Bab 2 Lost Girl
Bab 2 Lost Girl
"Adelyn!"
Rasanya teriakan Jay saat itu terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
Adelyn tidak mengelak kalau apa yang terjadi di atas gedung itu merupakan kenyataan. Namun, apa yang terjadi pada dirinya saat ini, juga tidak bisa dibilang sebuah mimpi.
Jika benar dirinya telah jatuh saat itu. Lantas sekarang ini ada di mana?
Adelyn mencubit tangannya berulang kali. Dan rasanya tetap sama. Sakit.
Bahkan seharusnya tidak perlu sampai mencubit. Bekas memar itu saja sudah menimbulkan rasa sakit jika disentuh walau sedikit.
"Yang mana yang mimpi?" gumam Adelyn. "Atau mungkinkah, aku sudah mati?" Adelyn menoleh kembali melihat ke sekitarnya. Mencoba memegang semua benda yang bisa ia raih. "Mungkinkah ini surga?"
Tok... Tok...
Prang! Boneka porselen yang sedang Adelyn pegang seketika pecah. Ia merasa kaget ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.
Kriet. Pintu tersebutpun terbuka secara perlahan.
"Nona, apa anda sudah terbangun?"
Muncul seorang maid atau pelayan wanita datang menghampiri Adelyn.
"Ka— kau siapa?" tanya Adelyn pelan.
"Hhi~ Nona kenapa? Kenapa bertanya saya siapa?"
"Heuh?" Adelyn terlihat heran. Dirinya memang tidak mengenal siapa pelayan wanita tersebut.
"Oh astaga, bonekanya pecah?" Pelayan tersebut tampak tergesa-gesa menghampiri Adelyn. Membuat Adelyn mundur beberapa langkah secara spontan.
"Nona apa ada yang terluka?" Tanya pelayan tersebut panik.
"Tidak... Aku baik-baik saja."
"Syukurlah. Sebaiknya Nona segera mandi dan bersiap. Tuan dan Nyonya sudah menunggu Nona di meja makan. Biar saya yang membersihkan boneka porselennya."
"Bersiap? Tuan dan Nyonya? Apa maksudmu?"
"Seragam Nona sudah saya siapkan. Sudah saya letakan di ruang ganti. Jadi bisa langsung Nona pakai."
"Seragam?"
"Nona sebaiknya anda segera bersiap."
Adelyn tidak lagi bertanya. Ini semua terlalu aneh untuk disebut sebagai surga.
***
Sebuah seragam dengan kemeja merah dan rok kotak-kotak di dominasi dengan warna yang persis pohon natal. Merah dan hijau.
Adelyn baru saja selesai mandi lalu masuk ke sebuah ruangan disebelahnya. Ruangan yang disebut ruang ganti oleh pelayan tersebut.
"Apa ini? Apa ini seragam yang tadi dia bilang?" Adelyn menatap seragam yang tengah tergantung di pintu lemari pakaian.
Tanpa pikir panjang Adelyn segera memakai seragam tersebut.
Tidak hanya itu. Layaknya siswa yang akan berangkat sekolah. Adelyn menyisir rambutnya dan memberikan sedikit sentuhan make-up pada wajahnya.
***
Sebuah tangga menuju sebuah lantai dasar terlihat ketika Adelyn keluar dari dalam kamarnya. Lagi-lagi Adelyn terperangah melihat kemegahan rumah tersebut.
Ternyata rumah ini lebih besar dari yang Adelyn bayangkan. Adelyn semula berpikir dia hanya akan hidup dalam ruang kamar yang berukuran kurang lebih 25 meter persegi. Tapi ternyata tidak. Di luar ruang kamar tersebut ternyata ada sebuah rumah mewah nan megah.
"Youraa." terdengar suara seorang pria memanggil nama kecil Adelyn.
Adelyn menoleh. Seketika itu Adelyn terkejut bukan kepalang. Pasalnya sudah lama Adelyn tidak melihat sosok tinggi berwibawa itu.
"A-ayah?!" sahut Adelyn pelan.
"Hahaha, selamat pagi Sayang. Sedang apa berdiri di sini?"
"A-ayah ada di-di sini?" Adelyn terlihat seperti orang yang kebingungan.
"Apa maksudmu, ha? Tentu saja Ayah ada di sini?"
Adelyn mengernyit. Adelyn terheran. Ia bingung karena memikirkan bagaimana ada sosok ayahnya di dalam 'surga'nya.
"Apa ayah sudah mati?"
"Haish. Kamu ini bicara apa? Sudah jangan melantur. Cepat sarapan! Ibumu sudah menunggu di meja makan."
"I-ibu?"
Di kehidupan sebelumnya. Ibu Adelyn termasuk wanita yang 'sibuk'. Setelah bercerai dengan ayahnya. Ibunya Adelyn terlalu sibuk dengan kekasih-kekasih barunya. Adelyn tidak pernah diperhatikan.
Bahkan untuk makan sehari-hari saja, Adelyn harus bekerja paruh waktu.
Bersama dengan sang ayah, Adelyn menuruni anak tangga satu persatu. Sepanjang berjalan bersama, sang ayah terus merangkul bahu Adelyn dengan hangat.
Tibalah Adelyn dan sang ayah di ruang makan. Di mana di sana, sudah ada sang ibu yang menunggu kedatangan mereka.
"Kenapa lama sekali? Ayo lekas sarapan. Kalau tidak nanti kalian berdua bisa terlambat," ucap wanita separuh baya itu dengan lembut.
Deg! Lagi-lagi mata Adelyn terbelalak. Sosok wanita yang berada dihadapannya memang tidak lain merupakan sosok ibunya sendiri.
"I-ibu..." Lirih Adelyn.
Adelyn sesegera memeluk ibunya. "Ini benar ibu 'kan? Adel gak salah lihat 'kan?"
"Eh, Youra, kamu kenapa Nak? Kenapa tiba-tiba memeluk Ibu?"
"Adel kangen Ibu."
Kimi, ibu Adelyn mendelik melihat James suaminya. James hanya mengendikkan bahunya. James juga terlihat heran melihat sikap putrinya yang tiba-tiba saja berprilaku aneh.
"Sudah, jangan aneh. Ayo cepat habiskan sarapanmu. Lalu berangkat sekolah bersama Ayah," titah Kimi kepada Adelyn.
"Hum." Adelyn menganggukan kepalanya. Adelyn begitu bahagia. Sudah lama ia tidak merasakan kebahagiaan seperti ini.
Ada seorang ayah dan ada seorang ibu disampingnya.
"Tidak peduli ini surga atau mimpi. Asalkan bersama Ayah dan Ibu. Aku ingin tetap di sini," ucap Adelyn dalam hati.
***
Seusai sarapan, James segera mengantarkan Adelyn ke sekolahnya.
"Apa? Satu bulan sekali?" tanya Adelyn tidak percaya.
"Heuh? Kenapa kamu sangat terkejut Youra? Bukankah kamu sendiri yang minta untuk tinggal di asrama?"
"Ta-tapi?"
"Ayah akan menjemputmu bulan depan. Kamu jangan khawatir."
"Ah, baiklah."
James tersenyum melihat tingkah Adelyn yang pasrah tidak lagi melawan. Padahal biasanya, sang anak akan terus meracau kalau keinginannya tidak terpenuhi. Youra merupakan anak gadisnya yang sangat manja.
Adelyn menoleh melihat ke luar jendela.
"Heuh? Apa itu?" Adelyn terheran melihat sebuah layar tv besar yang terpampang di tepi jalan.
Sebuah adegan tidak biasa tampak jelas sedang dilakukan oleh kedua orang yang terekam di dalamnya. Ada dua orang yang sedang berada di dalam suatu arena sedang bertarung dengan menggunakan air dan api.
"Apa-apaan itu?"
Entah karena terlalu bahagia dengan keberadaan ayah dan ibunya, sehingga membuat Adelyn jadi tidak menyadari kondisi sekitarnya, sepanjang perjalanan ia ke sekolah.
Ada banyak sekali papan iklan yang menampilkan berbagai macam bentuk pertarungan antar element.
"Apa ini semacam game, atau sejenisnya?" tanya Adelyn dalam hati yang masih kebingungan dengan kondisi tidak lazim ini.
***
Tibalah Adelyn di depan sekolahnya. Kata sang ayah, ini merupakan semester ke dua di tahun pertama Adelyn bersekolah.
"Ayah tidak mau mengantarku?" Tanya Adelyn, setengah merengek.
"Ayah mau sekali, Youra. Tapi Ayah sepertinya sudah terlambat masuk kantor. Jadi kamu sebaiknya segera masuk kelas sendiri."
"Heuh?"
"Sampai bertemu akhir bulan, sayang."
"Tapi, Yah..."
James melakukan mobilnya. Ia segera melaju pergi meninggalkan Adelyn yang bergeming di depan pintu gerbang sekolahnya.
"Ba-bagaimana ini?"
SKYPIE AKADEMI
Setidaknya itulah yang bisa Adelyn baca, sesaat sebelum ia masuk ke dalam sekolahnya.
Sekolah ini tampak biasa saja dari luar. Tidak ada yang terlihat Istimwa. Namun, ketika masuk lebih dalam, Susana tidak wajar langsung tampak di depan mata.
"Lu-luas sekali?" Heran Adelyn.
Ada sebuah taman yang terbentang luas ditengah sekolah. Sebuah lapangan seperti lapangan sepak bola ada disebelahnya.
Nampak pilar-pilar besar menyangga setiap dinding sekolah ini yang tingginya mungkin sekitar 15 lantai atau lebih.
Ketika melihat ke sisi kiri, Adelyn melihat sebuah danau yang besar. Eh benarkah itu Danau? Tampaknya danau itu terlalu besar dan biru jika harus dikatakan sebagai sebuah Danau.
"Cantik seka..." Bugh. Tiba-tiba saja Adelyn terjatuh. Ada seseorang yang menabraknya hingga Adelyn tersungkur ke lantai.
"Aduh..." Adelyn meringis kesakitan sambil memegangi pinggulnya yang sakit karena terbentur lantai.
Adelyn mengusap-usap bagian yang terasa sakit, sambil kembali berdiri.
"Hei, sedang apa berdiri ditengah jalan? Sudah gila ya?" ucap seorang cowok yang tadi menabrak Adelyn. "Atau kau memang sengaja?"
"Maaf?" Adelyn menaikan satu alisnya ke atas. Ia merasa heran. "Kau yang menabrakku. Tapi kenapa kau yang sinis? Bukankah seharusnya kau meminta maaf atau semacamnya?"
Cowok itu mendesah sinis, "jangan mimpi!"
"A-apa kau bilang?"
Cowok dengan tatapan dingin itu hendak berlalu meninggalkan Adelyn. Namun, Adelyn dengan cepat menangkap lengan cowok tersebut.
Tapi bukan si cowok yang tertarik, melainkan justru Adelyn yang tertarik ke arah si cowok.
Hup! Dengan cepat, si cowok menarik tangan Adelyn ke arahnya.
Deg! Adelyn seketika tidak bisa melepaskan pandangan matanya, dari tatapan cowok tersebut yang menatapnya dengan dalam.
—To Be Continued—