5. Paradis Le Soir
"Joyeux anniversaire, Danisha!* (Selamat ulang tahun)!"
Segerombolan muda-mudi mengucapkan kalimat itu dengan riang pada seorang wanita mengenakan gaun pendek merah maroon, bermodel off shoulder. Wanita bernama Danisha itu baru saja meniup lilin ulang tahun ber-angka 26 di atas sebuah kue bolu berlapis krim gula dan cokelat.
Danisha tersenyum lebar kepada teman-temannya dan mengucapkan terima kasih. Shelyn yang ikut hadir, segera menyerahkan kado yang dibawanya kepada Danisha seraya mengucapkan selamat ulang tahun. Ia duduk di hadapan wanita itu. Darren betul-betul berhasil memaksanya pergi malam ini.
"Merci, Shelyn," ucap Danisha semringah, memeluk Shelyn dengan hangat. Kemudian, mengecup kedua pipinya. "You don't need to bring me a gift."
"It's okay. Just an ordinary gift and not expensive at all. But, hope you like it," kata Shelyn merendah. Ya, dia memang hanya memberi kado yang tidak mahal untuk Danisha, tapi gadis itu berpikir Danisha pasti menyukainya.
Sama seperti Darren, Danisha juga lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Prancis maupun Indonesia.
"May i?" Danisha memberi isyarat untuk membuka kadonya dan Shelyn mengangguk.
Penuh semangat, Danisha langsung membuka kado tersebut. Gadis bermata hazel itu serta-merta tersenyum melihat apa yang diberikan Shelyn untuknya. Isi kado tersebut adalah sabun dan lilin aromaterapi satu set.
"I heard you like yoga, so i bought it for you. And those things are good for your body and mind." Shelyn menjelaskan.
Danisha menggenggam tangan Shelyn sambil tersenyum cerah. "Yeah, i love it. Thank u so much!" kemudian, mengalihkan atensinya pada Darren yang duduk di sebelah Shelyn. "You won't give me anything?"
Darren memutar bola mata. "You're too old for that," katanya dengan logat British yang kental.
Shelyn menyukai Darren dan Danisha yang sering berdebat dalam bahasa Inggris dengan aksen British yang kedengaran seksi. Kadang mereka juga saling mengejek menggunakan bahasa Indonesia yang terdengar lucu di telinga Shelyn. Danisha hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Darren.
"Ih, pelit!" sungut Danisha yang membuat Shelyn tertawa kecil mendengarnya.
Darren hanya menjulurkan lidahnya. Kemudian, Danisha mengenalkan Shelyn pada seorang cowok bertubuh sangat tinggi, berambut pirang tembaga bernama Andrew, pacar Danisha. Wajahnya tampan khas bule. Matanya berwarna hijau cemerlang. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan pada Shelyn. Shelyn balas tersenyum padanya. Lalu, kepada teman-teman Danisha yang lain, dua orang wanita dan dua orang pria yang Shelyn yakini mereka juga merupakan pasangan kekasih. Semua orang itu melakukan cipika-cipiki pada Shelyn sebagai bentuk perkenalan.
Di Perancis, budaya cipika-cipiki memang sangat lumrah. Awalnya, Shelyn sempat risih juga, tapi sekarang ia sudah terbiasa.
Danisha lantas mengajak semuanya untuk menyantap makan malam mereka yang telah tersaji di atas meja. Selama makan, Danisha dan teman-temannya saling mengobrol sambil melempar candaan. Shelyn sendiri merasa sedikit canggung sebetulnya. Selama ini ia jarang hang out dengan orang-orang seperti ini. Shelyn lebih sering menyendiri dan menghabiskan waktunya dengan bekerja atau belajar. Walau kadang-kadang, ia sesekali keluar bersama teman-teman kerjanya dari La Délicieux. Tetap saja situasi ini terasa canggung bagi Shelyn.
"So, are you guys dating?" tanya Andrew tiba-tiba pada Shelyn dan Darren.
Shelyn menegakkan tubuhnya dan menggeleng, sementara Darren tersenyum sambil menjawab, "Do we look like that?"
Andrew mengangkat bahu. "Yeah, it seems."
Darren cuma nyengir sambil meneguk wine-nya. Lalu, menyenggol Shelyn yang duduk di sebelahnya. "Kayaknya kita harus pacaran deh, Shel."
Shelyn berdecak sembari merotasi matanya, berlagak jengah. Tapi, bibirnya tersenyum. Lalu, ia berpaling pada Andrew. "We're just friend, Andrew."
"Oh, really? That's too bad. I mean, you look cute together," kata Andrew.
"Yeah, they're just pretending to be shy." Danisha menimpali yang membuat Darren tertawa.
"Oh, come on. Shelyn isn't my type," sahut Darren sambil menyandar di kursinya.
Shelyn mencibir. "Then, what is your type?"
Darren menaikan sebelah alisnya sambil tersenyum jenaka. "Yang seksi dan bahenol. Kayak cewek itu tuh." Tangannya menunjuk seorang wanita berpakaian minim, bertubuh sintal—baru saja masuk bersama seorang wanita yang juga sama seksinya dengan wanita itu. Keduanya melenggang menuju kursi kosong tak jauh dari tempat mereka duduk.
"Yeah, tipe kamu banget," Shelyn tertawa. Sedangkan, Darren hanya terkekeh.
Mereka kembali melanjutkan makan mereka dan mengobrol hal lain. Danisha bertanya rencana Shelyn setelah lulus kuliah nanti. Shelyn termenung. Ia memang belum memutuskan apa yang akan dilakukannya setelah lulus nanti. Apakah tetap di sini atau kembali ke Indonesia? Lagipula ia harus melaksanakan magang sebelum skripsi nanti, jadi gadis itu belum memikirkannya.
"So, what we're gonna do after this?" tanya Darren begitu selesai menghabiskan makanannya. "I'm bored to death."
"We're gonna dance!" seru Danisha sambil menggoyangkan bahunya penuh semangat. Yang lain bersorak sementara Shelyn mengerang.
Gadis itu sudah bisa menduga maksud semua orang di sekelilingnya. Mereka ingin pergi ke bar di lantai bawah.
"I'm not join," katanya cepat-cepat. Ditatapnya semua orang dengan perasaan tidak enak. "Je suis désolé.* (Maafkan aku)."
"Come on, Shelyn! You should have fun for a while." Danisha memutar bola mata jengah.
"Yeah, it would be fun. You should join us," sahut teman Danisha yang berambut pirang.
Shelyn menggeleng, hendak memprotes. Tapi, Danisha langsung menajamkan pandangannya yang berarti Shelyn tidak boleh menolak. Akhirnya, dengan terpaksa gadis itu pun mengangguk lemah.
"But just for a while, okay?" katanya mengingatkan.
o0o
Davin terbelalak melihat pistol yang berada dalam genggaman wanita asing yang menyenggolnya itu. Ia bergegas mengikuti si wanita yang berjalan dengan luwes di antara kerumunan orang-orang. Pemuda itu tiba-tiba merasa curiga dan was-was.
"Ada seorang wanita mencurigakan yang membawa pistol," beritahu Davin melalui earpiece-nya. Penglihatannya semakin ia pertajam. Wanita itu berada beberapa meter darinya dan terus berjalan dengan kepala tegak. "Sekarang dia lagi menuju ruang VIP. Rian, coba lo periksa di situ. Dia pake jumpsuit hitam dan rambutnya diikat ke belakang."
"Oke!" sahut Rian kemudian yang sedang menyamar jadi seorang waiter. Sejak tadi sibuk membawa minuman pesanan pengunjung di ruang VIP. Ia langsung bersiaga mencari-cari sosok wanita yang dikatakan Davin.
"Vin, ada dua orang yang mencurigakan di arah jam sembilan dari arah tempat lo, Vin." Suara Dimas terdengar. Pemuda itu sedang berada di lantai pertama yang merupakan restoran dengan live music.
Ruangan itu menjadi tempat penghubung jalan masuk ke lantai bawah. Itulah mengapa Dimas berada di sana. Selain untuk memantau CCTV yang telah berhasil diretasnya, ia juga harus mengawasi jalan masuk tersebut. Barangkali bisa bertemu dengan target yang diincar mereka di sini.
"Oke, gue akan kesana," kata Davin sambil berjalan menuju orang yang dimaksud Dimas.
Sementara itu, Dara sedang menari di lantai dansa dengan energik. Matanya bergerak ke sana kemari, mengintai pergerakan mencurigakan di setiap sudut. Namun, belum juga menemukan apapun.
"Dar, gue pikir tarian lo terlalu kaku. Coba lo liat cewek di sebelah lo itu. Gila! Dia nari hot banget! Lo harus tiru cara dia biar nggak mencurigakan," ujar Dimas. Diam-diam ternyata ia mengamati Dara dari laptopnya yang berisi gambar-gambar CCTV dalam gedung ini.
"Berisik lo!" bentak Dara. "Mending lo cari target kita, bukannya malah ngeliatin gue nari, Bego!"
"Astaga! Lo tuh kasar banget, sih," gerutu Dimas sambil menyeringai.
"Lo nggak tahu apa, gue udah capek banget nari di sini, tapi nggak nemu apa-apa. Mana banyak banget bule-bule bajingan ngelilingin gue," omel Dara.
"Ya, itu resiko pekerjaan kita. Masa gue sama Davin yang nari di situ," balas Dimas.
"Tauk, ah!" seru Dara kesal.
"Dimas, Dara ... Kenapa sih kalian selalu saja bertengkar? Kita lagi menjalankan tugas. Ayolah, serius sedikit." Suara Pak Mathias terdengar di antara mereka. Beliau bersama Eric berada di dalam mobil di luar, menunggu mereka.
"Iya, Pak!" sahut Dara dan Dimas berbarengan.
Mereka kemudian tidak berdebat lagi dan kembali menjalankan tugas. Davin juga sudah sampai di tempat dua orang yang dikatakan Dimas tadi. Mereka ternyata cuma dua orang pria bule dan kelihatannya sudah setengah teler. Perawakannya sekilas memang mirip dengan Danielo Monarez.
"Mereka kayaknya bukan target yang kita cari," beritahu Davin pada yang lain.
"Terus saja awasi dengan hati-hati," kata Eric.
"Baik, Pak!" sahut Davin.
Sementara itu, Dimas kembali menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi latte yang dipesannya tadi. Ekor matanya tak sengaja melirik seorang gadis yang melintas di sebelah tempat duduknya.
Gadis itu berjalan paling akhir, di belakang teman-temannya. Namun, Dimas merasa tak asing kala menatap sosoknya. Seseorang yang Dimas pikir sangat familiar dalam ingatannya.
Dimas terus memutar otak, mencoba mengingat. Ia sampai tidak mendengar suara rekan-rekannya yang memanggilnya sejak tadi.
"Dimas! Lo lagi apa sih? Woii!!" Suara cempreng Dara di telinganya membuat ia terlonjak kaget.
"Iya-iya! Jangan teriak-teriak coba! Kuping gue budek!" omelnya sambil mendengus kesal. Matanya masih mengamati si gadis yang sekarang sedang menuju pintu ke lantai bawah. Detik berikutnya, gadis itu menoleh ke belakang sebentar, sehingga Dimas bisa melihat dengan jelas wajahnya dan spontan terperanjat.
Itu Shelyn!
Dimas buru-buru bangkit dari tempat duduknya guna mengejar Shelyn, tapi suara Dara dan Rian membuyarkan konsentrasinya. Mereka menyuruh Dimas untuk melihat CCTV di bagian ruangan lain gedung ini.
Sial! Dimas merutuk dalam hati.
Gadis yang dilihatnya mirip Shelyn tadi sudah lenyap. Mungkin sudah turun ke lantai bawah. Akhirnya, ia duduk kembali di kursi untuk meneruskan tugasnya yang sempat terganggu. Ia baru saja akan mengirim pesan ke ponsel Davin, mengabarkan sesuatu yang dilihatnya tadi, tapi segera mengurungkannya lantaran matanya menangkap sekelompok orang di layar salah satu CCTV-nya yang duduk di ruang VIP.
Lalu, suara Rian melalui earpiece terdengar. Ada keributan di salah satu ruang VIP tersebut. Beberapa orang dalam layar terlihat bertengkar. Dimas serta-merta mengabarkan hal tersebut kepada Davin, Dara dan Rian. Kemudian, cepat-cepat membereskan peralatannya untuk membantu teman-temannya di bawah. Tak lupa, Dimas juga memberitahukan hal ini pada Pak Mathias dan Eric yang menunggu di luar.
-
Suasana di lantai bawah semakin penuh sesak menjelang tengah malam. Orang-orang berkumpul di lantai dansa berdesak-desakan.
Shelyn yang baru turun bersama Danisha, Darren, Andrew dan lainnya, merasa pusing. Shelyn tidak tahu kenapa, tapi rasanya pergi ke tempat ini sama sekali tidak membangkitkan semangatnya. Padahal dulu Shelyn sering dugem bersama dua sahabatnya, Rara dan Poppy saat akhir pekan. Dan pernah terlibat perkelahian dengan Elisa di sana sampai digelandang polisi. Ingatan itu membuat hati Shelyn berdesir, dan ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya ke hal lain.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Darren ketika dilihatnya Shelyn merasa tak nyaman.
Shelyn cuma menggeleng. "Aku baik-baik aja, kok."
"Just tell me if you feel bad," gumam Darren dan Shelyn mengangguk.
Pemuda itu menawarkan untuk mengambil minuman. Shelyn menyetujui dan mengikuti Darren berjalan menuju bar sambil menatap jam tangannya. Sudah hampir jam dua belas malam. Ia tidak ingin berlama-lama di sini. Mungkin setelah sepuluh menit, ia akan memaksa Darren mengantarnya pulang. Karena mereka memang pergi bersama ke tempat ini.
Tanpa sengaja seseorang menabraknya dengan keras hingga Shelyn nyaris terjatuh dan Darren yang menyadari hal itu, cepat-cepat menahan bahu Shelyn agar tidak terjerembab ke belakang.
"Désolé," ucap si wanita yang menabrak Shelyn dengan keras tadi. Wanita itu adalah Dara. Dia mengenakan Wig pirang dan busana minim. Sesaat Dara hendak kembali meneruskan langkah. Namun, gerakannya terhenti saat wajah Shelyn tersorot cahaya lampu disko yang berkelap-kelip.
Dengan mata terbelalak dan mulut setengah terbuka, Dara tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat gadis di hadapannya. Itu benar-benar Shelyn. Dan Dara yakin bahwa ia tidak mungkin salah.
Sebaliknya, Shelyn sendiri tidak mengenali Dara dalam busana seperti itu. Gadis itu menoleh pada Darren sambil mengucapkan sesuatu yang kurang bisa didengar jelas oleh Dara karena teredam suara dentuman musik.
Dara menggigit bibirnya. Ia harus memberitahu Davin, tapi ini sungguh bukan momen yang tepat. Betapa Davin tidak pernah melupakan Shelyn selama ini. Dara tahu Davin sudah sejak lama ingin pergi ke Prancis guna menemui Shelyn, tetapi tak pernah memiliki kesempatan. Melihat Shelyn berada di hadapannya sekarang sungguh mengejutkan.
Selama beberapa detik, Dara hanya terbengong-bengong menatap Shelyn di depannya. Dan rasanya, ia tak sanggup untuk menyapa. Lidahnya mendadak kelu, bahkan kala Shelyn bertanya ada apa dalam bahasa Prancis kepadanya, Dara cuma bisa menggeleng dan membuang muka ke arah lain.
Tiba-tiba, terdengar bunyi gaduh dari arah seberang mereka. Dara dan Shelyn sontak menoleh. Suara Davin dan Rian terdengar dari earpiece yang terpasang di telinga Dara, menyuruh gadis itu bergegas.
Sebelum Dara sempat melangkah, terdengar bunyi pecahan botol-botol dan gelas yang menimbulkan kegaduhan. Semua orang berhenti menari, lalu berdiri berkerumun untuk melihat apa yang terjadi. Pekikan kaget dan ketakutan memenuhi udara. Tampaknya ada perkelahian yang terjadi saat ini.
Dan semakin menguatkan dugaan, terdengar suara letusan pistol keras yang memekakkan telinga. Dara dan Shelyn bisa melihat seseorang jatuh terkapar di lantai dalam keadaan bersimbah darah. Di antara keremangan cahaya, tampak seseorang berdiri di atas meja sambil mengangkat pistolnya ke udara, seolah menunjukkan bahwa dialah si penembak barusan.
Orang-orang menjerit panik dan berlarian ke sana kemari menuju pintu keluar. Saling berdesakan dan berdorong-dorong untuk menyelamatkan diri.
Dara menarik napas dalam-dalam dan akhirnya buru-buru pergi untuk melihat apa yang terjadi, sementara Shelyn hanya terpekur sambil menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Suara letusan pistol tadi masih berdengung di pendengarannya, membuatnya ketakutan setengah mati.
Semenjak peristiwa empat tahun lalu, yaitu peristiwa tertembaknya Davin—Shelyn kerap di bayang-bayangi perasaan cemas dan gelisah kala mendengar suara tembakan.
Ia bahkan mengalami mual atau menggigil bila menonton film yang memperlihatkan adegan baku tembak menggunakan pistol. Shelyn merasa tak sanggup melihatnya. Lantas sekarang, ia justru harus mendengar suara letusan pistol di depan matanya sendiri.
Bayangan Davin yang tertembak dan mengucurkan darah serta-merta muncul di pelupuk mata gadis itu. Shelyn merasa dadanya kian sesak. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Lututnya pun goyah.
Lalu, suara pistol itu kembali terdengar untuk yang kedua kali dan mengenai lampu-lampu LED yang menyala, membuatnya padam. Menjadikan kondisi ruangan separuh gelap. Orang-orang semakin panik. Suasana dalam klub malam ini berubah kacau-balau.
Darren yang kebingungan—berusaha mengajak Shelyn untuk lari, tapi Shelyn malah terpaku di tempatnya berdiri sambil menutup telinganya dengan pandangan kosong. Seolah suara Darren hanya berupa dengungan yang terbawa angin.
"Shel! Shelyn!"
Shelyn merasa seseorang menepuk pipi dan mengguncang tubuhnya. Gadis itu tersentak, kemudian mendapati Darren tengah mencengkram kedua bahunya.
"Kamu nggak papa, 'kan?" tanyanya cemas. "Ayo, Shel. Kita harus pergi dari sini!"
"Da-Davin ...," bisik Shelyn tanpa sadar. Pandangannya masih kosong sementara bayangan Davin yang terluka terus terbayang di pelupuk matanya.
Darren mengernyitkan dahi. "Davin?" ulangnya. "What do you mean?"
"Davin ...," bisik Shelyn lagi. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar.
"Shel?" panggil Darren dengan nada tak mengerti. "Kamu kenapa, sih?"
"Pistol," racau Shelyn masih dengan ekspresi kosong.
"Ya. Pistol! Ada yang tertembak. Kita harus keluar dari sini!" kata Darren mulai tak sabar. "Come on!"
Darren menarik tangan Shelyn dan berjalan cepat mengikuti arus manusia yang berdesakan ingin keluar. Ruangan ini hanya memiliki satu pintu menuju tangga ke lantai atas. Itu sebabnya untuk mencapai ke sana harus berdesakan terlebih dulu bersama yang lain.
Seorang pria berbadan tinggi besar menabrak Shelyn dengan kasar. Pria itu sepertinya dalam keadaan mabuk dan berusaha menerobos antrian.
Cengkraman tangan Darren terlepas. Shelyn jatuh terduduk di lantai. Beberapa kali nyaris terinjak. Gadis itu cepat-cepat bangkit dan sadar bahwa ia harus melarikan diri dari sini secepatnya. Namun, sosok Darren tiba-tiba saja lenyap dari pandangan.
Shelyn menelan ludah berkali-kali. Ekor matanya memindai ke sekeliling, mencari-cari siluet Darren, Danisha, Andrew atau siapapun yang dikenalnya. Tapi, tak satupun dari mereka yang tertangkap matanya, sementara orang-orang berlalu lalang di sekitarnya dengan kalut.
Rasa takut menguasai pikiran Shelyn. Ia tidak ingin mendengar suara letusan pistol lagi atau ia akan pingsan dalam sekejap. Sekujur tubuhnya pun sudah gemetaran sejak tadi.
Dengan tersaruk-saruk, gadis itu berusaha berjalan menuju pintu. Ia merasakan seseorang menyenggol bahunya dengan tak sabar dan membuatnya terdorong ke samping, nyaris terjatuh lagi bila tidak ada yang memegang punggungnya dengan cepat.
Shelyn tersentak dan mendapati seorang pemuda sedang memegangi pinggangnya. Ia mengenakan topi hitam yang menudungi sebagian wajahnya, sehingga sulit bagi Shelyn untuk melihat dengan jelas siapa pemuda yang menolongnya ini. Cahaya remang-remang dalam ruangan ini pun tak membantu penglihatannya sama sekali.
Raungan sirene di luar gedung sayup-sayup mulai terdengar. Sepertinya ada yang menelepon polisi untuk datang kemari.
"Shel, There you are! I was looking for you." Darren tiba-tiba muncul, menyeruak dari balik kerumunan orang yang masih berdesakkan. Ia langsung menarik Shelyn dan merangkul bahunya erat-erat. Ekspresinya terlihat sangat khawatir.
Shelyn mendesah lega mendapati Darren berhasil menemukannya dan langsung memeluk pemuda itu. Ia tidak menyadari bahwa pemuda yang sejak tadi memeganginya agar tak jatuh sebenarnya adalah Davin.
Davin sendiri terpekur. Jantungnya serasa mencelos melihat Shelyn memeluk seorang pemuda di hadapannya. Dan pemuda itu pun mengajak Shelyn untuk pergi dari sini. Shelyn mengangguk, lantas berjalan pelan dalam rangkulan Darren. Meninggalkan Davin yang masih tertegun di tempatnya berdiri.
???