Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. La Delicieux

Beberapa bulan sebelumnya,

Jalanan aspal masih terasa licin dan basah ketika Shelyn membelokan sepedanya pada tikungan jalan menuju La Délicieux, sebuah restoran Prancis bintang empat yang menjadi tempatnya bekerja paruh waktu setiap hari selama enam bulan terakhir.

Ini sudah memasuki bulan Maret, dimana musim semi baru saja menjelang. Tentu saja udara yang terasa masih dingin menusuk sampai ke tulang dan siang ini hujan gerimis mengguyur hampir seluruh kota sejak pagi tadi.

Bangunan restoran itu terletak di pusat kota Paris yang padat, diapit bangunan-bangunan toko lain, seperti butik pakaian dan souvenir. Area yang sering dikunjungi para turis atau wisatawan. Shelyn mengayuh sepedanya lebih cepat sebelum kehabisan waktu karena dua menit lagi ia harus sampai atau Mr. Roussel akan mengomelinya dengan aksen Amerika yang menyebalkan.

Ia adalah manager restoran tempat Shelyn bekerja. Orang Amerika berkewarganegaraan Prancis. Usianya sekitar 40-an dengan kepala plontos dan mata abu-abu yang nyaris transparan. Bibirnya tipis setipis kertas. Kadang Shelyn berpikir Mr. Roussel bagaikan tidak punya bibir setiap kali ia memasang raut tegas dan wajah judesnya, sementara tingginya 180 cm dengan perawakan kurus kering yang menjulang.

Shelyn memarkir sepedanya begitu sampai, lalu menguncinya cepat-cepat. Mr. Roussel telah berdiri di depan pintu restoran dalam jas hitam putihnya dan memasang wajah tanpa ekspresi.

Oke, setidaknya ia tidak terlambat kali ini dan Shelyn menarik napas lega.

"Bonjour, Monsieur Roussel!" sapanya kala berjalan memasuki pintu restoran.

Mr. Roussel menatap Shelyn dengan alis berkerut. "Pourquoi es-tu ici?

votre horaire de travail demain, non? (Kenapa kamu kemari? Jadwal kerjamu besok, bukan?)."

Shelyn menatap Mr. Roussel seraya tersenyum. "Oui, Monsieur. Je remplace l'horaire de travail de Chang maintenant. (Iya, Pak. Saya menggantikan jadwal kerja Chang sekarang.)," jelasnya.

Mr. Roussel mendesah, kelihatan tidak senang dengan kedatangan Shelyn. Ia memang kesal tiap kali bawahannya menukar jadwal paruh waktu mereka seenak jidat tanpa memberitahu terlebih dahulu padanya.

"Well, she didn't tell anything with me. She shouldn't changed her schedule without my permission," gerutunya. "And what's her reason? I pleasure to cut off her salary."

Shelyn meringis. Jika Mr. Roussel sudah berbicara dalam bahasa Inggris itu pertanda ia dalam keadaan mood yang tidak baik, dan Shelyn harus bisa meredakan situasi agar tidak bertambah buruk yang mengakibatkan gajinya dengan gaji Lenny Chang—teman kerja paruh waktunya berkebangsaan China di restoran ini—terancam mendapat pemotongan. Ini benar-benar masalah.

Shelyn menggaruk-garuk keningnya dengan gugup. Sebenarnya ia terpaksa menerima tawaran Lenny untuk mengganti jadwal shift-nya besok pada hari ini lantaran gadis berdarah China itu terus menerus memohon sepanjang malam agar Shelyn mau menukarnya. Lenny tidak mengatakan alasan yang spesifik, tapi Shelyn tahu kalau gadis itu ingin jalan-jalan dengan cowok barunya hari ini, dan tidak keberatan karena ia juga tidak punya mata kuliah penting. Tapi, Sekarang Shelyn sedikit menyesal karena harus menghadapi kejengkelan Mr. Roussel yang tak diduganya.

"Uhmm ... I'm sorry, Sir. It's because she got sick like, well, you know PMS? It means Pra menstru—"

Mr. Roussel mengangkat tangan memotong ucapan Shelyn. Lalu, mendengus tajam. "Whatever! Get in and change your clothes faster! And say to her I take 15 Euros for her iressponsibility."

Shelyn menghela napas dan mengangguk pasrah. "Yes, Sir." Buru-buru masuk ke dalam restoran dan mengganti pakaiannya dengan seragam kerja berupa setelan hitam putih dan sepatu bersol hitam. Setidaknya gajinya tidak ikutan dipotong pria botak itu.

Suara berdesis daging dipanggang, sayur tumis dan bumbu-bumbu masakan memenuhi penciuman. Shelyn segera bergabung bersama dua rekannya yang lain, Thomas Dan Rashti di ruang depan untuk melayani pengunjung yang datang. Sama seperti Shelyn, Thomas dan Rashti juga pekerja paruh waktu dan sedang sekolah di Paris. Thomas Larry adalah orang Irlandia dan Rashti Patel merupakan warga negara India.

Restoran ini termasuk salah satu tempat yang menerima pekerja dari warga asing yang sedang bersekolah. Selama enam bulan bekerja di sini, Shelyn sudah merasa sangat nyaman. Upahnya standar gaji yang diatur pemerintahan Prancis dan ia merasa bersyukur bisa diterima di tempat ini, meskipun Mr. Roussel selalu bersikap menyebalkan sewaktu-waktu berupa pemotongan gaji tanpa tedeng aling-aling jika mereka melakukan kesalahan.

"Est-ce que Lenny a encore changé l'horaire? (Apa Lenny menukar jadwal lagi)?" tanya Thomas begitu Shelyn lewat di depannya untuk mengantar pesanan seorang pengunjung yang duduk di deretan tengah.

Sebagai jawaban, Shelyn hanya menganggukkan kepala. Ia tidak bisa meladeni Thomas mengobrol karena restoran cukup ramai pelanggan yang datang, dan juga Mr. Roussel yang mengawasi mereka dari bola mata transparannya.

"Bon appétit!" ucap Shelyn sambil menata piring berisi pesanan ke atas meja tamu yang memesan.

"Mercy, Maddame. Envie de manger ensemble? (Terima kasih, Nona. Mau makan bersama)?" goda pemuda yang memesan itu sambil tersenyum.

Shelyn menoleh menatap si pemuda, lalu balas tersenyum begitu mengenali siapa yang menggodanya.

"Darren?"

Darren tersenyum lebar. "Bonjour!"

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Shelyn dengan suara pelan, melirik sekilas pada Mr. Roussel yang sedang menghampiri tamu VIP yang baru datang.

"Makan siang, tentu saja," sahut Darren santai.

"Oh ya, makan siang." Shelyn mengangguk. "Kamu hebat banget makan siang di sini. Ini restoran mahal tahu. Kamu bilang lagi mau berhemat sampai kita lulus."

"Ya, sekali-kali 'kan nggak masalah." Darren mengangkat bahu.

Shelyn cuma tersenyum. Nama cowok itu Darren Janvier, blasteran Indo-Prancis yang sedang kuliah melanjutkan S2 dan mengambil jurusan yang sama dengan Shelyn: Magister Manajemen (MIM) . Darren besar di Inggris dan baru menetap di Prancis saat lulus SMA. Ia hanya beberapa kali pernah ke Indonesia, tetapi cukup lancar berbahasa Indonesia. Ibunya asli berdarah Sumatera sementara ayahnya adalah orang Prancis tulen. Terkadang mereka berdua sering berkomunikasi dalam bahasa Inggris sebab Darren lebih nyaman menggunakannya ketimbang bahasa Prancis itu sendiri.

Darren dan Shelyn mulai berteman sejak awal semester kuliah di tahun pertama dimana gadis itu sedang mengalami tahun-tahun yang berat sejak kedatangannya dari Indonesia.

Shelyn sempat menunda kuliahnya selama dua tahun karena terkendala biaya. Beruntung, usahanya untuk mendapatkan jalur beasiswa diterima sehingga ia tidak terlalu berat untuk membiayai kuliah dan juga kebutuhan sehari-harinya selama berada di negeri ini.

Semenjak papanya—papa ... rasanya menyakitkan jika ia harus mengingat apa yang terjadi dalam hidupnya dan juga papanya. Haikal masih menjalani hukuman penjara selama dua puluh tahun akibat perbuatan yang dilakukannya, sedangkan Mulya mendapat hukuman mati yang sebentar lagi eksekusinya akan dilaksanakan.

Pada awalnya terasa sangat berat bagi gadis itu. Ia harus melakukan segala hal sendirian di negara yang asing. Haikal tidak bisa lagi membiayai hidupnya karena di penjara, sementara aset-aset kekayaan mereka telah disita negara. Shelyn memang masih memiliki tabungan. Namun, itu saja tidak cukup. Hidup di kota mahal seperti Paris membuat gadis itu harus banting tulang setiap hari.

Tidak banyak orang Indonesia yang dekat dengannya mengingat reputasi dan skandal yang dilakukan oleh papanya sebagai pejabat negara yang korup dan jahat. Shelyn berusaha menghadapi kenyataan pahit ini dengan berusaha tegar meskipun terasa begitu sulit.

Sejak mengenal Darren, ia jadi sedikit lebih ceria karena pemuda itu sangat baik padanya. Mereka berkenalan di tahun pertama kuliah dan beberapa kali terlibat dalam tugas kelompok yang diberikan dosen mereka.

Darren bisa dibilang cukup tampan dengan tubuh tinggi tegapnya, dagu belah, berambut hitam agak ikal yang selalu berantakan menjelang siang hari dan berkacamata. Ia adalah pribadi yang menyenangkan bagi Shelyn. Hangat, humoris dan suka tersenyum. Shelyn kadang teringat Bara jika sedang bersamanya karena mereka memiliki banyak kesamaan.

Omong-omong soal Bara, gadis itu jadi teringat dengannya. Ia sudah empat tahun tidak bertemu Bara. Beberapa waktu lalu, cowok itu rutin menanyakan kabarnya via email. Namun, Shelyn hanya membalasnya satu kali dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia juga tidak pernah berkomunikasi lagi dengan teman-temannya di masa lalu, termasuk Rara dan Poppy. Entah bagaimana kabar kedua sahabatnya itu, yang jelas Shelyn terlalu malu untuk menghubungi mereka kembali setelah apa yang terjadi. Ia jadi lebih tertutup.

Dan hal yang paling mengusik pikirannya selama ini adalah bagaimana kabar Davin?

Davin ....

Pemuda yang dicintainya di masa lalu, yang senantiasa dirindukannya hingga detik ini. Ada rasa pedih menjalari hatinya tiap kali ia terkenang Davin. Namun, ia tak memungkiri harapannya untuk bisa bertemu kembali, walau mungkin rasanya mustahil.

"Nikmati makanannya. Aku harus kembali bekerja," kata Shelyn, melirik lagi ke tempat Mr. Roussel yang sedang menatapnya.

"Kenapa kamu nggak masuk kuliah hari ini?" tanya Darren cepat-cepat sebelum Shelyn keburu pergi.

"Nggak ada mata kuliah penting dan aku harus mengganti jadwal shift Lenny Chang hari ini." Shelyn memberitahu. "Darren, aku nggak punya waktu buat mengobrol sama kamu. Mr. Roussel lagi memperhatikan aku dan aku nggak mau sampe kena potong gaji."

Darren terkekeh di kursinya. Sinar matanya menyorot jail. "Oke, kalau begitu aku bakal pesan makanan lagi, biar bisa mengobrol lebih lama sama kamu."

Shelyn memutar bola mata, tapi bibirnya tersenyum. Dirogohnya saku kemejanya untuk mengeluarkan note kecil untuk mencatat pesanan.

"Qu’est-ce que vous prenez, Monsieur? (Apa yang ingin anda pesan, Tuan)?" tanya gadis itu dengan nada formal.

Darren mengusap-usap dagunya seolah berpikir. "Nanti malam ada waktu nggak? Aku jemput mau?"

"Darren ..." Shelyn membulatkan matanya. "Serius dikit lah ...."

"Oke, aku pesan satu makanan penutup yang menurut kamu enak, tapi yang paling murah, ya?"

"Bisa diatur," sahut Shelyn sambil tersenyum usil. Jari-jarinya menulis sesuatu di atas note-nya. Sebelum berbalik, ia menambahkan. "Pesanan akan diantar. Silakan nikmati hidangannya, Monsieur."

"Kamu jangan nulis hidangan yang paling mahal ya, Shel." Darren mengingatkan. Ekspresinya terlihat panik melihat sinar mata Shelyn yang mengandung kejailan.

Darren memang harus berhemat mengenai uang sakunya yang dipangkas oleh kedua orang tuanya sejak tiga bulan lalu lantaran nilai kuliahnya yang bermasalah.

Shelyn cuma melambaikan tangan sambil tertawa pelan. Ekor matanya mengawasi Mr. Roussel yang masih berdiri di dekat meja resepsionis. Pria itu kini sedang berbicara dengan seseorang yang mungkin ingin melakukan reservasi tempat untuk makan di sini.

"He's your friend?" Rashti bertanya dalam logat hindi yang kental pada Shelyn saat gadis itu mengantarkan catatan pesanan beberapa pengunjung ke loket drive thru yang menuju dapur. Rashti tidak terlalu lancar bahasa Prancis, jadi ia lebih sering berbicara dengan bahasa Inggris pada Shelyn maupun yang lain.

Shelyn mengangguk, menatap gadis berkulit hitam manis itu penasaran. "Ya, memangnya kenapa?"

"Dia cakep," ujar Rashti kalem. "Apa dia sering mampir ke sini?"

"Kadang-kadang, tapi bukan untuk makan. Lebih tepatnya cuma untuk mengobrol." Shelyn menjelaskan.

Rashti mengalihkan tatapannya lagi ke tempat Darren. Cowok itu sedang menyantap makanannya, tapi tak berapa lama ia mendongak dan melambaikan tangan ke arah Shelyn sambil tersenyum manis.

"Kelihatannya dia suka sama kamu," bisik Rashti, membalas lambaian tangan Darren di depan dadanya agar tidak terlihat oleh Mr. Roussel.

"We're just friend," sahut Shelyn.

"Friend with benefit?" Kedua mata hitam Rashti bersinar jail. Senyumannya berubah menjadi cengiran.

Shelyn tertawa geli seraya geleng-geleng kepala dan melanjutkan kembali pekerjaannya sebelum Mr. Roussel memarahi mereka karena ketahuan mengobrol di waktu kerja.

Saat istirahat untuk makan, Shelyn mendapati ponselnya terus berdering. Ada panggilan dari nomor tak dikenal yang menghubunginya dan juga beberapa pesan masuk. Shelyn tertegun ketika membaca isinya.

Shel ...

Gimana kabar kamu?

Kenapa kamu gak pernah bales email aku lagi?

Aku harap kamu baik-baik aja.

-Bara

Shelyn menarik napas gusar. Jantungnya berdegup kencang. Selama ini ia selalu menghindari Bara dan semua orang yang pernah berhubungan di masa lalunya. Ia tidak siap untuk menghadapi siapa pun. Sebisa mungkin ia menutupi segala informasi yang bisa membuat keberadaannya terkuak, bahkan dari papanya sendiri. Haikal tidak pernah tahu bahwa Shelyn sudah pindah di tempat tinggal baru sejak tiga bulan lalu. Ia tidak mau ada siapapun yang menemukannya, tapi darimana Bara bisa tahu nomor ponselnya?

Ragu-ragu, gadis itu pun membalas pesan Bara dengan kata-kata singkat.

Aku baik-baik aja, Bar. Tolong jangan cari aku lagi. Aku minta maaf ....

Setelah itu, dimatikan ponselnya tanpa menunggu lama. Ia terpaksa akan mencari nomor baru lagi besok pagi. Bara adalah cowok yang gigih. Shelyn sudah mengenalnya dengan sangat baik. Mereka pernah berpacaran saat masih SMA dan bertemu kembali sebelum kehidupan Shelyn hancur berkeping-keping. Bara sangat mencintai Shelyn dan mengajak kembali gadis itu untuk berpacaran, tetapi Shelyn lebih memilih bersama Davin. Cowok yang sangat dicintai Shelyn kala itu, yang menyamar menjadi bodyguardnya untuk menangkap Haikal, ayah kandungnya yang terjerat banyak kasus gelap.

Mengingat semua itu membuat dada Shelyn terasa begitu sesak dan sakit. Setelah empat tahun berlalu, Shelyn berharap bisa melalui semuanya dengan lebih baik, melupakan segala hal yang terjadi, tapi rasanya sia-sia karena mimpi buruk itu terus menghantuinya.

Shelyn tersentak ketika Rashti dan Thomas muncul di dekatnya, mengajak untuk makan bersama. Shelyn cepat-cepat memasukan kembali ponselnya ke dalam tas dan mengatakan akan segera menyusul.

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel