Bab 3 Para Pelanggar
Aku ingin sedikit bercerita. Kau harus tahu kenanganku semasa SMA. Tentang orang-orang yang telah mengubahku menjadi seperti ini. Lembar demi lembar album sekolah mengingatkanku tentangnya. Album tahunan selalu menjadi buku pertama yang kubuka setiap kali aku masuk ke perpustakaan kecil pribadiku.
Berdebu. Padahal kami sering membersihkannya. Atau kalau tidak sempat, kami menggunakan jasa pembersih online. Ketika sampai di rak buku koleksiku, aku selalu mengawasinya. Semua buku yang ada di rak sudah kutata rapi. Dan hanya aku yang tahu bagaimana menyusun buku-bukunya.
Dan dia juga…
Dia yang paling tahu tentang bagaimana aku menata koleksi bukuku.
*****
Jam delapan pagi.
Aku masih mengendarai motorku. Menyusuri jalan yang biasanya kulalui menuju sekolah. Membosankan. Meninggalkan kamar yang berantakan di wisma pelajar, tempat tinggalku di kota ini. Kota yang tak akan pernah kuberitahukan padamu namanya, yakini saja kalau kota ini benar-benar ada.
Entah apa yang membuatku sangat membenci sekolah. Bukan masalah pelajarannya. Atau persaingan untuk mendapatkan nilainya. Untuk mendapatkan nilai, mudah sekali. Aku tinggal mengintimidasi beberapa temanku di kelas untuk mengerjakan semua tugas-tugasku. Kujamin dia tak akan pernah melawan. Tapi bukan itu masalahnya. Semua anak berandalan di sekolah mana pun pasti pernah merasakan apa yang sedang kurasakan saat ini. Kebencian pada sekolah yang amat memuncak, dan tak tahu apa sebab yang membuat kita seperti itu. Membingungkan memang. Dan aku tak pernah berniat untuk memahaminya lebih dalam.
Beberapa siswa yang menggunakan motor disekitarku melaju dengan sangat cepatnya. Aku tahu, mereka pasti takut dihukum karena terlambat. Ya, mungkin hanya aku yang terbiasa dihukum karena kesiangan. Tapi, menurutku hukuman adalah bentuk perhatian dan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya. Bahkan aku akan sangat kesal ketika mereka tidak menghukumku saat melanggar aturan sekolah. Itu lebih sakit daripada tamparan kesiswaan.
Seperti dugaanku, semua siswa yang telat tidak bisa masuk begitu saja. Mereka harus menunggu sampai apel pagi selesai. Menunggu di depan gerbang sekolah sambil berdiri. Guru BK dan kesiswaan menanyai kami satu persatu. Ada beberapa yang dibolehkan masuk, mereka siswa teladan. Alasannya karena tidak akan ikut belajar hari ini, ada lomba yang harus mereka ikuti. Betapa membosankannya hidup mereka. Penuh dengan tuntutan.
"Sepertinya hanya kau yang tidak perlu Bapak tanyai alasan kenapa kau kesiangan, Randi." Pak Hamdan, guru kesiswaan menghampiriku. Berbicara dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kapan kau akan berubah? Kau tinggal memiliki waktu satu semester lagi di sini." Sambungnya.
"Aku tidak tahu Pak." Mendengar jawabanku, dia mengangkat bahunya dan menghela napas panjang.
"Baiklah, semuanya kembali padamu. Namun Bapak bangga, kudengar kau sudah keluar dari geng sekolah." Aku menjawab dengan menganggukan kepala. Kalimat itu mengingatkanku untuk membalas dendam pada salah satu anggotanya.
Apel pagi selesai. Barisan para pelanggar digiring masuk ke lapangan apel. Aku berjalan paling depan. Pak Hamdan yang menyuruhku memimpin mereka. Agak menggelikan sebenarnya, seperti sedang memimpin segerombolan sampah sekolah. Dan aku menjadi sampahnya yang terburuk.
Ini sama sekali bukan kebanggaan.
Hanya ajang untuk membuatku malu. Aku tahu.
Barisan siswa per kelas dibubarkan. Lapangan lengang sebentar, hanya tersisa kami para pelanggar dan kepala sekolah yang turun dari mimbar upacara membawa tongkat di tangan kanannya.
"Kalian ini, Indonesia sudah tidak membutuhkan tikus lagi. Sudah banyak. Berdasi pula tikus zaman sekarang. Indonesia sekarang lebih membutuhkan orang-orang yang patuh pada peraturan, dan yang paling utama, disiplin."
“Bukannya disiplin itu kata ganti untuk patuh peraturan, Pak?” Sahut seorang anak kelas satu di sebelahku. Dia polos sekali, sepertinya dia anak baik.
“Diam kau!” Tukas kepala sekolah dengan wajah kikuk. Kami menahan tawa.
-----