Bab 12 Desau Angin
Hari ini kami berencana pergi piknik. Si kecil mendesakku dari seminggu yang lalu. Tapi dia juga yang belum bangun sampai sekarang. Aku menyuruh si sulung untuk membangunkannya. Aku dan istriku sudah siap sejak tadi. Sebelum subuhan aku sudah mandi. Istriku juga. Kasihan si kecil kalau hari ini aku masih sibuk dengan pekerjaanku.
Sangat sulit memang mencari hari libur untukku. Walaupun tanggal merah, aku benar-benar tak bisa meninggalkan pekerjaanku. Orang-orang sangat membutuhkan aku. Tapi, keluargaku juga memerlukanku. Kami jarang sekali menghabiskan waktu bersama untuk sekadar liburan.
Si sulung sebenarnya tidak libur hari ini. Dia sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jadi seharusnya dia libur hari jumat. Tapi piknik mengalahkan semangatnya belajar, haha. Biarlah, sesekali. Toh sangat sulit mencari waktu libur yang sama di antara kami. Aku dan dia mengalah demi si kecil.
*****
Kayu bakar sudah terkumpul. Meskipun tidak sebanyak yang kuharapkan. Setidaknya untuk memasak malam ini saja, persediaan kayu bakar kami sudah cukup.
Semua regu peserta jambore membentuk lingkaran, mengitari lapangan yang digunakan untuk menyalakan api unggun. Mereka tak sabar menantikannya. Termasuk aku. Apakah api unggunnya akan seseru yang pernah kualami di geng sekolah? Aku penasaran.
Dulu, api unggun akan dinyalakan ketika kami mengospek anggota baru. Mereka berkelahi sepuasnya sampai ada salah satu yang mengaku kalah. Dan yang kalah harus mencari lawan lain sampai dia menang. Buruk sekali kehidupanku di masa itu. Walaupun sejak dulu aku tidak pernah membenarkan kegiatan itu, aku hanya sibuk membaca novel dan tiduran di bawah langit terbuka.
Salah seorang panitia meminta kami diam. Area perkemahan tiba-tiba lengang seketika. Hanya terdengar desau angin yang menabrak dedaunan di hutan, juga suara dari hewan dan serangga malam. Kami mendengarkan sambutannya dengan saksama. Dia ketua penyelenggara jambore tahun ini. Sudah kuduga.
"Ada satu hal yang kami minta untuk menyalakan api unggun ini." Dia menunjuk ke arah tumpukan kayu bakar. Semua peserta menoleh melihatnya bertanya-tanya.
"Satu hal itu adalah benda tak terlihat yang kalian temukan pada petunjuk terakhir di permainan teka-teki." Dia melanjutkan.
Kami saling tatap, keheranan. Tak ada satu pun hal atau benda yang kami temukan pada petunjuk terakhir. Seketika lapangan menjadi bising dengan bisikan-bisikan semua peserta yang kebingungan.
"Baiklah. Saya beri waktu sepuluh menit. Jika tak ada satu pun yang bisa menjawabnya. Acara api unggun akan saya batalkan." Dia menuruni panggung.
Lingkaran besar yang begitu rapinya, seketika terpisah menjadi beberapa lingkaran kecil. Semua regu berdiskusi dengan anggotanya masing-masing. Mereka terlihat panik.
Aku tidak mengerti dengan pikiran anak baik. Apakah benar atau salah, aku tidak tahu. Tapi sepertinya yang dimaksudkan benda tak terlihat itu, aku tahu jawabannya. Entah bagaimana cara mengatakannya. Yang pasti, hal itu memang tak bisa dilihat. Hanya bisa dirasakan.
"Bagaimana ini, waktunya tinggal tiga menit lagi!"
"Aku menyerah. Ini sangat sulit. Kukira petunjuk ketiga hanya menyuruh kita berkumpul mengitari api unggun."
Kepanikan terdengar dari semua regu. Mereka tak mengerti. Apakah jawabanku pun salah? Aku tidak tahu sebelum mencobanya.
"Kak, gimana ini?" Rendra menatapku panik.
"Mungkin Alvin tau jawabannya." Jawabku singkat. Alvin menggeleng. "Baiklah. Aku yang akan menjawabnya."
Semuanya menoleh padaku. Seakan-akan tak yakin dengan apa yang kukatakan.
-----