3. Seseorang di Masa Lalu
"Désolé, qui es-tu? (Maaf, kamu siapa)?" tanya perempuan itu, menatap Davin dengan heran. Kedua matanya yang kecil menyipit mengamati Davin dari atas ke bawah.
Davin berdeham. Gadis di hadapannya masih tampak sangat muda, mungkin berusia sekitar 20 tahunan. Wajahnya khas gadis Asia, berambut hitam lurus sebahu, berkacamata minus dan bertubuh tidak terlalu tinggi. Kulitnya sedikit kecokelatan dan sama sekali bukan Shelyn.
"Connaissez-vous une fille nommée Shelyn? ... J'ai entendu dire qu'il habite ici. (Apa kamu kenal dengan gadis bernama Shelyn? ... Saya dengar dia tinggal di sini)," tanya Davin sedikit terbata.
Gadis itu mengerutkan kedua alisnya sembari melipat tangan. Ia mengangkat bahu. Ekspresinya seolah tengah mengingat sesuatu. Lalu diamatinya Davin sekali lagi lekat-lekat, lantas bertanya, "Kamu orang Indonesia, ya?"
Davin mengangguk singkat. Sedikit lega ternyata gadis di hadapannya adalah orang yang satu negara dengannya. "Iya, betul. Kamu juga orang Indonesia?"
"Iya. Aku lagi kuliah di sini," kata gadis itu. "Apa Shelyn yang kamu maksud itu Shelyn Amanda Wiyatma?"
"Iya. Shelyn Amanda itu," sahut Davin cepat. "Kamu kenal?"
"Oh, kalo sama dia aku tahu sedikit sih. Yang ayahnya di penjara gara-gara melakukan kejahatan itu, 'kan?"
Davin menaikan satu alisnya. Dari nada yang diucapkan si gadis berambut sebahu itu ada kesan sinis dan raut tidak suka.
"Jadi, kamu kenal dia? Katanya dia tinggal di sini."
Gadis itu menghela napas. "Dia udah pindah dari sini beberapa bulan lalu. Sekarang saya yang nempatin flat ini," jelasnya.
"Kamu tahu dia pindah kemana?" Davin tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia berharap bisa bertemu dengan Shelyn hari ini juga, tapi ternyata masih gagal.
"Saya nggak tahu Shelyn pindah kemana. Lagian dia orang yang tertutup banget. Waktu itu dia pindah juga buru-buru. Dan dia jarang ikut perkumpulan sama anak-anak Indonesia di sini."
Davin mengembuskan napas, lalu melangkah mundur. "Kalau begitu terima kasih atas informasinya. Maaf kalau saya mengganggu waktu kamu."
"Ya, nggak apa-apa. Sekedar informasi aja sih, kamu orang kedua yang nyariin dia di sini."
Kedua mata Davin melebar mendengar ucapannya. "Orang kedua? Memangnya siapa lagi yang mencari Shelyn selain saya?"
"Nggak tahu. Dia ke sini dua kali. Nanyain Shelyn gitu deh. Terus saya kasih tahu aja kalo cewek itu udah nggak tinggal di sini lagi. Dia nggak percaya soalnya dia tahu saya sama Shelyn satu Universitas." Gadis itu memutar bola mata jengah, dan mendengus sebal. "Dia bilang saya bohong atau sengaja nutupin keberadaan Shelyn. Kayak gue sama Shelyn deket aja."
"Terus yang mencari Shelyn itu siapa? Keluarganya atau temannya?" tanya Davin ingin tahu.
Gadis itu menyandar ke pintu. "Cowok. Dia ngaku temennya. Nggak tahu deh. Aku juga nggak ngurusin."
Davin merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya yang bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Dimas.
-Dimas
Gimana? Udah ketemu sama Shelynnya? Gue laper nih. Kalo lo masih mau melepas rindu, gue cabut duluan ...
Davin menghela napas dan memasukan ponselnya kembali. Lalu, menatap gadis itu yang kelihatannya juga sudah tidak sabar ingin menutup pintu.
"Jadi, kamu bener-bener nggak tahu dia dimana?" tanyanya lagi memastikan sebelum ia mengambil keputusan untuk pergi. Rasanya menyakitkan setelah datang sejauh ini, tapi ia tetap belum bisa bertemu dengan Shelyn.
"Kan udah aku bilang aku nggak tahu." Gadis berambut sebahu itu kembali memutar matanya. "Kalo kamu penasaran, mendingan kamu ke universitas aku. Mungkin kamu bisa ketemu Shelyn di sana. Tapi, aku nggak satu jurusan sih sama dia. Atau ... Kamu ke restoran La Délicieux aja. Aku denger Shelyn kerja paruh waktu di sana."
Sebelum Davin bisa berkata lagi, gadis itu langsung mengucapkan selamat tinggal dan menutup pintu kamarnya.
Davin tertegun menatap pintu yang tertutup di hadapannya seraya garuk-garuk kepala. Ya, setidaknya masih ada harapan untuk dirinya bisa melihat Shelyn sekali lagi.
o0o
Shelyn membuka bungkusan kebab di tangannya sembari menjatuhkan tubuhnya di sebuah bangku kayu panjang depan food truck yang menjual makanan cepat saji ala Turki. Perutnya keroncongan. Sekarang sudah hampir pukul 12 siang, masih ada waktu tersisa untuknya sekedar istirahat makan siang sebelum ia pergi ke La Délicieux untuk bekerja.
Hari ini Sabtu, jadwalnya melakukan pengantaran buket bunga ke para pelanggan yang memesan dan baru saja selesai mengantar. Menjadi pengantar bunga setiap akhir pekan adalah pekerjaan sampingan lain yang dilakukan Shelyn. Ia butuh banyak pekerjaan karena ia nyaris tidak bisa menabung untuk membiayai hidupnya.
Gadis itu menengadah, menatap pohon Cherry yang sedang berbunga di atasnya sambil mendesah. Ia lelah sekali sebenarnya. Bekerja dan harus mengikuti jadwal kuliah yang padat karena sebentar lagi ia akan lulus dan mengambil gelar masternya. Hanya butuh dua tahun untuk menyelesaikan studi S2 di negara ini. Dan Shelyn harus selalu menyisihkan waktunya setiap malam setelah bekerja untuk belajar agar bisa memperbaiki nilai-nilainya yang masih kurang baik.
Shelyn menyandar ke sandaran kursi sambil memakan kebabnya pelan-pelan. Matanya menatap lurus ke jalan yang dipenuhi para pejalan kaki dan juga kendaraan yang melintas. Saat-saat seperti ini selalu membuat Shelyn teringat kehidupannya di masa lalu. Bagaimana ia tidak perlu bersusah payah memikirkan segala kebutuhan hidupnya. Ia bisa mendapatkan segalanya dari papanya. Apapun yang diinginkan selalu tercapai. Namun, tidak untuk kehidupannya sekarang.
Shelyn menunduk dengan mata berkaca-kaca. Jauh di lubuk hatinya, ia merindukan papanya yang sekarang sedang menjalani hukuman penjara. Ia merindukan segalanya di masa lalu. Tapi, rasanya semua itu bagai mimpi yang semakin lama semakin memudar dalam ingatannya. Ia benci dengan apa yang terjadi dan membuat hidupnya menjadi mimpi buruk mengerikan.
Shelyn tahu menyesali segalanya tidak akan pernah mengubah keadaan. Yang harus dilakukannya adalah segera bangkit, menata kehidupannya kembali menjadi lebih indah. Tapi, apakah ia bisa? Entahlah. Ia tidak yakin.
Shelyn tersentak dari lamunan ketika ponselnya berdering di dalam tas sandangnya. Sambil mengusap matanya yang basah, ia pun mengambil benda segiempat itu.
Nama Darren tertera di layar. Dengan cepat, Shelyn mengangkat panggilan tersebut.
"Ya, Darren. Ada apa?" sapanya di telepon.
"Hai, Shel. Kamu lagi apa?"
Shelyn menatap jam tangan mungilnya, masih tersisa 20 menit sebelum ia memulai kerja paruh waktunya lagi.
"Biasa, Darren. Aku lagi kerja. Kenapa kamu telepon?"
"Oh, kerja lagi? Ini 'kan weekend. Aku pengen ngajak kamu liat musik Jazz di Paradis le Soir."
"Sayang banget. Aku nggak bisa, Darren. Mungkin lain kali aja, ya." Shelyn menolak halus. Selain karena harus bekerja, ia juga sedang tidak mood untuk bersenang-senang.
Darren mendesah kecewa. "Nggak bisa sama sekali? Walau malam ini ulang tahun aku?"
"Ulang tahun?" tanya Shelyn sambil mengernyit. "Bukannya kamu ulang tahun masih dua bulan lagi?"
Darren terkekeh. "Ya, oke. Bukan ulang tahun aku, tapi ulang tahunnya Danisha. Dia mengundang kamu untuk datang. She will dissapointed if you're not coming."
Shelyn mendesah. Danisha adalah kakak perempuan Darren yang baru lulus kuliah tahun kemarin. Ia sudah beberapa kali bertemu dengan Danisha karena gadis itu memang satu universitas dengan Shelyn dan Darren, tetapi Danisha memilih jurusan desain. Sejauh yang Shelyn ingat, Danisha sangat cantik, humble dan baik padanya. Ia juga suka sekali menjodohkan Darren pada Shelyn agar mereka pacaran betulan.
Shelyn selalu menanggapinya dengan bercanda jika Danisha mulai menggodanya bersama Darren. Shelyn hanya menganggap Darren sebagai teman baiknya selama ini. Tidak lebih. Shelyn sama sekali belum berpikir untuk berhubungan lebih dekat dengan siapa pun setelah apa yang terjadi.
Rasa bersalah masih menghantuinya bila teringat kejadian empat tahun lalu di Indonesia. Ia nyaris membunuh orang yang ia cintai dengan tangannya sendiri dan belum bisa melupakannya hingga detik ini. Shelyn kerap merasa hancur dan terpukul. Ia tidak ingin melukai siapapun lagi, terutama cowok sebaik Darren.
"Ugh, gimana ya? Aku harus kerja soalnya, Darren," keluh Shelyn, menggigit bibir.
"Kita pergi setelah kamu selesai kerja, oke?"
Shelyn menghela napas bingung, merasa tidak enak untuk menolak tawaran Darren.
"Apa acaranya resmi? Aku nggak punya gaun soalnya."
"Well, nggak resmi kok. Berpakaian yang pantas aja karena kita mungkin bakal berdansa." Kekehan renyah Darren kembali terdengar di telepon.
"Dansa?" Shelyn mengernyit.
"Yep. Pokoknya kamu harus datang. If you're not, we aren't friend anymore!"
"What?"
"Oke, sampe ketemu nanti malam. Bye!"
Sambungan telepon dimatikan. Shelyn menatap layar ponselnya sambil terperangah. Darren suka sekali seperti ini, merencanakan sesuatu dan Shelyn tidak boleh menolak.
Sambil geleng-geleng kepala, dimasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Lalu, memikirkan gaun apa yang harus ia kenakan serta kado yang harus ia bawa. Tidak enak rasanya tidak membelikan hadiah saat mendatangi acara ulang tahun.
Shelyn menghabiskan kebabnya yang masih tersisa setengah, kemudian meminum air mineral yang dibawanya dan bangkit berdiri untuk pergi ke La Délicieux.
Baru saja ia menarik sepedanya yang diparkir di dekat trotoar untuk dinaiki, tiba-tiba ada suara seseorang memanggil namanya.
"Shelyn?"
Shelyn menoleh seraya mengerutkan alis.
Tampak di hadapannya, seorang wanita berpakaian rapi dengan rambut panjang yang diikat ponytail dan berkacamata hitam sedang berdiri sambil menatapnya lekat. Mulut wanita itu setengah terbuka. Ia terus memandangi Shelyn dari balik kacamata hitamnya yang bertengger sempurna membingkai wajahnya yang rupawan.
"Lo bener Shelyn, 'kan? Oh, my God!!" Wanita itu membelalak sambil meletakkan kacamatanya ke atas kepala. Matanya meneliti Shelyn dari atas ke bawah dengan ekspresi tak percaya.
Selama tiga detik Shelyn hanya bisa terpaku. Jantungnya bergemuruh hebat saat otaknya mulai bisa mengenali wanita di hadapannya ini. Dan seketika Shelyn merutuk dalam hati. Dari sekian banyak manusia di muka bumi, juga di antara ratusan juta penduduk Indonesia, naas sekali rasanya ia bisa berpapasan dengan Elisa-musuh bebuyutannya di masa lalu di tempat ini.
Kenapa Elisa, ya Tuhan??? Kenapa harus cewek ini dari sekian banyak orang di bumi??? Shelyn membatin.
"Shel?" Elisa lagi-lagi memanggilnya. Kedua alisnya terangkat menunggu jawaban dari Shelyn yang hanya mematung di tempatnya berdiri. "Ini gue Elisa. Lo masih inget gue, 'kan?"
Duh, mampus gue!!!
???