Bab 9 Jimat Keberuntungan
Bab 9 Jimat Keberuntungan
Adelyn melemas di kamar mandi. Entah sudah berapa lama dia terkunci di sana. Sekira-kiranya Adelyn. Dia sudah terkunci selama hampir satu jam. Tapi tidak ada satu orang pun yang mencarinya.
"Apa tidak ada yang merasa kehilangan aku? Atau memang, sosok Youra tidak disukai banyak orang.
"Apa aku akan mati karena kekurangan oksigen, jika terlalu lama ditempat ini?"
"Ah, bagaimana ini?!" Adelyn tiba-tiba mulai menangis. Ia menyesal kenapa bisa hidupnya selalu seperti ini. Selalu saja menyedihkan.
"Youra!!!"
Tiba-tiba Adelyn mendengar seseorang sedang berteriak, meneriakkan namanya.
"Tae! Itu seperti suara Tae!"
Adelyn yang semula jongkok, langsung berdiri dan berteriak, "Taehyun! Di sini! Aku di sini!"
Adelyn memukul-mukul pintu berusaha menimbulkan suara. Berharap Taehyun akan mendengarnya.
"Youra, kau di sana?" Taehyun memukul pintu toilet.
"Iya. Aku di sini! Tae, bantu keluar, aku mohon."
Ceklek~ pintu toilet terbuka.
"Youra! Kau kenapa bisa ada di sini?"
"Tae!" Adelyn secara tiba-tiba memeluk Taehyun. "Kenapa baru datang? Aku takut!"
"Eh?" Taehyun merasakan kalau tubuh Adelyn gemetar.
"Dia ketakutan?" ucap Taehyun dalam hati, ketika merasakan tubuh Adelyn gemetar memeluknya erat.
"Sudah, tidak apa-apa. Sekarang kan sudah di luar."
"Aku takut! Aku pikir aku akan selamanya di sana!" ucap Adelyn gemetar.
Taehyun merasakan ketakutan Adelyn. Lalu ia mengusap rambut Adelyn. "Tenanglah sudah tidak apa-apa."
Sementara Adelyn berada di dalam pelukannya, Taehyun melihat ke sekitar. Ada kunci yang tergantung di kenop pintu. Ditambah lagi ada tanda toilet rusak.
Taehyun jadi berpikir, kalau ada seseorang yang memang dengan sengaja ingin mengerjai Adelyn.
***
Sekolah telah usai sekitar satu jam yang lalu. Karena sebentar lagi akan ada ujian, baik Taehyun dan Adelyn, keduanya sepakat untuk menunda latihan mereka. Mereka harus fokus belajar, sampai saat ujian usai.
Adelyn baru saja selesai mandi dan ingin belajar. Namun, dering ponselnya mengalihkan atensinya.
"Hallo." Adelyn menjawab panggilan telponnya. "Ayah, ada apa?"
"Youra sayang. Katanya kamu tadi terkunci di toilet? Benarkah?"
"Ah itu, iya, Ayah. Benar."
"Kenapa? Bagaimana bisa?"
Terdengar suara sang ayah begitu cemas. Membuat Adelyn tidak tega menceritakan kalau dirinya tengah mendapat perlakuan perundungan oleh teman-temannya, yang bahkan Adelyn sendiri tidak tahu siapa pelakunya.
"Oh itu, sepertinya itu salah paham, ayah."
"Salah paham bagaimana? Tolong jelaskan pada ayah!"
"Sebenarnya, saat itu aku sedang di toilet. Mungkin petugas kebersihan tidak memeriksa kembali lalu main mengunci dan menaruh tanda rusak," jelas Adelyn.
"Benarkah?"
"Ayah tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja."
"Kau bicara yang sebenarnya kan? Ayah tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa!"
"Iya, ayah. Ayah tenang saja. Semuanya baik-baik saja."
"Syukurlah. Ayah tenang mendengarnya."
"Ayah sendiri, bagaimana kabar Ayah?"
"Ayah sehat. Ibu juga."
"Syukurlah. Aku sangat merindukan kalian."
"Kami juga sayang."
"Ayah, aku harus belajar. Besok akan ada ujian. Jadi, aku tutup dulu, ya, telponnya."
"Iya sayang. Oh iya, besok ayah akan mau mengirimkan makanan. Ibumu yang membuatkannya. Jadi pagi-pagi besok, temui ayah di ruang tunggu, oke?"
"Ah, benarkah? Terima kasih. Aku pasti akan menunggu ayah di sana."
"Iya sayang. Sekarang kamu belajar, agar nanti bisa lulus dengan nilai terbaik."
"Aku paham. Terima kasih Ayah. Sampai berjumpa besok."
"Sampai jumpa Youra, ayah menyayangimu."
Adelyn mengakhiri panggilan telponnya dengan sang ayah.
"Irinya. Ayah dan ibunya Youra sepertinya sangat menyayangi Youra. Berbeda dengan orang tua asliku. Yang hanya bisanya berteriak tanpa peduli perasaan aku yang melihatnya."
Adelyn menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
"Sudahlah! Sekarang tidak usah memikirkan hal lain. Aku harus melanjutkan kehidupanku di sini. Aku harus belajar dengan baik, agar bisa membahagiakan ayah dan ibu."
Adelyn memulai belajar. Ia kembali melihat satu persatu mata pelajaran yang akan dijadikan bahan ujian besok.
Beruntung ujiannya berupa teori. Karena untuk yang satu ini, setidaknya Adelyn bisa berusaha lebih baik.
***
Pagi-pagi sekali, Adelyn sudah bangun dari tidurnya. Ia bangun lebih pagi, dengan harapan bisa bersama sang ayah lebih lama.
Adelyn bersiap-siap menuju ruang tunggu kunjungan.
***
Sudah hampir 15 menit Adelyn menunggu kedatangan sang ayah. Namun, sang ayah belum menunjukkan batang hidungnya.
Adelyn terus menerus memerhatikan jam tangannya. Berharap bisa sedikit lebih lama, tapi pupus sudah. Waktu menunjukkan kalau 15 menit lagi sekolah akan memulai pelajarannya.
"Youra!" Suara yang diharapkan akhirnya datang juga.
Adelyn segera berdiri dan berlari, lalu memeluk sang ayah.
"Ayaaaah."
"Youra, sayang. Maaf, Ayah baru sampai."
"Aku pikir ayah akan datang lebih cepat. Maafkan Ayah, sayang. Ayah tidak tahu kau akan menunggu ayah. Biasanya kan kau paling malas bertemu ayah."
"Heuh? Itu tidak benar! Aku sangat menyayangi ayah dan ibu. Kalau bisa, aku ingin setiap hari berada di rumah."
"Youra. Kenapa sikapmu jadi manis begini?" Sang ayah terkekeh.
"Ayah...."
"Ini makanannya."
"Banyak sekali," ucap Youra ketika menerima beberapa bungkus makanan yang diberikan oleh ayahnya.
"Simpanlah di asrama. Hangatkan sesekali ketika kau mau memakannya."
"Terima kasih," ucap Adelyn terharu. Pasalnya baru kali ini dirinya merasakan kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
"Hubungi ibumu, dia pasti cemas akan dirimu."
"Maaf. Seharusnya aku lebih sering menghubungi ayah dan Ibu. Tapi, akhir-akhir ini aku ...." Adelyn mau mengatakan kalau dirinya akhir-akhir ini sedikit sibuk dan lelah karena latihan tambahannya bersama Taehyun. Namun, sepertinya hal ini bukanlah hal yang bisa Adelyn katakan sembarangan pada ayahnya.
"Sudahlah, Ayah dan Ibu paham. Kau pasti sibuk dengan urusan sekolah."
"Ayah...."
"Tidak perlu khawatir. Cukup Youra bersekolah dengan baik. Bagi Ayah dan Ibu sudah lebih dari apa yang kami harapkan."
"Ayah...."
"Sebentar lagi sudah mau masuk jam pelajaran 'kan?"
"Heuh?"
"Sudah sana. Jangan sampai terlambat."
Adelyn mengangguk kuat-kuat. Melihat senyum ayahnya yang penuh harap, membuat Adelyn ingin melakukan hal yang terbaik yang bisa ia berikan untuk keluarganya.
"Semangat ujiannya."
"Iya Ayah."
"Dan ini," sang ayah mengeluarkan kalung dari dalam sakunya. "Pakai ini. Anggaplah ini jimat keberuntungan."
"Kalung siapa ini, Ayah?"
"Kalung ini adalah pemberian Ibumu. Dia meminta Ayah menitipkan ini untukmu."
"Ibu ...."
"Ayah membelikan ini untuk Ibumu, ketika kita mau ujian sekolah, dulu. Kata Ibumu, ini membuatnya lulus dengan bangga."
"Ah, manisnya."
"Nah sekarang biar ayah pakaikan untuk Youra." Sang ayah memakaikan kalung tersebut di leher Youra.
"Cantik sekali," ucap sang ayah, memerhatikan kalung yang berada di leher Youra. "Kau cantik. Mirip sekali dengan Ibumu."
"Aku juga pasti mirip dengan ayah. Ayahku memang yang terbaik."
Untuk menutup perjumpaan mereka. Adelyn kembali memeluk ayahnya dengan erat. Sebelum akhirnya, mereka berpisah.
***
Siang hari. Waktunya jam istirahat.
Adelyn menyender pada punggung kursinya. Ia merasa lelah setelah sebelumnya mengerjakan soal-soal ujian yang baginya sangat sulit.
Tidak seperti Matematika, atau yang lainnya. Ujian di sekolah ini lebih pada ramuan, istilah-istilah elemen dan lainnya.
Sungguh, ini sangat-sangat baru dan menguras energi Adelyn berpikir.
"Hei, kenapa masih di sini?" Taehyun datang menghampiri Adelyn.
"Ujiannya susah sekali. Kepalaku sampai pusing karenanya."
"Benarkah?"
"Menurutmu?"
"Hahaha, iya, kuakui memang ujian kali ini soalnya sangat sulit."
"Tuh kan."
"Ya, apapun hasilnya itu yang terbaik."
Adelyn hanya tersenyum tipis menanggapi Taehyun.
"Kenapa masih di sini? Tidak mau makan siang?"
"Makan siang?"
"Memangnya kau tidak lapar?"
"Ah iya, aku baru saja menerima makanan dari ibuku."
"Heuh? Kau simpan di mana?"
"Aku simpan di dapur sekolah. Aku menitipkannya sementara sampai nanti aku bawa ke asrama."
"Wah, apa banyak?"
"Mau temani aku mengambilnya?"
"Mau." Tanpa ragu Taehyun menyetujuinya.
Sementara Taehyun dan Adelyn berbicara. Tanpa sepengetahuan mereka, ada beberapa orang memerhatikan mereka dengan sinis. Siapa lagi kalau bukan Euna, Hyuna dan Hyunra. Mereka melihat dari luar kelas. Mereka tampak tidak suka melihat Adelyn yang semakin hari, semakin dekat dengan Taehyun.
"Keterlaluan! Semakin dibiarkan semakin tidak tahu diri!" Geram Euna.
"Harus dikasih pelajaran!"
"Gila ya! Pelajaran kemarin saat dia terkunci di kamar mandi sepertinya tidak buat si Youra jera!"
"Kita harus berbuat sesuatu," sambar Hyuna.
"Lihat saja, akan kubuat dia menangis!" ucap Euna.
—To be continued—