6. Bad Feeling
"Nah, inilah wanita yang mengacau di Paradis Le Soir dua malam lalu." Eric meletakkan beberapa foto ke atas meja. Ia bersama Pak Mathias, Davin, Dimas, Dara dan Rian sedang duduk di cafeteria yang terletak di lantai bawah gedung apartemen ini.
Semua orang serentak mengambil foto-foto tersebut dan mengamatinya dengan seksama. Foto ini didapat dari hasil tangkapan kamera CCTV. Ada seorang wanita terlihat sedang memegang pistol, persis wanita yang dilihat Davin saat itu. Namun, kelihatannya si wanita tidak sendiri. Ada beberapa pria bersama wanita itu di dalam foto.
Setelah kejadian rusuh di Paradis Le Soir malam itu, mereka semua langsung tancap gas meninggalkan tempat itu sebelum polisi menemukan mereka. Eric langsung memeriksa CCTV yang berhasil mereka retas untuk mencari tahu orang yang menyebabkan kerusuhan tersebut dan sedikit banyak membuat operasi mereka mengalami kegagalan.
"Jadi orang-orang ini?" Dimas menanggapi sambil memperhatikan foto tersebut.
"Apa mereka juga punya kepentingan dengan Danielo Monarez?" Dara ikut bertanya.
Eric menatap mereka berdua sambil mengusap-usap dagunya. "Mungkin aja. Nggak mengherankan kalau Danielo juga dicari banyak orang."
"Keliatannya mereka semacam komplotan," komentar Davin. "Komplotan gangster. Coba liat tatonya." Tangannya menunjuk sebuah bayangan hitam kecil tercetak di kulit orang-orang dalam foto tersebut.
"Gangster? Tapi, mereka nggak keliatan kayak orang Eropa," timpal Dara.
"Mungkin orang Asia?" Rian menebak.
"Sebaiknya fokuskan tujuan pada target kita yang sebenarnya," sela Pak Mathias sambil memandang semua orang. "Kita bisa mencari tahu komplotan pengacau itu nanti."
"Terus apa rencana selanjutnya?" Dimas balas menatapnya. "Setelah komplotan orang-orang nggak dikenal itu mengacaukan rencana kita kemarin, kita harus melakukan sesuatu."
"Yah, seharusnya kita sudah berhasil menangkap Danielo." Dara mengangguk setuju.
"Setiap menjalankan rencana, kita memang nggak akan selalu berhasil. Selalu ada kegagalan yang terjadi. Itu hal biasa. Nah, mungkin inilah waktunya kita harus menjalankan rencana B," kata Eric sambil tersenyum lebar.
"Rencana B?" ulang Davin dengan alis berkerut.
Eric menyesap kopinya dan menatap semua orang dengan antusias. "Saatnya tunjukkan kehebatan kalian bermain kartu."
o0o
Dara dan Rian membawa sepiring besar mie goreng yang baru saja mereka masak ke atas meja makan dengan penuh semangat. Setelah pertemuan dengan Eric dan Pak Mathias di bawah setengah jam lalu, mereka memutuskan untuk kembali ke kamar. Beristirahat. Pak Mathias memberikan mereka waktu libur beberapa hari sampai Eric mengabari kapan waktu yang pas untuk menjalankan tugas berikutnya.
Dara mengatakan ia tidak berselera makan makanan di kantin, jadi ia berinisiatif memasak mie instan yang dibawanya dari Indonesia.
"Wah, mie goreng instan emang tiada duanya," ujar Dimas sambil menyendokkan mie goreng tersebut ke atas piringnya dan memakannya dengan lahap.
"Lo tuh tau makan aja. Inget, Davin juga pasti mau." Dara mencebik pada Dimas. Dengan gerakan luwes, ia mengambil sejumput mie ke dalam piring kosong yang telah disiapkan Rian tadi di atas meja, lantas diberikan pada Davin yang sedang duduk di sebelah Dimas.
Davin tampak termenung memandang keluar jendela. Tatapannya menerawang. Sejak kejadian di Paradis Le Soir, banyak hal yang berkecamuk di pikirannya. Ia merasa murung.
"Lo lagi mikirin apaan sih, Vin?" tegur Rian, menatap Davin penasaran.
Davin menoleh dan menggeleng pelan. "Nggak."
"Hmm ... pasti lo lagi mikirin Shelyn, ya?" Dimas menyenggol bahunya sambil mengunyah. "Ngomong-ngomong, gue liat dia kemarin di tempat itu."
Davin refleks menatapnya dengan terbelalak. "Lo serius?"
Dimas mengendikkan bahu. "Nggak tahu Shelyn apa bukan. Tapi, gue ngeliat seseorang yang mirip banget sama dia."
Dara mengaduk-aduk mie goreng di piringnya dengan bimbang. Ia ragu apakah harus mengatakan pada Davin bahwa ia juga melihat Shelyn di sana. Dara bahkan bertatapan muka secara langsung dengan gadis itu. Tetapi, melihat dari raut wajah Davin yang tampak muram, akhirnya Dara memutuskan untuk jujur saja.
"Vin," panggilnya yang membuat Davin menoleh. Terbersit rasa tidak rela di hati Dara. Ia tahu masih ada rasa yang tersisa untuk Davin di dalam hatinya, walau mungkin sebagian besarnya hanya berupa rasa kagum. Tapi, mengingat bagaimana perasaan Davin untuk Shelyn selama ini, rasanya terlalu egois jika Dara tidak memberitahunya.
Dara menggaruk pipinya dengan canggung sementara Davin masih menunggunya untuk bicara. "Gue juga liat Shelyn di sana, Vin," katanya kemudian.
Davin terdiam, tapi akhirnya menjawab lirih, "Gue juga ketemu dia di sana, kok."
"Serius?" sembur Dara dan Rian berbarengan.
"Terus reaksi Shelyn gimana?" sambung Dimas.
Davin mengangkat bahu. "Dia kayaknya nggak ngenalin gue karena suasana dalam ruangan saat itu 'kan gelap, dan gue juga pake topi."
"Jadi ...." Dara mengangkat tangannya ke atas, menghentikan gerakan Dimas yang baru saja hendak kembali bicara, "Lo Cuma diem aja gitu? Nggak nyapa sama sekali?"
Davin mencemil-cemil mie gorengnya dengan tak berselera. "Ada cowok bersama dia di sana ...."
"Cowok?" Kedua alis Dara berkerut. Otaknya mencoba mengingat sesuatu. "Oh iya, gue inget dia emang sama cowok. Tapi, mungkin aja itu temennya."
Davin diam saja tak menanggapi. Terlalu naif baginya bila ia memikirkan hal itu. Tentu saja. Mereka sudah empat tahun tidak berjumpa. Tak pernah saling berkirim kabar. Jika Shelyn telah memiliki orang lain yang menggantikannya, itu bukanlah hal yang mustahil.
"Yeah, Shelyn 'kan cantik. Nggak mungkin nggak ada yang mau sama dia, ya nggak?" Dimas nyengir.
Dara membalas ucapan Dimas dengan kerlingan tajam. Perkataan Dimas barusan bisa saja membuat suasana hati Davin semakin buruk.
"Jadi, apa rencana lo, Vin? Apa lo bakal menyerah?" tanya Rian, memandang Davin penasaran. "Lo udah jauh-jauh datang kemari dan ketemu dia, tapi masa lo nyerah gitu aja?"
"Rian bener, Vin. Sebelum janur kuning melengkung, masih ada harapan untuk lo kok." Dimas memberi semangat dan dibalas anggukan oleh Dara.
Davin mendorong piring makannya dan menyandar ke kursi. Ketiga temannya menatapnya tak berkedip. "Kalian semua kenapa sih?" tanya Davin keheranan.
"Lo nggak akan bunuh diri, 'kan?" tanya Dimas dengan mimik serius.
Davin berdecak dan geleng-geleng kepala. Kemudian, telunjuknya diarahkan pada piring Dimas yang masih berisi mie goreng. "Lanjutin makan lo, nanti mie-nya keburu ngembang, nggak enak lagi dimakan."
"Terus kenapa lo nggak makan?" tanya Dara.
"Gue masih kenyang."
"Eh, Vin. Serius lo bakal menyerah sama Shelyn?" Rian masih menatapnya lekat. Sedangkan, Dimas dan Dara kembali menyantap makanan mereka.
Davin menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Pertanyaan Rian sedikit banyak membuatnya ragu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Walau mungkin pemuda yang bersama Shelyn semalam hanya sebatas teman, tapi tak dipungkiri ia merasa bersalah. Ekspresi Shelyn yang ketakutan dan bagaimana ia terlihat panik mendengar suara tembakan, membuat Davin terus dirundung kegelisahan. Shelyn terlihat tidak baik-baik saja. Dan harus diakuinya, sebagian besar ia turut andil dalam tragedi menyedihkan kehidupan Shelyn.
Davin mendadak bangkit dari kursinya. Ketiga temannya spontan mendongak memandangnya.
"Mau kemana lo, Vin?" tanya Rian ingin tahu.
"Cari angin dulu."
"Paling juga lo mau nyamperin Shelyn, 'kan?" Dimas menimpali.
Davin menatap arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul sebelas pagi. Dengan langkah mantap, ia segera pergi meninggalkan ruangan itu.
"Berani taruhan, Davin pasti pergi ke tempat Shelyn," kata Dimas sambil memandang kepergian Davin.
"Bukannya kata lo Shelyn udah pindah dari apartemennya waktu kalian ke sana malam itu?" Dara mengerutkan alis memandang Dimas.
Dimas mengulurkan tangannya dan mengambil beberapa jumput mie lagi ke piringnya sambil berkata, "Dia bisa nemuin Shelyn di tempat kerja atau universitasnya."
o0o
Shelyn memasukkan buku-bukunya ke dalam tas begitu Prof. Bailey mengakhiri kelasnya. Ia menunggu sampai orang-orang keluar ruangan, lalu menghampiri Professornya tersebut untuk menyerahkan tugas makalah yang telah diselesaikannya kemarin.
Setelah selesai dan berbincang sebentar pada dosennya itu tentang masalah magang sebelum sidang skripsinya dilaksanakan, Shelyn langsung berjalan keluar.
"Shel!" Terdengar suara seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang sewaktu gadis itu menyusuri koridor.
Shelyn menoleh dan mendapati seorang gadis Asia berambut sebahu berjalan cepat ke arahnya. Suasana di koridor cukup lengang siang ini, tidak seperti biasanya yang selalu ramai.
"Kamu manggil aku?" tanya Shelyn begitu gadis itu telah dekat.
Shelyn mengenalnya dari perkumpulan mahasiswa Indonesia di Paris, tapi mereka tidak terlalu dekat. Namanya Tita. Termasuk mahasiswi berprestasi di kampus ini dan mendapatkan beasiswa. Ia mengambil jurusan seni kalau Shelyn tidak salah ingat. Dan mereka secara otomatis berbeda fakultas. Fakultas Seni dan Kebudayaan terletak di sebelah timur dan cukup jauh dari fakultasnya berada. Hal ini membuat Shelyn bertanya-tanya, sesuatu penting apa yang membawa Tita bisa menghampirinya kemari.
"Ada yang pengen aku bicarain sama kamu," kata Tita padanya.
"Soal apa?" Shelyn mengerutkan alis dan mengubah posisi berdirinya agar berhadapan dengan gadis itu. Tiba-tiba, ia tersentak. Ia sudah bisa menduga kedatangan Tita saat ini. Pasti ia ingin mengatakan mengenai cowok misterius yang mencarinya selama ini.
"Cowok yang kemarin datang lagi, Shel," beritahu Tita yang sudah seperti Shelyn duga.
"Aku 'kan udah bilang cuekin aja, Ta. Aku nggak mau ketemu dia," kata Shelyn sambil mendesah malas.
"Tapi dia maksa aku kemarin minta alamat apartemen kamu yang baru dan juga nomor kontak kamu. Katanya kamu ganti nomor lagi." Tita menjelaskan.
Shelyn menghela napas jengkel. Bara betul-betul tidak bisa dihindari. Padahal Shelyn telah menolak menemuinya berulang kali.
"Jadi kamu kasih tau dia tempat tinggal aku yang baru?"
Tita mengangguk. Rasa jengkel meliputi wajahnya. "Aku capek ngeladenin cowok itu, Shel. Dia datang terus cari kamu. Memangnya kamu pikir aku nggak punya kerjaan lain selain ngeladenin dia."
Shelyn meringis dan langsung merasa tidak enak. "Sori, Ta ...."
Tita tidak menjawab. Wajahnya merengut. Ia hendak berbalik, tapi otaknya tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh ya, aku juga pengen ngasih tahu kalo beberapa malam yang sebelumnya juga ada yang nyariin kamu."
"Siapa?"
Tita menggeleng. "Nggak tahu. Cowok itu nanyain kamu dan aku suruh dia ke Universitas kita atau nyari kamu di tempat kamu kerja."
"Cowok?" ulang Shelyn. Jantungnya berdegup kencang. Hatinya menduga-duga. Tapi, ia tidak bisa menebak siapa orang yang dikatakan Tita.
"Udah ya, Shel. Aku masih ada kelas. Sampai nanti!" Tita berbalik.
"Eh, iya, Ta. Maaf udah ngerepotin kamu," sahut Shelyn cepat-cepat, memandangi punggung Tita yang telah bergerak menjauh. Ada firasat tidak enak terselip di hatinya.
Sambil menarik napas, Shelyn kembali berjalan menyusuri koridor menuju pintu keluar gedung. Ia tidak punya kelas lagi hari ini, jadi ia masih bisa bersantai selama dua jam ke depan sebelum jadwal kerjanya di La Delicieux dimulai.
Shelyn berpapasan dengan Darren saat berjalan menyusuri halaman gedung kampusnya. Darren tampil necis sekali hari ini. Kadang Shelyn tidak memungkiri bahwa pemuda itu memang berwajah tampan, khas cowok indo. Tapi, Shelyn merasa hatinya sedang mati. Sulit rasanya mengenyahkan pikiran dari bayangan Davin, walau tiap mengingat kenangan tentang cowok itu membuat dadanya sakit.
"Maaf tentang kejadian malam minggu kemarin ya, Shel. Seharusnya aku nggak maksa kamu ke sana," ujar Darren dengan nada menyesal.
"It's okay, Darren. Aku 'kan baik-baik aja. Nggak kenapa-napa sama sekali," kata Shelyn seraya tersenyum.
"Tetep aja aku merasa nggak enak sama kamu." Darren menghela napas. "It was scary last night."
"Yeah, it was. Someone passed away." Shelyn bergidik teringat kejadian mengerikan di Paradis Le Soir kemarin. Lalu, suara tembakan yang membuatnya panik dan ketakutan.
Kejadian itu sampai masuk berita nasional di Paris. Pelaku penembakan belum tertangkap. Menurut dugaan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang merupakan komplotan geng. Namun, penyelidikan masih terus berlanjut untuk mencari penyebab utama yang melatarbelakangi kerusuhan tersebut.
"Mau kuantar? Aku bawa mobil. Kamu mau kerja, 'kan?" tawar Darren.
Shelyn menggeleng. "Makasih, Darren. Tapi nggak usah, kok. Aku bawa sepeda. Kamu bisa pulang duluan."
Darren mengangguk. "Oke."
Mereka kembali berjalan menuju tempat memarkir sepeda yang terletak di sekitaran taman dekat gedung perpustakaan. Cuaca hari ini cukup cerah. Shelyn merapatkan sweater yang membalut tubuhnya sewaktu angin berembus menyapu kulitnya.
"Shel ...."
Shelyn menghentikan langkah karena merasakan ada seseorang memanggil namanya. Gadis itu memandang berkeliling untuk mencari tahu. Banyak orang-orang berjalan di sekitarnya. Kebanyakan mereka adalah pelajar di kampus ini. Shelyn masih memindai sekeliling dan melihat seorang pemuda berdiri beberapa meter dari tempatnya, tengah memandang lurus ke arah gadis itu.
Shelyn membelalakan kedua mata begitu mengenali sosok pemuda tersebut. Jantungnya seketika berhenti berdetak sementara pemuda itu tersenyum padanya.
***