Bab 4 Hukuman
Masih banyak celotehan kepala sekolah yang sangat membosankan. Padahal ujung-ujungnya kami akan disuruh lari mengitari lapangan sepuluh putaran. Aku lebih suka hukuman itu dibanding haru mendengarkan ceramahnya.
Aku memutuskan untuk lari duluan. Celotehan yang sama setiap harinya tidak akan bisa mengubahku dengan cepat. Mendengarkannya malah menambah kekesalanku. Mereka berbicara seakan sudah tahu apa yang kami alami dalam kehidupan ini. Semua yang dia bicarakan terdengar mudah. Aku ingin sekali membawanya menginap di rumahku barang sehari dua hari. Agar dia merasakan bagaimana kehidupanku.
"Hey! Sedang apa kau?" Kepala sekolah membentakku. Menunjukku menggunakan tongkatnya.
"Bapak tidak bisa melihat ya? Saya sedang lari Pak. Dihukum seperti biasanya." Suaraku parau, tersengal karena lelah berlari mengitari lapangan. Padahal baru satu putaran.
"Hukuman hari ini bukan lari, Randi! Hari ini hukumannya push up seratus kali. Tapi itu untukmu saja." Dia berteriaktepat ke arahku. Semua pelanggar yang lain dibubarkan. Kukira semua pelanggar akan dihukum lari seperti biasanya. Atau mungkin dia memang berniat membuatku kesal.
Aku berhenti mengitari lapangan. Berjalan ke arah kepala sekolah. Di depanku ada seorang siswa kelas sebelas yang diseret pak Hamdan dari gerbang sekolah. Bajunya sama sepertiku, kusut, setelan berandalan.
"Kau keterlaluan, Anto. Seharusnya kau diskors selamanya." Pak Hamdan terlihat sangat emosi.
Tunggu! Anto!?
Aku bergegas menghampirinya. Merebut anak bengal itu dari Pak Hamdan. Kutarik lengan kanannya dengan paksa. Hampir saja dia tersungkur jatuh, ketika berusaha melepaskan cengkaramanku. Kutarik lagi kerah bajunya, membawanya ke tengah lapangan apel. Pak Hamdan berteriak padaku, aku tak peduli.
"Jadi kau Anto!?" Dia mengangguk. Wajahnya ketakutan melihatku.
Bruuk!
Tanpa banyak bicara, satu tendangan kaki kananku telak mendarat di pipi kirinya. Dia terpental. Sebelum dia bangun aku sudah mengambil ancang-ancang. Pukulanku sudah siap menghantamnya kapan saja. Sial! Pak Hamdan berlari menuju ke arahku. Melerai perkelahian kami.
Sekolah mendadak ramai. Semua siswa yang mendengar keributan di tengah lapangan berbondong-bondong keluar dari kelas, atau mengintip dari pintu dan jendela, penasaran dengan apa yang terjadi.
"Randi! Hentikan!" Pak Hamdan memegangiku. Anto ditatih beberapa adik kelasku, mungkin mereka teman sekelasnya.
"Anak kecil! Apakah Zaki mengajarimu memukul dengan kayu, hah?" Aku meneriakinya. Dia hanya mendengus sebal. Tak berani menjawab melihat senyum sinisku. Kakinya bergetar.
Aku berusaha melepaskan genggaman Pak Hamdan. Namun cengkramannya sangat kuat, sepertinya lebih baik aku mengalah saja.
"Sudah, Randi!” Pak Hamdan melepas cengkramannya. “Kalian, bawa Anto ke ruang BK." Teman-temannya menuruti perintah Pak Hamdan. Anto terlihat kesakitan memegangi pipinya yang kemerahan.
Selly? Mau apa dia?
Dari kejauhan, kulihat Selly menuju ke arahku. Langkahnya cepat, seperti sedang mengejar sesuatu. Tangannya membawa tas jinjing berwarna jingga. Sepertinya berat. Entah ada apa di dalamnya. Dia tersenyum padaku, sambil melambaikan tangannya.
"Pak, maaf, Kak Randi sudah ditunggu sama rombongan buat ikut jambore Klub Menulis." Langkah Pak Hamdan terhenti. Dia menatap Selly keheranan. Begitu juga denganku.
Sejak kapan aku ikut Klub Menulis?
"Dia sedang dalam hukuman, Selly," ucap Pak Hamdan lembut, tidak seperti padaku.
"Tapi kami harus bergegas Pak." Selly memaksa.
Pak Hamdan berpikir sejenak, membuat lengang sejenak suasana di antara kami.
"Hm, baiklah, tapi ingat, kau harus jaga sikap di sana, Randi! Kau mewakili sekolah di jambore kali ini." Aku mengangguk.
Aku masih tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi?
Pak Hamdan membiarkanku pergi. Selly membawaku keluar dari area sekolah. Mobil operasional sekolah sudah menunggu kami di depan gerbang. Ternyata yang mewakili sekolah terdiri dari lima orang perempuan dan lima orang laki-laki terhitung denganku.
"Sel, aku belum menyiapkan apa-apa coba. Buat apa juga berandalan ikut jambore mewakili sekolah?" Ucapku ketus sambil membuang muka.
"Kak, sebenarnya peserta yang kelima itu temanku. Tapi dia berhalangan tanpa kabar. Soal perlengkapan, semuanya sudah disiapkan pihak sekolah. Jadi Kak Randi tinggal berangkat saja." Seperti biasanya, dia selalu berbicara dengan lembut. Itu cukup membuatku malu berkata kasar padanya.
"Terus, kenapa harus aku yang menggantikannya Sel?" Aku bertanya, menyelidik. Tak masuk akal seorang berandalan sepertiku mewakili sekolah di acara yang sangat penting ini.
"Tadinya sih belum kepikiran siapa-siapa Kak. Tapi pas lihat Kak Randi sedang dihukum, saya mengajukan Kakak."
Aku malas bertanya kelanjutannya. Seperti: kenapa harus aku? Atau, kenapa guru pembimbingnya mengizinkanku ikut? Aku terlalu malas menanyakannya. Yang terpenting bagiku, di sana aku tidak boleh cari gara-gara saja. Itu sudah lebih dari cukup.
Kami berdua masuk ke dalam mobil. Menyusul semuanya yang sudah duluan mengambil tempat duduk. Sopir menyuruh memasukan semua barang bawaan kami ke bagasi.
Kukira aku akan duduk sendirian, Selly duduk menemani di sebelahku. Aku merasa sedikit risih. Begitu juga dia. Tapi mau bagaimana lagi, kursi mobil semuanya sudah diisi. Selly menyekat tempat duduk kami dengan tas jinjingnya. Untung saja masih ada ada barang untuk menyekat.
-----
“Tadi kenapa Kak?” Selly mulai bertanya.
“Ah tidak. Aku hanya penasaran dengan anak bengal yang kau sebut Anti itu.” Jawabku datar.
“Anto mungkin?” Selly mengerutkan dahinya.
“Ah iya, Anto. Kukira dia perempuan, berkelahi menggunakan senjata.”
“Sudahlah Kak, mereka memang tidak akan ada kapoknya. Lebih baik kita mengalah. karena tidak berarti orang yang mengalah itu kalah. Justru dialah pemenangnya.” Selly menasihatiku. Aku mengangguk.
Memang benar apa yang dia katakan.
Kata-kata seperti itu sering sekali kudengar. Apalagi ketika sekolah dasar, guru-guruku mengajarkan agar kita tak berkelahi. Katanya mengalah itu lebih baik. Mengalah untuk menang. Tapi aku tidak setuju. Bagaimana mungkin seseorang yang kalah menjadi pemenang?
Aku tidak yakin seseorang yang mengalah dapat merasakan esensi kepuasan ketika mengalahkan orang yang mengganggu kita. Itu sama sekali kebohongan belaka menurutku. Entah kenapa seorang guru mengajarkan murid-muridnya untuk berbohong. Itu yang kuyakini sejak dulu.
“Saya tahu, setiap orang pasti memiliki caranya masing-masing untuk menyelesaikan masalah mereka. Tapi untuk jalan kekerasan, kurasa itu tidak akan menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang baru lagi.” Sambung Selly.
Aku hanya mengangguk. Sesekali menatap mukanya. Biarlah dia berbicara, aku tidak peduli.
-----