja dan kembali menunduk. Namun, Bara dapat melihat bahu Shelyn sedikit bergetar. Darren pun merasakan hal yang sama. Cowok itu mengulurkan tangan untuk mencoba menenangkan Shelyn.
"Rara sama Poppy. Apa kamu juga nggak kangen sama mereka?" Bara berkata lagi.
Shelyn merasa dadanya kian sesak. Mengingat papa dan kedua sahabatnya di masa lalu. Ada getaran rasa menyakitkan di sana. Dan sebagian besar yang Shelyn rasakan adalah perasaan rindu. Tanpa bisa lagi dibendung, air mata membasahi pelupuk matanya. Gadis itu akhirnya menangis.
"Kasih aku 10 menit untuk bicara, Shel. Dan aku janji nggak akan mengusik hidup kamu lagi ...." Bara menatapnya dengan memohon.
Shelyn mengusap air matanya. Lalu, berkata, "Oke ... 10 menit."
-
"Gimana kabar kamu, Shel?" tanya Bara sambil menatap lekat Shelyn yang duduk di sampingnya. Mereka memutuskan mengobrol di bangku panjang dekat taman kampus. Darren sudah pergi setelah Shelyn mengatakan akan berbicara pada Bara.
"Aku baik-baik aja, Bar," jawab Shelyn. Nada bicaranya masih terdengar dingin dan ketus.
"Aku tahu kamu masih marah sama aku, Shel. Aku minta maaf soal papa kamu dan—"
"Udahlah, Bar. Kamu nggak perlu minta maaf karena semua itu bukan salah kamu. Lagian kejadiannya juga udah 4 tahun lalu," sela Shelyn. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tampak kaku.
"Kapan kamu akan kembali ke Indonesia?" tanya Bara hati-hati.
Shelyn menengadah menatap langit di atasnya sembari menarik napas. Angin sepoi-sepoi bertiup menerbangkan anak-anak rambutnya. Gadis itu mendesah pelan. Indonesia? Ia belum memikirkan apapun untuk kembali. Rasanya terlalu samar dan mengingat peristiwa kelam yang terjadi di sana, membuatnya sulit untuk pulang begitu saja.
"Apa aku harus kembali?" katanya dengan nada sinis.
"Kamu nggak mungkin di sini terus, 'kan? Sampai kapan kamu akan melarikan diri dari semua yang terjadi, Shel?" sergah Bara.
Shelyn mendengkus jengkel. "Kamu tahu apa sih, Bar?"
"Aku tahu kamu terlalu takut menerima semua yang terjadi. Nggak ada yang perlu kamu takutin, Shel. Kamu harus mengangkat kepala kamu."
Shelyn menggigit bibirnya kuat-kuat. Matanya kembali berkaca-kaca. "Kamu mudah bilang seperti itu. Kamu nggak tahu rasanya jadi aku!"
"Aku mencoba untuk mengerti—"
"Mengerti?" bentak Shelyn. "Aku hampir membunuh orang! Dan kamu tahu bagaimana rasanya?!"
Bara meneguk ludahnya melihat Shelyn mulai naik pitam. Tapi, ia sedikit terkejut dengan ucapan gadis itu tentang membunuh. "Apa maksud kamu?"
Shelyn meremas kuat bahunya, lalu terisak pelan. "Davin ...," ucapnya dengan suara bergetar. "Aku ... aku menembak Davin ...."
Bara terperangah. Berharap ia tidak salah dengar. Shelyn terlihat sangat putus asa.
"Kamu ... nembak Davin?"
Shelyn mengangguk pelan, memandang Bara dengan nanar. Setelah empat tahun berlalu, Bara terlihat lebih dewasa dengan janggut tipisnya.
"Aku membunuh dia, Bar." Shelyn terisak lagi.
Bara terdiam. Ia baru mendengar berita ini dan sungguh terkejut. Setelah mendengar Haikal ditangkap, Bara tidak mendapat kabar apapun mengenai Davin. Tidak ada yang bisa ia gali untuk mendapatkan informasi, kecuali mengenai kepergian Shelyn ke Prancis. Melda (kakak tirinya) pun tidak tahu-menahu soal Davin. Wanita itu hanya berfokus pada kasus Haikal. Lagipula, Davin adalah seorang intelijen. Jadi, apapun mengenai pemuda itu pasti ditutup rapat-rapat oleh pihak berwenang.
"Aku-aku nggak tahu soal itu, Shel. Tapi, kamu bener-bener nembak Davin?" tanya Bara yang masih merasa kaget.
"Apa kamu nggak pernah denger kabar apapun tentang dia? Aku takut kalau ... kalau dia udah meninggal gara-gara aku, Bar," ujar Shelyn. Suaranya serak. "Aku panik saat lihat papaku ditangkap dan nggak sengaja menembak Davin. Dan dia dengan bodohnya malah selametin aku dari peluru. Aku-bener-bener buruk, Bar. Aku nggak bisa maafin diri aku sendiri."
Shelyn menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Bara merangkul bahu Shelyn dengan perasaan sedih. Gadis itu menangis dalam pelukannya.
"Maafin aku, Shel ... aku nggak tahu sama sekali soal itu," bisik Bara di telinganya.
"Aku buruk, Bar. Aku nggak tahu lagi harus apa. Aku benci sama diriku sendiri. Aku benci semua yang terjadi. Aku benci hidup aku ...," kata Shelyn di sela-sela isak tangisnya sementara Bara terus mengusap pundaknya dengan lembut.
Tak jauh dari tempat Bara dan Shelyn, berdiri Davin yang sejak tadi hanya diam memperhatikan mereka dengan sendu. Jantungnya bertalu-talu menyaksikan Shelyn menangis tersedu dalam rangkulan Bara. Namun, bukan itu yang membuatnya merasa pedih. Ada hal lain mengusik perasaannya, bahwa Shelyn memang tidak baik-baik saja.
Perasaan bersalah menyakitkan itu semakin menderanya. Ia tidak sanggup membayangkan betapa menderitanya Shelyn saat ini.
Ah, andai semesta sedikit bermurah hati pada takdir mereka berdua...
Barangkali tak akan seperti ini akhirnya...
Barangkali ada secuil rasa bahagia untuk mereka...
Davin berbalik, berjalan menjauh dari tempat itu. Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Menyandarkan tubuh pada sebuah pohon cedar di depan bangunan kampus ini. Beberapa orang yang lewat memperhatikannya sesaat.
Dua kali ia melihat gadis itu, tetapi tetap saja ia tak sanggup menyapa. Ia sadar mungkin sekarang ia sedang menjadi pengecut yang bersembunyi di balik rasa sakit.