2. Paris, I'm Here
Davin mendongak mengamati gedung bertingkat di hadapannya dengan serius. Gedung itu memiliki lima lantai dengan jendela-jendela besar yang masing-masingnya terdapat balkon kecil berpagar besi pendek sebagai pembatasnya. Dalam keremangan cahaya dari lampu jalan, gedung itu nampak semakin muram dan kusam. Cat putih yang mengelilinginya mulai pudar.
Bersama Dimas, Dara, Rian dan juga Pak Mathias, mereka baru tiba di Paris setengah jam lalu dalam perjalanan yang cukup panjang, lebih dari 21 jam karena transit di Doha, Qatar terlebih dulu. Perbedaan waktu lima jam dengan Indonesia membuat Dimas dan Dara agak mengalami jet lag. Di sini waktu menunjukkan pukul 8 malam, sementara di Indonesia seharusnya sudah lewat dari tengah malam.
Dan bangunan bertingkat di hadapan mereka ini adalah apartemen yang akan mereka tinggali sementara selama bertugas di sini. Tidak terlalu jauh dari pusat kota.
"Bagaimana?" Eric menatap kelima orang di dekatnya dengan tatapan penuh harap.
Pria itu yang menjemput mereka di bandara tadi, dan mengenalkan dirinya sebagai Eric, mungkin bukan nama sebenarnya. Ia bekerja di bagian intelijen komunikasi untuk Pemerintah dan telah menetap di Prancis selama satu tahun terakhir. Ia memang ditunjuk pihak BNN untuk membantu mereka mencari dan menangkap Felipe Monarez.
Selama perjalanan dari bandara, Eric banyak bercerita tentang segala hal mengenai pengalamannya di Prancis dan beberapa informasi penting terkait target yang sedang diburu mereka.
"Lumayan. Kelihatan berseni," komentar Dara. Entah terkesan menyindir atau memang tulus, tapi Davin merasa tempat itu tidak sepenuhnya bagus dan jauh dari kata mewah.
"Yah, sulit untuk menemukan apartemen bagus di dekat pusat kota. Ini Paris. Semuanya mahal. Jadi, ini yang paling bagus yang saya dapatkan untuk kalian dengan harga wajar." Eric kelihatan tersinggung.
"Saya nggak bilang jelek loh, Pak Eric." Dara buru-buru menyanggah. "Ini bagus. Serius."
"Betul kok, ini bagus," timpal Rian bersemangat. "Lebih bagus dari rumah saya di Jakarta."
"Ya sudah. Ayo, kita masuk! Kalian harus beristirahat karena pasti pada capek, kan?" Eric memimpin jalan memasuki gedung tersebut dengan langkah ringan.
Pak Mathias berjalan di sampingnya, sementara Dimas nampak terkantuk-kantuk saat menyeret kopernya mengikuti kedua pria itu masuk ke dalam. Ia terus menguap sepanjang perjalanan mereka menuju lift yang terletak di lobi. Dara dan Rian menyusul kemudian sambil berbisik pelan, tapi Davin bisa mendengar percakapan mereka yang konyol.
"Gue denger biasanya bangunan-bangunan tua di Eropa tuh suka ada hantunya," kata Rian dengan suara berupa bisikan.
Dara membulatkan matanya. "Serius lo?" Kemudian, menoleh ke kiri-kanan dengan waswas.
Rian mengangguk pasti. "Buat apa gue bohong. Liat aja bangunan ini. Pasti usianya udah ratusan tahun, bahkan sebelum Napoleon lahir ke bumi."
Dara mengusap tengkuknya dengan ekspresi gusar. Matanya meneliti setiap sudut, mencari sesuatu yang aneh atau mencurigakan.
Suasana di lobi tidak terlalu menyeramkan seperti yang dikatakan Rian. Dinding-dindingnya dilapisi kertas wallpaper bernuansa klasik warna jingga cerah. Lampu kristal menggantung di tengah ruangan, tidak terlalu terang tapi juga tidak gelap. Pencahayaannya cukup bagus untuk duduk-duduk bersantai di kursi kulit usang sambil menikmati secangkir kopi atau teh hangat karena terletak di sebelah jendela besar yang menghadap ke jalan. Di depan kursi itu ada meja Cherry segiempat dilapisi taplak berenda dan sebuah vas bunga kecil. Lantainya pun berselimut karpet bulu tebal yang kelihatannya masih baru.
Mereka kemudian naik lift menuju lantai paling atas. Eric mulai mengoceh lagi tentang pekerjaannya selama di sini. Betapa menyebalkan atasannya dan juga betapa ia merindukan keluarganya di Indonesia. Eric sudah menikah dan mempunyai seorang putri berumur 9 tahun. Hanya Pak Mathias yang memberi komentar sementara Dimas sibuk menguap dengan mata terpejam. Dara dan Rian masih sibuk bercerita seram. Davin sendiri diam-diam memikirkan hal lain yang selama ini mengusik pikirannya.
Shelyn ...
Bagaimana kabar gadis itu sekarang?
Apa dia baik-baik saja selama di sini?
Apa mereka bisa bertemu lagi?
Pikiran-pikiran itu terus berada di otaknya. Sekarang kesempatan bisa bertemu dengan Shelyn terbuka lebar. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, Davin merasa tidak pantas untuk mengharapkan hal itu. Meski begitu, tetap saja ia ingin melihat keadaan Shelyn sekali lagi, walau mungkin hanya dari jarak jauh.
Mereka sampai di lantai lima dan bergegas menyusuri lorong. Eric mengedarkan pandangan, lalu berhenti di depan sebuah pintu abu-abu tua yang tertutup.
"Nah, ini tempat kalian. Dalamnya lebih nyaman dari tampilan luarnya, kok. Saya jamin." Eric memasukan anak kunci ke lubang, sedikit mendorong pintunya agar terbuka dan masuk ke dalam sambil tersenyum lebar.
Satu persatu mereka melangkah masuk ke dalam dan merasa tersanjung. Ruangannya bersih dan nyaman dangan lantai kayu yang nampak mengkilap. Dapurnya berada di sebelah kanan dari pintu masuk. Memiliki dua kompor elektrik dengan meja bar kecil dan peralatan memasak cukup lengkap. Ruang tamunya juga bersih dilengkapi televisi kecil ukuran 14 inch dan tiga sofa yang ditutupi kain putih. Eric dengan cepat membukanya. Ia kemudian menunjuk satu ruang kamar tidur tertutup yang saling berhadapan dengan kamar mandi kecil di dekat dapur. Semua ruangan dicat putih dengan pencahayaan yang lumayan terang.
Dara dan Rian berputar-putar mengamati setiap sudut ruangan. Ekspresi keduanya tampak puas. Setidaknya tempat mereka tinggal tidak seburuk yang mereka bayangkan.
"Untuk sementara kalian berempat akan tinggal di sini." Eric berkata. "Pak Mathias akan tidur di tempat saya. Kebetulan saya tinggal nggak jauh juga dari sini."
"Dan untuk Dara, kamu tinggal di ruangan sebelah. Modelnya nggak jauh berbeda kok sama kamar ini." Eric menambahkan.
Dara mengangguk paham. Hanya ia satu-satunya wanita di antara semuanya. Tentu saja bukan ide bagus kalau dirinya ikut bergabung bersama tiga cowok-cowok rekannya walau mereka satu tim.
"Oh, kirain saya Dara juga berbagi kamar di sini sama kita, Pak." Dimas terkekeh. Pertama kalinya berbicara sejak keluar dari bandara. Matanya sembab kemerahan karena mengantuk.
"Hmm ... itu mah memang kepengen kamu, Dimas." Pak Mathias menepuk kening Dimas.
Dimas mengaduh karena kaget dan langsung beringsut menjauh.
"Nah, sudah selesai dengan semua perkenalannya. Jadi sebelum kita memulai misi kita besok, saya akan mengajak kalian berdiskusi." Eric berjalan ke sofa dan duduk di sana. Tas ransel yang disandangnya, ia letakan di atas meja. Kemudian, mengambil beberapa benda dari dalamnya. Ia memberi isyarat pada semua orang untuk duduk.
"Apa itu?" tanya Dara sambil duduk di sofa di hadapan Eric. Pak Mathias duduk di sebelahnya.
Davin dan Dimas mengambil tempat di sofa yang lain. Mereka saling berhadap-hadapan, sementara Rian malah berjalan menuju lemari es untuk memeriksa makanan. Perutnya kelaparan sejak turun dari pesawat. Ia tidak banyak makan selama penerbangan tadi.
Eric mendongak memandang Rian sekilas sambil berkata, "Di bawah ada kafetaria kalo kalian mau makan. Nanti bisa saya pesankan biar diantar ke sini."
Kemudian, laki-laki berambut ikal dengan kulit sawo matang dan sedikit gempal itu kembali berbicara, "Besok malam ada kabar anak buah Felipe akan melakukan pertemuan dengan beberapa gangster narkoba di sebuah klub malam. Saya ingin kalian menyelinap ke sana."
"Wow. Asyik!" seru Dimas antusias.
"Apa kami harus langsung menangkap Felipe kalau melihat dia?" tanya Davin.
Eric menoleh padanya. "Nggak semudah itu menangkap Felipe. Tapi, kalo kalian bisa dengan cepat menangkap dia, kenapa nggak? Itu malah lebih bagus."
"Oke." Davin mengangguk. "Kami akan berusaha."
"Bagus." Eric tersenyum. Lalu, menyodorkan empat buah ponsel pada mereka. "Sekarang kalian gunakan ponsel itu selama bertugas. Ponsel itu sudah diberi beberapa fitur navigasi juga aplikasi tidak terlacak. Jika sewaktu-waktu ada kejadian buruk yang menimpa kalian, situasi kita tetap aman."
Davin, Dimas, Dara dan Rian—yang baru bergabung—segera mengambilnya. Davin membolak-balik ponsel Android warna hitam di tangannya. Ponsel itu tipe terbaru dan berharga cukup menguras kantong.
"Saya juga mau bertanya siapa yang pandai main kartu di sini?" tanya Eric, mengamati setiap wajah di depannya dengan penasaran.
"Sebelum kemari, mereka sudah belajar sedikit tentang hal itu karena kalian bilang itu dibutuhkan selama bertugas." Pak Mathias yang menjawab.
"Betul." Eric mengangguk dan menyandar ke sofa sambil melipat tangan. "Felipe Monarez dan adik laki-lakinya Danielo Monarez adalah pecandu judi. Makanya mereka menggebu-gebu ingin bangun Casino di negara ini. Kalian perlu sedikit memainkan skenario yang baik, karena ada berita mengejutkan yang kami dapat kemarin."
"Apa maksudnya?" Davin menatap lurus pada Eric. Kedua alisnya berkerut.
Eric berdeham, mengeluarkan beberapa lembar foto dan kertas berisi dokumen dari dalam tasnya dan meletakan ke atas meja.
"Ada berita yang dirilis kepolisian Paris seminggu yang lalu. Dikabarkan, pria bernama Felipe Monarez sudah tewas kecelakaan."
"APA???" Semua orang mendelik tak percaya pada Eric. Bahkan, Pak Mathias pun ikut terbelalak kaget.
"Meninggal? Apa berita itu bukan kebohongan?" tanya Pak Mathias.
Eric mengendikan bahu, ekspresinya tidak yakin. "Kami juga merasa berita itu kayaknya hanya kebohongan. Soalnya, coba lihat foto-foto yang di meja itu, dua hari lalu ada seorang pria yang mirip sekali dengan Felipe Monarez berkeliaran di sebuah tempat perjudian tertangkap CCTV. Kami sedang mencari tahu, tapi kehilangan jejak. Sepertinya sih ...."
"Mungkin maksud Bapak, Felipe memakai identitas baru sekarang dengan berpura-pura tewas agar bisa terhindar dari hukum." Davin menyela.
Eric menatap Davin seraya tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang tidak rata. "Kamu cerdas!"
"Wah!" Dimas geleng-geleng kepala. "Ini bener-bener tugas yang menantang."
"Kita harus terus bekerja sama. Felipe nggak boleh sampai lolos. Saya yakin kalian semua bisa melakukan tugas ini dengan baik." Eric menepuk-nepuk kedua pahanya.
"Jadi, karena Felipe sudah tewas, mungkin kita sekarang menargetkan Danielo Monarez untuk menangkap bandit itu?" tebak Davin.
"Ya. Itu yang bisa kita lakukan untuk sekarang ini. Mengawasi Danielo karena pasti Felipe ada di sekitarnya." Eric sepakat.
Keheningan menggantung selama beberapa saat. Semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Davin meraih kertas dokumen yang berisi catatan kematian milik Felipe Monarez. Semuanya tampak asli. Dari bukti sidik jari dan juga tes DNA. Kematian disebabkan kecelakaan tunggal kendaraan roda empat.
"Kalau Felipe beneran meninggal, bagaimana, Pak Eric?" komentar Rian setelah sebelumnya ia hanya diam saja.
"Nah, itulah tugas kita untuk mencari tahu. Felipe meninggal atau tidak, kita tetap harus mengawasi Danielo Monarez dalam beberapa waktu ke depan. Tapi, saya rasa Felipe masih hidup di suatu tempat. Semua bukti kematian bisa dipalsukan."
Setelah itu, Eric menatap arlojinya dan bangkit berdiri. "Baiklah, silakan beristirahat. Besok kita berkumpul lagi pukul 8 untuk mulai menjalankan misi kita. Kalau butuh apa-apa silakan bertanya sama saya atau Pak Mathias. Jangan lupa, simpan baik-baik ponsel yang saya berikan untuk kalian tadi."
Davin, Dimas, Dara dan Rian mengangguk singkat. Lalu, Eric bersama Mathias dan juga Dara berjalan ke pintu, meninggalkan ruangan ini.
Rian sempat menggoda Dara sebelum gadis itu menutup pintu. "Dar, hati-hati ya. Biasanya makhluk halus suka sama pendatang baru. Jangan lupa baca doa sebelum tidur."
"Apaan sih?" Dara mencebik sambil memutar bola mata, kemudian membanting pintu dengan kasar.
"Dia emang punya tempramen yang jelek." Dimas berdecak sambil mengempaskan tubuhnya ke atas sofa.
"Begitulah." Rian mengangguk.
Dimas merentangkan tangannya sambil menguap lebar. "Welcome to Paris ..."
Davin sendiri menyeret kopernya menuju kamar tidur. Ia juga merasa lelah. Kamar itu tidak terlalu luas dan memiliki ranjang tingkat di sisi kanan sementara ranjang single di sisi kiri. Ia pun duduk di atas ranjang yang terletak di sebelah kiri. Semula Davin ingin segera mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket, tapi tiba-tiba otaknya teringat sesuatu.
Alamat Shelyn yang ia dapat dari Pak Haikal beberapa waktu lalu!
Cepat-cepat diambilnya kertas itu di dalam kopernya. Lalu, bangkit berdiri. Pintu kamar terbuka. Dimas melangkah ke dalam dengan langkah terseret-seret. Tanpa pikir panjang langsung menghempas tubuhnya ke atas ranjang yang kosong. Tapi sedetik kemudian, ia menegakkan kepala dan menatap Davin bingung.
"Lo mau kemana? Buru-buru gitu?"
Davin menoleh sekilas, menyambar sebuah topi hitam dari koper dan berjalan ke pintu. "Ke suatu tempat."
"Lo baru sampe. Lagian emangnya lo tahu jalanan di Paris?" Dimas mengangkat kedua alisnya.
Davin menggaruk-garuk keningnya. Hal itu sama sekali tak terpikirkan olehnya. Ia meringis, tapi akhirnya mengendikan bahu. Ia bisa menggunakan aplikasi Google Maps untuk mencari alamat Shelyn. Tapi, ia tidak punya kendaraan untuk ke sana.
"Apa lo tahu cara naik taksi online di sini?"
Dimas langsung melompat bangkit dan geleng-geleng kepala menatap Davin. "Udah gue duga lo mau kemana," katanya sembari berdecak.
***
"Excusez-moi, connaissez-vous une fille nommée Shelyn Amanda? (Permisi, apakah anda mengenal seorang gadis bernama Shelyn Amanda?" tanya Davin pada seorang wanita yang berada di pintu masuk sebuah gedung berlantai tiga di hadapannya.
Ia sedang berada di tempat yang dikatakan Haikal sebagai tempat tinggal Shelyn. Setelah beberapa kali berputar-putar mengikuti arah yang diberikan aplikasi Google Maps, Davin akhirnya sampai. Sesaat Davin tidak yakin karena tempat ini terlalu asing baginya. Ia belum pernah ke Paris dan kemungkinan tersesat tentu saja sangat besar.
Davin pergi bersama Dimas dengan meminjam mobil Eric. Ternyata ia tinggal di sebuah rumah sewa yang cukup besar beberapa blok dari apartemen tua mereka. Pak Mathias sempat bertanya mau kemana kedua anak buahnya malam-malam begini, tapi Dimas berkata kalau mereka cuma mau cari makanan sambil cuci mata. Untungnya, Eric sama sekali tidak keberatan dan bilang bahwa mereka boleh mengendarai mobilnya. Sedangkan, Rian setelah mandi lebih memilih ke Kafetaria untuk makan malam. Dara sempat ingin ikut Davin dan Dimas, tapi kedua cowok itu tidak mengizinkannya dan menyuruh gadis itu menemani Rian.
"J'ai entendu dire qu'il habite ici. (saya dengar dia tinggal di sini)," kata Davin lagi pada wanita berambut pirang nyaris putih itu. Kedua tangan gemuknya memeluk tas kertas yang penuh dengan belanjaan.
Wanita itu menggeleng sambil mengerutkan alis. "Je ne sais pas. (Saya tidak tahu)," sahutnya.
Davin menggangukkan kepala, mengucapkan terima kasih dan wanita itu pun segera pergi. Kepalanya kembali menengadah menatap bangunan itu seraya menghela napas. Ia ingin bertanya lagi pada orang-orang yang berada di situ, tapi segera mengurungkannya. Orang Prancis tidak pandai berbahasa Inggris dan mereka malas meladeni orang yang tidak mengerti bahasa Prancis. Dulu waktu masih bersekolah di sekolah Intelijen, mereka juga diajarkan banyak bahasa asing, termasuk bahasa Prancis. Namun, karena jarang menggunakannya Davin merasa kagok juga.
Apa ia masuk saja ke dalam, mencari Shelyn di sana? Davin menimbang-nimbang. Tapi, ia merasa tidak yakin. Dipandanginya lagi kertas berisi alamat itu. Kamar flat Shelyn ada di lantai dua.
Bagaimana jika Shelyn ternyata tidak ingin menemuinya? Dan juga membencinya? Apa yang harus Davin lakukan?
Sambil menarik napas dalam-dalam, Davin memilih nekat menerobos ke dalam. Ia ingin bertemu dengan gadis itu setidaknya sekali saja. Jika memang Shelyn membencinya dan tidak ingin bertemu dengannya lagi, maka ia akan menerima.
Davin berjalan menaiki tangga. Tangannya sibuk membalas pesan Dimas untuk menyuruhnya menunggu sepuluh menit lagi. Cowok itu tengah menunggunya di dalam mobil di seberang jalan.
Gedung ini sama tuanya dengan bangunan apartemen mereka yang disewa Eric. Tapi, di sini nampak lebih ramai. Davin bisa mengira para penyewa kamar di sini kebanyakan mahasiswa atau pelajar karena beberapa kali ia berpapasan di tangga maupun di lorong dengan orang-orang yang masih muda dan kebanyakan membawa buku serta ransel di punggung mereka.
Akhirnya, Davin sampai di sebuah kamar yang tertutup bertuliskan nomor kamar Shelyn seperti yang diberikan oleh Haikal padanya.
Ia langsung mengetuk pintu itu tanpa berpikir dua kali. Jantungnya berdegup kencang. Sedikit berharap kalau Shelyn tidak menamparnya atau juga menyiramnya dengan air bekas cucian piring.
Terdengar suara sahutan dari dalam. Suara seorang perempuan. Davin merasa jantungnya seperti akan melompat keluar. Namun tak dipungkiri, kelegaan pun membanjiri hatinya. Semoga saja itu Shelyn.
Pintu terbuka dua detik kemudian, diiringi lontaran pertanyaan dalam bahasa Prancis yang berarti "Siapa?"
Gadis itu menatap Davin dengan terkejut dan Davin merasa jantungnya mencelos sampai ke perut melihat gadis di hadapannya.
???