Bab 14 Perkelahian
Hana, nama putri kecilku yang paling manis. Usianya baru empat tahun. Dia yang paling bawel di rumah ini. Hahaha, aku selalu tertawa setiap kali dia bicara. Lucu sekali. Menggemaskan. Cara Hana berbicara mirip sekali dengan ibunya. Ada lesung pipi yang menghiasi senyum putriku. Sama persis dengan lesung pipi ibunya.
Dia menghampiri kami di meja makan. Tinggal dia yang belum mandi. Namun, tetap terlihat lucu bagi kami. Jalannya sempoyongan, sepertinya dia masih mengantuk.
"Hana mau ke mana?" Rival mencandainya.
"Makan lah Kak." Hana meraih kursi di sebelahku. Menaikinya dengan susah payah. Dia tidak pernah mau dibantu. Aku dan istriku tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu. Dengan bersusah payah, Hana berusaha menaiki kursinya sendirian. Aku hendak membantunya, tapi dia sendiri yang melarangku.
"Cuci muka dulu dong sayang. Masa langsung makan?" Aku mengelus rambutnya.
"Abi juga belum cuci muka kan?" Ucapnya ringan, matanya masih belum melek sempurna. Rival dan Istriku tertawa.
"Eh, sudah dong. Abi sudah mandi tadi subuh. Hana nih baru bangun." Aku mengacak-acak rambutnya gemas.
"Ah Abi bohong. Kok Hana gak tahu?" Dia menepis tanganku dari kepalanya.
"Kan kamu tidur sayang." Istriku menyela, dia memberikan sepiring nasi goreng dengan telur dan sosis sebagai lauknya.
"Oh iya ya Mi." Hana mengambil piringnya. Dia sudah tidak disuapi sejak usia tiga tahun.
"Sama Umi aja, percaya." Aku mendengus pura-pura kesal. Rival menertawakan kami.
“Soalnya Abi suka bohong, iya kan Mi?” ucap Hana sambil beralih melirik ibunya.
Istriku juga, dia malah mengangguk mengiyakan. Aku kalah telak. Ada-ada saja hiburan pagi ini.
*****
Seminggu berlalu.
Rasanya baru kemarin aku mengikuti jambore klub menulis dengan adik-adik kelasku. Sekarang kami berteman baik. Mereka sering menyemangatiku untuk lebih rajin masuk sekolah. Karena sebentar lagi aku ujian kelulusan. Mereka menuntutku untuk lebih giat belajar.
Pertama kalinya bagiku, ketika aku pulang ke sekolah disambut dengan meriah. Kabar bahwa kami menjadi juara di jambore tahun ini tersebar dengan cepat. Kami menaiki mimbar upacara. Kepala sekolah mengalungkan medali pada kami semua. Medali kehormatan atas menangnya regu putra.
Pak Hamdan menepuk-nepuk pundakku. Tersenyum bangga. Aku menyalaminya.
Regu putri juga. Bedanya, mereka hanya meraih juara ketiga. Perolehan emasnya hanya satu, dari tenda paling rapi. Dan dua medali perak dari lomba berbalas pantun dan lomba menggambar komik mini.
Regu kami mendapatkan tiga medali emas dari lomba menulis estafet, pemecah petunjuk tercepat, dan yel-yel tergokil. Dan satu medali perak dari lomba tenda paling rapi. Kukira tenda tidak dilombakan. Semuanya tidak ada yang tahu kalau tenda menjadi salah satu lomba di jambore kali ini.
Peraihan ini membawa regu kami menjadi juara umum. Dan aku mendapat satu medali emas kategori mandiri dari jawabanku di malam terakhir sebelum api unggun dinyalakan. Hahaha, semuanya tidak percaya ketika kuceritakan di ruang guru. Itu wajar.
Dan Selly, dia meraih predikat Miss Writer of The Year. Karya tulis ilmiahnya menjadi yang terbaik, dalam tulisan maupun presentasinya. Dia membahas tentang dunia kepenulisan sejak ditemukannya huruf pertama hingga perkembangan bahasa dan sastra. Tidak ada cacat sama sekali dalam penguasaan materinya. Dia hafal detail tanggal, tahun, tempat dan nama-nama penemunya. Mengesankan! Dan guru-guru lebih percaya dengan prestasi Selly, ketimbang aku. Semuanya tertawa. Termasuk aku. Mereka bukan tidak percaya, hanya saja heran berandalan sepertiku bisa menjadi juara di jambore bergengsi tahun ini.
"Sel, besok libur panjang. Bagaimana kalau kita main ke..."
"Ke danau di pinggir kota yuk Kak!" Selly memotong, antusias dengan ajakanku. Aku mengangguk tersenyum padanya. Padahal tadinya aku ingin mengajaknya ke pameran buku di sudut kota.
Tapi tidak apa-apa. Semoga saja besok cerah. Rencananya, aku juga mau mengajak Rendra, Lia, Dila, dan Alma. Aku punya sedikit teman yang baik sekarang. Dan yang terpenting, mereka teman yang bisa menuntunku ke jalan yang benar.
-----
Aku masih penasaran. Siapa yang memberiku syal biru saat perkemahan. Sedikit pun aku tidak tahu seseorang yang mungkin memberikannya. Kalau Selly saja bukan, lantas siapa? Tapi, kenapa juga aku harus mengharapkan Selly yang memberikannya? Syal ini indah sekali. Rajutannya rapi, nyaman sekali ketika kugunakan melilit leherku. Hangat.
Aku menghabiskan waktu istirahatku di atap sekolah. Sampai sekarang pun aku masih suka menyendiri. Merenung dan menyesali semua masa laluku. Kalau saja waktu bisa diulang, aku ingin menjadi anak baik seperti yang lain. Membuat sekolah bangga dengan prestasiku, naik ke mimbar upacara sebagai siswa berprestasi. Bukannya malah berkelahi dan membuat keonaran.
“’Si Merah’ menjadi anak baik rupanya. Hahaha!”
Zaki dan kawan-kawannya tiba-tiba datang dari belakang. Aku tidak menanggapi ejekannya. Biarlah mereka mau mengatakan apa saja. Aku tidak peduli. Sudah lelah aku melayani mereka. Dendam untuk menghajar Anto pun sudah hilang semenjak aku mengenal teman-teman baruku.
“Kau masih mau bergabung dengan kami kan, Randi?” Tanya Zaki sambil memberiku sebotol minuman rasa jeruk. Aku mengambilnya. Zaki duduk di sebelahku.
“Kau bercanda. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan geng sekolah.” Jawabku ketus sambil meminum minuman yang dia berikan.
“Kalau begitu, mau tidak mau, kau harus menjalani upacara keluar geng. Kau tahu bukan?” Ujarnya dengan senyum yang sangat sinis.
Aku harus melawan semua anggota geng yang dia bawa. Singkatnya, aku akan dihajar mereka semua. Aku tidak takut sama sekali. Ini memang syarat yang harus kujalani. Aku tidak akan lari walau hanya sejengkal.
“Berapa banyak yang kau bawa?”
“Lihat, ada sepuluh orang anak baru yang kubawa untuk menghajarmu.” Zaki menunjuk mereka semua.
“Oh, baiklah, maju kalian semua!” Teriakku pada mereka.
Tak ada satu pun yang berani maju duluan. Mereka terlihat gentar padaku yang tak sedikit pun terlihat gentar dengan jumlahnya yang sangat banyak. Aku berlari, lantas melompat, menendang mereka satu per satu. Tidak ada pukulan yang mengenaiku. Semuanya kutepis, lantas kubalas dengan pukulan telak di pipi dan perut mereka.
Semuanya tersungkur. Aku tidak terluka sama sekali.
“Masih ada lagi, Zaki?”
Zaki menatapku kesal. Dia sendiri tidak berani turun tangan. Sambil menahan marah, dia pergi tanpa peduli sedikit pun dengan anggotanya. Kubangunkan mereka semua. Aku meminta maaf. Mereka tersenyum padaku.
“Kalau hanya ini yang bisa kalian lakukan, bagaimana kalian mau menjaga sekolah?”
Mereka bingung dengan pertanyaanku.
“Maksud Kak…”
“Maksudku, geng sekolah ini dibentuk untuk menjaga sekolah dari ancaman geng sekolah lain. Kalian yang harus menghadapinya. Tidak mungkin kalau hanya mengandalkan anak OSIS, yang bahkan mereka tidak berani berkelahi.”
Semuanya mengangguk mendengarkanku.
“Lalu, kenapa Kak Randi keluar?”
Randi tak menjawab pertanyaan mereka. Dia diam, selayaknya seorang lelaki diam.
-----