Bab 13 Api Unggun
Panitia mempersilakanku menaiki panggung kecil didepan tumpukan kayu bakar. Artinya aku membelakangi sebagian peserta jambore.
"Izinkan saya menyampaikan jawaban saya." Semuanya memandangku takzim. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri.
"Kesimpulan dari semua petunjuk yang kita temukan tidak terpaku pada petunjuk ketiga saja. Sebenarnya, tanpa menggunakan petunjuk pun kita sudah tahu jawabannya. Hanya saja, ada yang mengerti dan menyadarinya. Ada pula yang mendapatkan tanpa menyadarinya.
"Hal tak terlihat itu adalah perasaan kita. Bagaimana kita bekerja sama, saling mendukung sebagai tim, dan menahan ego masing-masing. Kita menemukan semua itu sejak dari petunjuk pertama. Itu pun jika di petunjuk kedua kalian tidak memilih berpencar. Karena hal yang tak terlihat itu tidak akan kita temukan jika kita terpecah belah.
"Permainan terakhir itu hanya menguji sejauh mana kita akan menggunakan perasaan dalam mengambil keputusan. Sadar atau tidak, banyak sekali keputusan yang harus kita ambil dalam permainan terakhir. Dan tidak semua hal bisa dipecahkan dengan logika. Termasuk keputusan kita akan berpencar atau tidak. Itu saja yang dapat saya sampaikan. Terimakasih."
Semuanya bertepuk tangan. Ketika aku hendak memasuki barisanku, ketua penyelenggara menarik tanganku. Menahanku, memaksa agar berdiri disampingnya. Tersenyum bangga sambil menepuk pundakku.
-----
Wuzz! Api unggun telah dinyalakan. Kami menyanyikan beberapa lagu khas perkemahan. Menari-nari kecil, tertawa riang mengitari api unggun. Panas sekali ketika aku mencoba medekatinya.
Jawabanku benar. Bahkan Kak Heru -ketua penyelenggara- berkata bahwa jawabanku melebihi ekspektasinya. Kukira kata-kataku tadi berantakan. Namun yang terjadi, semuanya malah berteriak memujiku. Pertama kalinya, ketika aku berdiri di depan membuat orang lain bangga. Biasanya aku berdiri di depan karena dihukum. Kali ini berbeda, dan ternyata rasanya menyenangkan.
Semua regu bergantian maju ke depan, menyanyikan yel-yel masing-masing. Kami mendapat giliran pertama. Aku tidak hafal lirik yel-yel reguku. Rendra menyuruhku berpura-pura menyanyi saja, mengikuti gerakannya. Toh, mereka pun tidak akan tahu mana suaraku dan apa lirik yel-yel reguku.
Sambil bertepuk tangan, kami mulai menyanyikan yel-yel.
Oh... Alam liar
Regu matahari datang nan riang
Membawa kabar
Regu matahari jadi pemenang
Rendra dan Lia menjadi sangat hiper ketika menyanyikannya. Kukira panjang, ternyata sangat sederhana. Aku juga baru tahu nama reguku ‘matahari’. Kukira nama regu menggunakan nama sekolah saja. Maklum, aku tidak pernah mengikuti acara seperti ini sebelumnya.
Sebagian menertawakan penampilan kami. Mungkin karena yel-yelnya yang terlalu pendek. Atau mungkin karena aku yang terlihat tidak hafal liriknya. Ah ini sangat memalukan. Terlebih gerakannya yang membuatku geli. Sambil menari-nari, kulitku merinding menahan malu. Aku serius!
-----
Tepat pukul satu pagi. Waktunya tidur walau sebentar. Kami menuju tenda. Tapi, aku masuk ke tenda bukan untuk tidur. Melainkan untuk mengambil alas yang biasa kugunakan untuk tiduran di luar. Mungkin yang lain memang hendak langsung tidur di tenda. Mereka sepertinya kelelahan. Rangkaian acara di perkemahan ini memang terbilang padat.
Hari dan malam yang melelahkan. Namun sangat menyenangkan. Sepulang dari sini, mungkin aku kan menjadi anak baik yang berandal. Hahaha. Aku masih menatap awan cerah hitam sendirian. Ah, entahlah, bagaimana bisa aku menyebut awan hitam sebagai awan cerah. Aku masih bingung soal itu.
Biasanya Selly menghampiriku. Tapi malam ini mungkin dia kelelahan.
Eh! Kenapa juga aku mengharapkan Selly menemaniku sekarang. Sepertinya sekarang aku lebih nyaman berada di kerumunan orang-orang daripada menyendiri. Baiklah. Malam ini aku akan tidur di tenda saja. Dengan sekumpulan anak baik yang membuatku betah di perkemahan ini.
-----