4. Friend or Foe
"Lo Shelyn, 'kan?" untuk ke sekian kali Elisa kembali bertanya. Kakinya melangkah mendekati Shelyn yang masih diam tak bergerak maupun bersuara. Sebelah tangannya melambai ke depan wajah Shelyn dengan tak sabar. "Hallooo??"
Shelyn menarik napas dalam-dalam, lalu membuang pandang ke arah lain. "Maaf, kamu salah orang," katanya pelan, lalu membelokan sepedanya cepat-cepat. Seharusnya ia menjawab dalam bahasa Prancis saja daripada bahasa Indonesia karena itu malah memancing rasa penasaran Elisa semakin dalam.
Elisa serta-merta mengejar Shelyn sebelum keburu pergi dan menarik tangannya. "Shel, lo nggak inget gue? Ini gue Elisa," katanya. Matanya yang dihiasi bulu mata palsu mengerjap berkali-kali. "Ya ampun, Shelyn ... Lo nggak mungkin lupa sama gue, 'kan?"
Shelyn menghentikan langkah dan menatap Elisa dengan kesal. "Udah gue bilang lo salah orang."
Elisa mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng tak percaya. "Nggak mungkin gue salah. Lo pasti Shelyn. Gue yakin banget." Kemudian, ia melipat tangan di depan dada sambil mengamati Shelyn dengan intens. "Lo nggak berubah sama sekali, kecuali agak kurusan."
Shelyn mendesah jengkel dan menggeser sepedanya merapat ke trotoar agar tidak menghalangi jalan raya karena kendaraan yang berlalu lalang.
Elisa masih menatapnya tak berkedip, menunggu jawaban. Sedangkan, Shelyn hanya membisu sambil merutuk dalam hati.
"Shel, gue tahu hubungan kita di masa lalu emang nggak baik, tapi jujur aja gue bener-bener nggak nyangka bisa bertemu lo di sini. Apa lo baik-baik aja?"
"Apa yang mau lo ketahui? Apa lo mau menertawakan hidup gue yang kacau sekarang?"
Elisa tampak terkejut mendengar ucapan Shelyn yang bernada sinis. "Gue nggak seburuk itu lagi, Shel."
"Oh, ya?"
Elisa memutar matanya. "Terserah lah. Tapi, gue emang nggak bermaksud apa-apa. I'm just didn't expected to see you here. Ini bener-bener surprising banget buat gue bisa ketemu lo lagi sekarang dan di tempat yang asing."
"Ya, ya, ya. Gue juga nggak nyangka bisa ketemu lo di sini. Kita bener-bener berjodoh kayaknya."
Elisa tertawa. Akhirnya, mereka berdua memutuskan duduk di bangku panjang tempat Shelyn memakan kebab Turkinya beberapa menit lalu. Shelyn menatap jam tangannya. Masih ada waktu untuk mengobrol sebentar, walau sebenarnya ia merasa terpaksa dan tidak nyaman. Mengobrol dengan Elisa adalah sesuatu hal yang tak pernah dibayangkan Shelyn seumur hidupnya. Meski begitu, Shelyn bisa merasakan Elisa sedang menunjukan kesan bersahabat ketimbang permusuhan untuk saat ini.
Shelyn memperhatikan penampilan Elisa secara diam-diam. Jujur saja dalam hatinya ada rasa perih yang menjalar. Dulu, ia selalu bersaing dengan Elisa dalam soal berpenampilan. Bagaimana mereka berdua selalu berusaha terlihat chick and glamour dimana pun dan kapanpun. Sekarang, Shelyn tidak bisa melakukan itu lagi. Ia sadar bahwa level kehidupannya telah jauh di bawah Elisa. Setidaknya, Elisa tetap berpenampilan eye catching dan fashionable sampai saat ini. Tentu saja hal itu dikarenakan Elisa masih seorang selebriti.
"So, how are you doing? Does everything alright?" tanya Elisa dengan raut penasaran. Ada sorot simpatik di kedua matanya. Shelyn harap dia tidak sedang berakting sekarang.
Shelyn memandang lurus ke depan seraya menghela napas. "Seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja kok."
"Yah, syukurlah. Waktu gue denger kabar mengejutkan tentang bokap lo, gue shocked banget. Semua orang bertanya-tanya tentang keadaan lo yang menghilang gitu aja. Bahkan Rara sama Poppy juga bilang nggak tahu lo dimana."
Shelyn tersenyum kecut. "Sekarang lo menang. Lo bisa menertawakan gue kok."
"Sori, ya. Kayaknya lo bukan level saingan gue lagi." Elisa mengibaskan tangannya.
Kening Shelyn berkerut bingung. "Maksudnya?"
Elisa menyandar ke kursi panjang sambil mengusap-usap ujung rambutnya yang masih terikat rapi. "Jelaslah. Biar gini-gini gue orang yang fair. Istilahnya kan lo lagi fall into pieces alias lagi terpuruk. Masa gue datang-datang menertawakan lo dan ngajak perang. Gue nggak setega itulah, Shel."
Shelyn terperangah. "Lo lagi nggak berdrama atau pura-pura peduli 'kan sama gue?"
"Ini tulus dari hati. Kenapa lo nggak percaya?" tukas Elisa seraya berdecak.
"Ya iya lah. Kita dulu musuh abadi. Lo nggak mungkin bisa sebaik itu tiba-tiba ke gue," sergah Shelyn. "Pasti dalam hati lo juga lagi ngetawain gue sekarang."
"Bisa nggak lo nggak skeptis sama gue? Lo nggak bisa menilai orang dari sisi buruknya aja."
Shelyn mendengus sembari menyibakkan rambut panjangnya. "Jadi apa itu? Apa yang terjadi dalam hidup lo sampe lo bisa menjadi Elisa yang berhati malaikat untuk gue? Semua pasti ada alasannya 'kan?"
Shelyn sangat mengenal Elisa dengan baik. Bagaimana mereka kerap bersaing dan bertengkar dalam hal apapun, termasuk dalam hal cowok. Shelyn masih ingat betul hubungannya dengan Elisa kian memburuk gara-gara gadis itu berusaha merebut pacar Shelyn yang bajingan bernama Mikho. Jadi rasanya sangat aneh jika Elisa tiba-tiba berubah baik padanya walau mereka sudah lama tidak berjumpa.
Elisa hanya merotasi matanya dengan gaya dramatis. Melihat gestur Elisa yang mencurigakan membuat Shelyn penasaran. Gadis itu cepat-cepat mengambil ponsel dari dalam tas sandangnya, lantas segera membuka laman internet. Pasti terjadi sesuatu pada Elisa yang membuatnya bisa bersikap aneh.
"Apa lo bikin skandal?" tebak Shelyn sambil menatap layar ponselnya dan mengetik nama Elisa pada kolom pencarian.
Elisa langsung tersentak dan berusaha merebut ponsel dari tangan Shelyn. "Apa yang mau lo cari?"
"Skandal lo," balas Shelyn seraya menjauhkan tangan Elisa dari jangkauannya.
Elisa merengut karena tidak berhasil merebut ponsel Shelyn. "Sifat nyebelin lo emang nggak pernah ilang ya, Shel."
Shelyn menjulurkan lidah dan tertawa pendek. "Karena gue nggak semudah itu bisa percaya lo bakalan baik sama gue. Well, sekarang jujur aja ke gue apa itu skandal yang lo buat?"
Elisa melambaikan jari tangannya ke depan wajah Shelyn dengan semringah. Shelyn nampak kaget melihat sebuah cincin berlian kecil tersemat di jari manis Elisa.
"TARAAAA!" seru Elisa.
"Lo udah married?"
"Yep."
"Wah, sama siapa? Jangan bilang sama suami orang dan lo jadi pelakor? Lo 'kan paling ahli merebut-rebut."
Elisa menyeringai. "Lo kira gue udah gila apa jadi pelakor?" Kemudian, ia mendesah. "Ceritanya panjang. Gue susah jelasinnya. Lo liat aja nanti di internet beritanya, ya."
"Terus kenapa lo bisa ada di sini? Apa lo lagi liburan?"
"Ya, bisa dibilang begitu. Ini udah hari ketiga gue di Paris. Dari kemaren gue cuma di hotel nggak jalan-jalan sama sekali. Bete banget. Tadi gue cuma iseng-iseng pengen cuci mata sebentar. Eh, nggak nyangka ketemu lo di sini." Elisa menengadah memandang langit biru di atasnya.
"Terus suami lo mana? Kenapa nggak nemenin lo jalan-jalan?" tanya Shelyn setelah beberapa saat terdiam.
"Dia ...." Elisa menggigit bibir bagian dalamnya. Nada bicaranya terdengar agak sangsi saat melanjutkan, "lagi ada urusan. Sebenernya dia ke Paris untuk masalah pekerjaan, tapi gue yang maksa ikut."
Shelyn menatap Elisa penuh selidik. Namun, tak dipungkiri ia juga merasa Elisa menyimpan kesedihan yang mendalam. "Apa lo yakin laki-laki itu pilihan yang tepat? Sorry to say, but you look like unhappy."
"Yah, to be honest ... gue juga menjalani hidup yang berat, Shel. Sama kayak lo walau berbeda cerita. Intinya gue terpaksa menikah karena itulah yang menyelamatkan gue dari kehidupan menyebalkan ini."
Shelyn terdiam, menatap Elisa dan tersenyum tipis. "Jadi kita impas?"
Elisa cepat-cepat menggeleng tidak setuju. "Absolutely not! Jangan mimpi, ya. Gini-gini gue masih seorang artis dan lo cuma rakyat jelata."
"Yeah, terserah lo aja lah." Shelyn mendengus sebal. "Jadi lo masih nggak mau cerita apa itu skandal yang lo buat sampe lo bisa memilih untuk menikah?"
"Nanti aja lo bisa baca berita tentang gue di internet kalo gue udah nggak ada," sahut Elisa. Lalu, ia tersentak kala teringat sesuatu. "Oh ya, Shel. Lo masih punya kontak atau apa gitu tentang bodyguard lo yang dulu? Yang cakep setengah mampus itu?"
Jantung Shelyn berdebar tak karuan mendengar kata Bodyguard yang diucapkan Elisa. Sambil menahan napas, ia menjawab pelan, "Gue nggak ... ta-tahu."
"Yah, sayang banget. Padahal kalo lo tahu gue pengen jadiin dia bodyguard gue. Itung-itung nemenin gue lah pas hubby gue nggak ada." Elisa terkekeh. "Dia cakep banget ya, Shel. Lo dapetnya dimana sih? Gue sempet loh nyari-nyari informasi tentang dia waktu itu tapi nggak ketemu sama sekali."
Shelyn menekan dadanya yang semakin terasa sesak. Setiap kali teringat Davin, ia merasa tidak sanggup menahan rasa sakit yang menghantam. Bagaimana ia terus disiksa rasa bersalah, dan betapa ia ketakutan sepanjang waktu andai Davin ... andai pemuda itu sekarang sudah mati karenanya.
Shelyn tidak sanggup memikirkan itu. Ia selalu berdoa agar Davin selamat dan bisa bertemu dengannya suatu hari nanti walau mungkin mereka tidak ditakdirkan bersama.
"Shel, lo kenapa? Kok tiba-tiba pucet gitu?" Elisa tersadar dengan paras Shelyn yang tiba-tiba sudah seputih kertas.
Shelyn menggeleng lemah, kemudian menatap jam tangannya. Ternyata lima menit lagi waktu yang tersisa untuknya kembali bekerja. Gadis itu buru-buru bangkit dan berjalan menuju sepedanya yang diparkir di dekat trotoar.
Elisa mengikuti di belakang dan Shelyn mengatakan kalau ia harus pergi bekerja sekarang juga.
"Oke." Elisa mengangguk. "Sampai ketemu lagi, Shel."
Shelyn tersenyum. "Iya, Sa. Have a good day and better life for both of us!"
Elisa tertawa. Kemudian, berjalan mendekat sebelum Shelyn mengayuh sepedanya meninggalkan tempat itu.
"Kalau hidup terasa berat, mungkin nggak ada salahnya lo menikah, Shel. Bertemu laki-laki baik dan bertanggung jawab atas diri lo. Lo nggak perlu bersusah payah banting tulang kayak begini. You deserve to be happy."
Shelyn cuma tersenyum dan melambaikan tangan padanya.
Menikah? Pikir Shelyn. Menikah sama siapa? Ia geleng-geleng kepala.
o0o
"Here we are!" kata Eric seraya menghentikan laju mobil SUV-nya di depan sebuah tempat kelab malam.
"Paradis Le Soir." Dimas mengucapkan kalimat yang tertulis di atas pintu masuk bangunan berlantai tiga tersebut keras-keras. Kalimat itu berkelap-kelip dihiasi lampu neon merah muda yang menyala terang.
"Ya. Ini tempatnya. Di lantai pertama dan kedua itu hanya restoran atau Cafe biasa untuk pengunjung yang ingin menikmati Live music. Bagian night club-nya ada di lantai bawah alias ruang bawah tanahnya." Eric menjelaskan.
"Kalian sudah tahu apa yang harus kalian lakukan, 'kan?" Pak Mathias bertanya kepada empat anak buahnya; Davin, Dimas, Dara dan Rian.
Malam ini mereka berempat akan melakukan penyamaran kecil untuk memata-matai Danielo Monarez yang menurut kabar akan mengadakan transaksi narkoba di tempat itu. Eric dan Pak Mathias telah membuat rencana yang rapi agar kegiatan memata-matai keempat agen itu bisa berjalan lancar.
Davin, Dimas, Dara dan Rian segera turun dari dalam mobil sambil memasang earpiece tanpa kabel ke telinga masing-masing sebagai alat berkomunikasi.
Davin membetulkan jaket kulit dan topi hitamnya sebelum memasuki tempat hiburan itu. Dara mendahului yang lainnya masuk ke dalam. Gadis itu mengenakan wig panjang berwarna pirang serta sepatu boots dan mini dress ketat. Sejak tadi Dimas tanpa sadar tak bisa mengalihkan tatapannya dari Dara, seolah ada magnet di sana yang menarik netranya.
Suasana syahdu menyambut mereka begitu berada di dalam. Musik Jazz yang dimainkan para pemusik secara Live di atas panggung kecil mengalun lembut. Seorang penyanyi wanita bergaun panjang warna hitam sedang bernyanyi dengan khusyuk. Davin mengamati area sekitar sebentar, lalu menyusul rekannya yang telah lebih dulu turun ke lantai bawah.
Suasana ingar bingar menyambutnya begitu sampai di sana. Berbanding terbalik dengan suasana syahdu ala musik Jazz di lantai atas tadi. Davin segera menerobos lautan manusia yang berlalu lalang. Matanya mengawasi setiap sudut, mencari keberadaan Danielo Monarez dan anak buahnya yang akan melakukan transaksi.
Davin mengambil ponsel Android yang diberikan Eric padanya beberapa hari lalu guna melihat sekali lagi wajah-wajah orang yang sedang diburunya malam ini. Dalam cahaya remang-remang dan di antara sekumpulan manusia lain, ia harus bisa mengenali targetnya dengan baik.
Rian terlihat sudah beraksi mengenakan seragam waiter sambil berjalan membawa nampan minuman ke kursi-kursi pengunjung yang terlihat bergerombol di sudut. Sementara Dara menyeruak kerumunan orang di lantai dansa, berpura-pura menari sambil mengawasi sekitar dan Dimas sendiri berada di lantai sebelumnya untuk berjaga sambil mengecek CCTV.
Saat Davin sedang mengamati sekitar, ada seseorang yang menabrak bahunya dan membuatnya tersentak. Davin menoleh dan mendapati seorang wanita berpakaian hitam melintas di dekatnya. Wanita itu tak mengatakan apa-apa dan terus berjalan. Davin menyipitkan mata melihat sesuatu di tangan wanita itu.
Sebuah pistol.
???