Bab 6 Dasar Berandalan!
Acara pembukaan segera dimulai. Upacara seperti biasanya. Aku pura-pura tertidur di tenda. Tidak ada yang berani membangunkanku. Aku tahu akan seperti itu, mungkin kalau tidak tidur mereka akan tetap memaksaku untuk ikut upacara pembukaan.
"Kak, bangun ..." Dia menepuk-nepuk kakiku. Aku tahu, ini Selly. Sejak kapan ada yang berani membangunkanku?
"Kak Randi ... ayo bangun!"
Aku mengalah, membuka mataku sedikit-sedikit, berusaha terlihat mengantuk.
"Ayo Kak kita ikut pembukaan. Kasihan regu laki-laki, kalau jumlah orangnya kurang kita bisa didiskualifikasi." Selly menyodorkan air minum padaku. Matanya memelas, mengemis rasa kasihan dariku.
Ah ayolah, aku tidak bisa menyakiti perempuan lugu seperti ini. Memang bukan laki-laki yang bisa melakukan itu. Menyakiti perempuan lemah, menyia-nyiaknnya, tak pantas dia disebut sebagai seorang laki-laki.
Aku mengangguk kesal tak banyak bicara. Sebenarnya upacara itu membosankan. Hanya upacara hari senin yang selalu kuikuti, selebihnya tidak ada. Dan aku … tidak bisa membuat Selly menunggu. Dia sudah sangat baik padaku selama ini. Rasanya, ada balas budi yang mesti kutunaikan padanya.
Keempat teman sereguku sudah menunggu di barisan. Aku mengganti bajuku dengan kaos jambore yang diberikan panitia. Terlihat sangat konyol untuk seseorang sepertiku. Bajunya penuh dengan sablon sponsor dan kata-kata yang menurut mereka bijak. Terkadang aku tak mengerti dengan pola pikir anak baik. Mereka melihat baju ini seakan-akan sangat keren.
"Wah wah, Kak Randi terlihat manis dengan baju itu ya, haha." Alma mengolok-olokku yang menggunakan baju aneh ini. Semuanya tertawa kecil melihatku.
"Diam!" Aku membentak mereka.
Semuanya diam seketika.
"Bercanda Kak," Alma pergi ke barisannya.
Upacara dimulai. Semuanya khidmat mendengarkan ketua penyelenggara yang sedang berbicara. Hanya aku yang tak peduli dengan pembicaraannya. Bosa sekali aku mendengar ucapan-ucapan seperti ini. Orang dewasa memang payah. Mereka selalu saja merasa paling hebat dengan berdiri di depan barisan dan menggurui kami.
"Kak Randi jadi ketua ya?" Seorang anak baik bicara padaku, menepuk pundakku dari belakang.
"Kamu saja, nanti regu kita bisa kacau kalau aku ketuanya." Ada-ada saja dia, mempercayakan berandalan menjadi ketua di tengah-tengah kerumunan anak baik.
"Tapi pamor Kakak punya pengaruh lho Kak. Tadi aku dengar beberapa siswa sekolah lain membicarakan Kakak."
Ya mungkin mereka dulunya geng sekolah sepertiku. Atau pernah bentrok denganku di luar.
"Aku tidak tertarik. Namamu siapa?" Aku menjawab singkat.
"Namaku Rendra Kak, yang ini Alvin, ini Doni, satu lagi Lia." Aku hampir saja tertawa. Mendengar nama terakhir yang dia ucapkan Lia, haha. Seperti perempuan, padahal wajahnya paling sangar di antara mereka berempat.
Aku mengangguk, sambil terus berusaha menahan tawa yang sejak tadi mendesak keluar.
-----
Kegiatan-kegiatan di sini sepertinya sangat mengasyikan untuk mereka. Tapi semuanya terasa menggelikan di mataku. Kukira jambore itu seperti belajar cara bertahan hidup di alam liar. Hal yang biasa kulakukan ketika masih bergabung di geng sekolah. Kegiatan wajib yang mesti kami jalani sebelum resmi diangkat menjadi anggota geng. Sepertinya lebih bermanfaat ospek kami daripada jambore ini.
Sekarang waktunya game. Peraturannya, setiap regu harus menyiapkan kertas satu lembar. Lalu setiap anggota regu bergantian menulis sebuah cerita. Setiap anggota hanya memiliki jatah satu paragraf saja. Dan cerita itu harus selesai. Setiap akhir paragraf diberi nama penulis di dalam tanda kurung.
Aku suka menulis, tapi jika menulis estafet seperti ini, aku belum pernah mencobanya. Lagi pula, mereka baru saja kenal denganku. Sulit menyamakan apa yang kita mau dengan orang-orang baru. Bisa saja aku mengatur mereka, dan mereka pasti akan setuju hanya karena takut padaku. Terpaksa.
Memiliki image sebagai mantan berandalan memang susah-susah gampang. Susahnya, aku sulit berbaur dengan orang lain. Mereka malah takut duluan sebelum mulai bercerita denganku. Dan gampangnya, tentu saja aku bisa menyuruh mereka kapan saja. Aku bisa seenaknya. Tapi, untungnya aku tidak tertarik untuk melakukan itu.
"Baiklah, kalian mulai duluan. Aku yang terakhir." Mereka mengangguk tak berani protes atau bertanya apa pun.
"Temanya mau apa Kak?" Rendra bicara padaku setelah saling pandang dengan teman-temannya.
"Kamu tanya yang lain juga dong. Anggotamu bukan aku saja." Semuanya menunduk saling tatap. Mereka masih takut padaku. Huhhh ….
-----