Bab 2 Ruang UKS
Dia hanya bergeming, membuang wajah, tak berani menatapku. Anak OSIS yang dia hajar sudah diamankan tim PMR yang berjaga. Anehnya kepala sekolah tak sedikit pun terlihat berniat untuk sekadar melerai kami. Aku sempat menatap matanya, dia mengangguk seperti mengizinkanku menghabisi anak kurang ajar ini. Dengan begini aku lebih bebas, aku suka cara kepala sekolah membiarkanku menghajar Ardan.
"Jika petugas OSIS tidak mau kau patuhi, terpaksa aku yang akan menghajarmu!" Aku berbalik dengan tangan yang masih memegangi kerah baju Ardan. Menggiringnya seperti membawa hewan peliharaan. Semuanya menatapiku. Apa yang mereka pikirkan, aku tidak peduli sama sekali. Aku bahkan tidak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau salah di mata mereka.
Dakk!!
Sebuah pukulan benda keras tepat mengenai punggungku.
Seketika semuanya terasa samar, begitu pun dengan kesadaranku yang perlahan memudar.
"Seorang sampah tetap saja sampah!"
Suara ini… Zaki!
-----
Ini, ruang UKS. Aku benar-benar pingsan rupanya. Ya, sakitnya masih terasa sampai sekarang. Seseorang tadi itu, sepertinya benar, yang memukulku tadi adalah Zaki, aku tahu dari suaranya. Dia ketua geng sekolah. Dulu aku pernah menjadi anggotanya. Masa lalu yang memalukan.
"Sudah bangun ya Kak." Dia pasti anggota PMR yang mengobatiku.
"Ah, iya terima kasih."
Hey, sejak kapan aku berterima kasih!?
"Eh, anu, kalau mau Kakak bisa tidur saja di sini. Saya bisa menemani Kakak kalau boleh." Gadis ini sangat lugu dan manis. Dari lambang di lengan kanannya, dia pasti anak kelas sebelas.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Lagi pula kau pasti masih ada kelas kan?" Lenganku meraba rasa sakit di punggung yang terkena pukulan tadi.
"Se-sebenarnya, ini sudah jam dua sore Kak. Jadi kelas sebelas sudah pulang."
"Lalu, Ardan dan Zaki bagaimana!?" Aku terbangun dari kasur ini. Tak sadar wajahku terlalu dekat dengannya. Wajahnya memerah. Dia membuang muka.
"Eh, Kak Ardan diskors seminggu. Tapi Kak, Zaki siapa ya?"
"Yang memukulku dari belakang. Bukannya itu Zaki?"
"Oh, setahu saya, yang memukul Kakak itu Anto, kelas sebelas IPS 2. Dia juga kena skors seminggu."
Ternyata bukan Zaki ya…
Aku tidak habis pikir, kapan mereka akan sadar bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan. Ya, walaupun aku pernah menjadi bagian dari mereka. Aku yakin, Anto itu, dia pasti anggota baru geng sekolah kami. Sepertinya aku memang masih belum pantas bertingkah seperti tadi. Berandalan tetaplah berandalan. Sampah tetaplah sampah. Benar yang dia katakan.
"Kak?"
"Oh, iya, maaf aku melamun tadi. Maaf juga sudah merepotkanmu. Kau boleh pulang, aku bisa sendiri di sini. Tapi sebelumnya, beri tahu aku tentang Anto. Akan kucari anak yang namanya Anto itu." Aku tetap saja tak bisa berbicara lembut, bahkan pada gadis lugu seperti dia.
"Jangan Kak, saya mohon jangan berurusan sama geng sekolah lagi…" Dia serius, wajahnya khas gadis lugu yang memohon.
"Kau belum tahu kalau aku juga mantan anggota geng sekolah ya?"
Dia duduk di kursi sebelah ranjang tempatku berbaring.
"Saya tahu Kak, karena itu jangan lagi berurusan dengan mereka." Dia menundukan kepalanya.
Entah kenapa dia sangat mengkhawatirkanku. Ini kali pertama aku melihat langsung seseorang merisaukanku. Tapi aku juga tidak kenal siapa dia. Untuk seukuran anak SMA, dia terlihat sangat manis dan polos. Sempat terbesit di pikiranku, untuk apa orang sebaik ini menolongku? Seorang berandalan, yang bahkan guru saja tidak mau berurusan denganku.
"Oh iya, namamu? Namaku Randi." Aku bertanya tanpa senyuman sedikitpun.
"Sa-saya Selly Kak." Dia masih selalu gugup berbicara padaku. Mungkin wajahku terlalu seram.
Jam dinding menunjukkan pukul tiga lebih. Hari mulai senja, matahari hendak berganti rembulan, meredup perlahan. Menyisakan semburat cahaya jingga di langit yang tak lagi biru, dan awan yang tak lagi putih. Burung-burung berlomba mencari tempat berlindung hingga matahari kembali terbit esok hari, kini mereka berganti dengan kelelawar yang malah mulai keluar, terbang bebas.
Selly, sepertinya dia juga harus segera pulang. Aku mengajaknya pulang, anggap saja sebagai rasa terima kasih atas kebaikannya mengobati lukaku.
Dan, terima kasih telah mengkhawatirkanku.
Sepertinya aku akan membalaskan dendamku pada Anto itu, besok atau lusa.
***