Bab 7 Cerpen Estafet
Kami duduk bersama, menikmati kue yang dia siapkan tadi. Kue buatannya sangat enak seperti biasa. Dia menatapku dalam-dalam. Bola matanya indah. Kubalas pandangannya seakan aku mau bilang: kamu cantik pagi ini. Kuusap kepalanya yang dibalut jilbab panjang itu. Tawa kecilnya semakin menambah kecantikannya.
Pagi yang sempurna.
*****
Cerita pendek satu lembar kami rampung. Ternyata memang sulit membuat cerita walau hanya sependek ini. Aku tidak tahu mana pengenalan, konflik, dan resolusinya. Biarlah, jadi juara pun tidak akan membuatku lulus duluan dari sekolah.
Seberkas cahaya muncul dari matanya. Dalam embun pagi dia bersinar membelah setiap titik embun yang menghalangi indahnya pagi. Alangkah baiknya tuhan padaku. Sungguh amat baik tuhan padaku. Andai saja usiaku tak pernah habis, akan kuberikan semua hal untuknya. Sampai semua jasanya terbalaskan. Walau ini hanya perandaian. (Rendra)
Ibu. Dia selalu membuatku bangun pagi. Selalu menjadi paling letih di dunia ini. Aku sangat berdosa, ketika mengucap "Ah!" padanya. Semoga tuhan mengampuniku. Dan ibu, memaafkanku. Sungguh hanya aku yang sulit mengerti akan ibu. Dia selalu mendahulukanku, padahal dialah yang berkeringat. Dialah yang bercucuran pelu. Dialah yang mengorbankan banyak waktu. Demi aku si anak yatim. (Alvin)
Sial! Alvin menyimpulkan paragraf pertama Rendra sebagai kisah ibu. Aku tidak terlalu dekat dengan orangtuaku. Mereka selalu sibuk. Apalagi dia menyebut tokoh "Aku" sebagai anak yatim. Huuh ….
Waktu semakin berlalu. Aku tumbuh besar. Sedangkan ibu tumbuh lemah. Giliranku yang bekerja menghidupinya. Beginikah letihnya ibu saat bekerja? Aku merasa sangat berdosa mengingat apa yang dulu selalu kulakukan padanya. Membuatnya marah, sedih, menangis, dan hal buruk lainnya yang kulakukan pada ibu. Aku mulai teringat ayah yang dulu masih bisa menghidupi kami. Bahagia rasanya, rumah sederhana ini hangat akan penghuninya yang lengkap. Aku rindu masa itu. (Farlia)
Oh, aku tahu sekarang nama Lia yang sebenarnya. Kukira Lia adalah nama aslinya. Aku sedikit kecewa.
Sempat dulu kami pergi bertamasya bersama. Bermain menghabiskan waktu bersama. Tepat ketika usiaku tujuh tahun. Semuanya bahagia. Namun, malapetaka datang tiga hari sebelum aku resmi diterima di SMA. Ayah dibunuh oleh seorang teman yang iri karena jabatannya menanjak mulus di kantor. Sejak itu, kami bertahan hidup tanpa ayah. Mengandalkan uang tunjangan pun hanya bertahan beberapa saat. Selanjutnya, ibu memutuskan bekerja. (Doni)
Aku suka cerita lanjutan Doni. Mungkin kelanjutannya bisa kuceritakan tokoh aku membunuh teman ayahnya itu. Tapi sepertinya aku hanya akan mengacaukan cerita mereka. Baiklah, sederhana saja lanjutanku.
Hari ini, kuputuskan untuk menggantikan ibu sepenuhnya. Tidak boleh lagi dia bekerja. Ibu tak terima. Baginya bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi juga untuk menghibur hari-harinya yang sepi. Aku tak terima. Bagiku ibu adalah malaikat yang harus kulindungi setiap tetes keringat dan air matanya. Ibu mengerti. Dia menyerah padaku. Dengan catatan, aku tidak boleh meninggalkan rumah ini sampai kapan pun. Aku mengerti. (Randi)
-----
Selly dan teman-teman membacakan cerita estafetnya. Mereka membawakan cerita tentang masa remaja yang begitu singkat. Mengharukan. Mulai terpikir olehku, betapa sia-sianya masa remaja yang kujalani. Cerita itu benar. Seharusnya aku mengisi waktu yang sebentar ini dengan berbagai hal positif.
Kebanyakan regu menceritakan tentang masa remaja. Giliran kami membacakan cerita. Aku membenahi cara berpakaianku. Sejak kapan aku peduli dengan penampilan?
Rendra maju dengan percaya diri. Disusul kami, beriringan menaiki panggung kecil yang disediakan panitia. Doni terlihat gugup. Tangan dan kakinya bergetar. Aku menepuk pundaknya. Dia menoleh. Matanya pun bergetar. Entah takut padaku atau memang gugup.
Satu per satu dari kami membacakan cerita sesuai urutan penulisnya. Semuanya mendengarkan dengan saksama. Ada yang menangis. Bahkan sampai tersedu-sedu. Ada yang hanya sembap mata. Ada juga yang tersenyum haru. Ini kali pertama aku senang tulisanku didengar orang lain. Walaupun tidak semua tulisannya buatanku sendiri.
Cerita kami selesai. Semuanya bertepuk tangan. Meriah sekali.
-----