Bab 11 Syal Biru
Semuanya menganggap ini selesai. Mereka berjalan dengan santai menuju area perkemahan. Jalan yang kami lewati sangat indah, rindang dengan pepohonan yang tumbuh menjulang. Sepertinya pohon yang memagari jalan ini memang mendadak ditanam panitia.
Keindahan hutan ini… hampir saja aku tidak menyadarinya. Semua permainan ini membuatku harus terus fokus dengan segala kemungkinan yang ada di sekitar kami. Di jalan pulang, barulah aku menyadari kalau hutan ini indah sekali. Entahlah kalau mereka. Sadar atau tidak. Tapi sepertinya Alvin dan Rendra sudah baikan.
Aku masih memikirkan isi amplop terakhir ini. Menurut instruksi panitia, untuk mendapatkan benda yang dimaksud memerlukan tiga petunjuk. Sedangkan di petunjuk ke tiga, kami tidak membawa apa-apa.
Sudahlah, aku geli sendiri ketika sadar seorang berandalan sepertiku terbawa suasana asyiknya jambore. Dan, jujur aku merasa jambore ini memang mengasyikan. Terakhir kali aku merasakannya ketika masih di geng sekolah. Itu karena aku tidak pernah merasakan sulitnya ospek mereka. Aku menjadi anggota kebanggan dengan julukan ’Si Merah’ setelah berhasil mengalahkan ketua geng sekolah yang pertama, dan karena warna kulit wajahku putih kemerahan.
-----
Hari mulai gelap. Regu kami berhasil menjadi yang tercepat menyelesaikan permainan ini. Tepat pukul tujuh malam kami sudah sampai di tenda. Awalnya aku tidak percaya. Tapi itulah kenyataannya. Panitia memberikan waktu sampai jam sepuluh malam karena mereka merasa bahwa petunjuk yang disiapkan sudah dibuat sesulit mungkin.
Seorang dari tim panitia menghampiri tenda kami. Berbincang dengan Rendra. Seperti sedang wawancara saja. Aku berpura-pura menyiapkan tungku. Sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
"Aku tidak menyangka lho. Kukira petunjuk yang kubuat ini sudah sangat sulit untuk dipecahkan." Dia menepuk pundak Rendra, tersenyum bangga.
"Berkat teman-teman saya juga Kak. Walaupun kami sempat berbeda pendapat ketika memasuki hutan, tepat di pohon ke sepuluh."
Kakak panitia itu tersenyum, tertawa kecil. "Oh iya. Untung saja kalian tidak ke kanan. Di sana ada lumpur penghisap. Aku sudah berjaga-jaga di sana dengan beberapa panitia yang lain. Takutnya kalian malah memilih jalan yang salah. Lebih khawatir lagi jika kalian terpisah atau berpencar. Itu akan lebih menyulitkan kami menolong kalian yang terperangkap lumpur penghisap." Mendengar penjelasannya, dalam hatiku aku tersenyum puas. Instingku benar.
Kakak panitia itu bertanya kenapa kami memilih jalan yang berbelok ke kiri. Rendra menjelaskan karena mengikuti instingku. Memang, tak ada satu pun alasan logis yang membawa kami mengambil rute kiri.
"Hebat sekali. Padahal aku sudah memberi isyarat dengan menaruh tanda bintang di pojok kiri amplop itu. Samar memang. Tapi ada satu isyarat lagi. Aku menggunakan kalium, karena di tabel periodik letak kalium berada di paling kiri."
Rendra mengangkat kepalanya, menjawab dengan antusias. "Ya, yang itu kami menyadarinya saat di perjalanan Kak. Satu dari temanku menyadarinya ketika kami sudah memutuskan mengambil rute ke kiri."
“Padahal kalaupun kalian menyelesaikan teka-teki ini lebih lama dari regu lain pun, kalian akan tetap juara.” Ucapnya.
“Kenapa begitu Kak?” Rendra terperanjat kaget.
“Soalnya, teka-tekiku adalah yang paling sulit dan berbahaya. Yang mengawasi kalian saja sampai ada enam orang. Aku yang memintanya. Bukan untuk membahayakan, tapi aku tahu di regumu ada orang yang spesial.” Jawabnya. Aku tidak mengerti.
Obrolan mereka berlanjut dengan sangat mengasyikan. Terlihat bahwa dia memang sangat mengagumi kami. Kuharap Alvin mendengarkan obrolannya juga. Bayangkan kalau kami sampai mengikuti instingnya. Mungkin aku yang akan kerepotan menolong mereka.
Tak terasa, sudah pukul sembilan malam.
-----
Beberapa panitia menyiapkan kayu bakar. Jumlahnya sangat banyak. Sepertinya untuk menyalakan api unggun. Semua peserta pasti sudah menantikannya. Termasuk aku.
Selly memasak bubur malam ini. Alma dan Dila menyiapkan minuman jahe seperti biasanya. Aromanya sangat menggugah selera. Bubur buatan Selly selalu lezat. Maksudku, setiap masakan buatannya. Dia pandai memasak. Semua masakan dan minuman, dia yang mengaturnya. Termasuk minuman jahe yang dibuat Alma dan Dila, Selly juga yang memberi tahu cara membuatnya.
Aku menghabiskan waktuku menatap langit seperti biasa. Berbaring di atas alas kecil yang disediakan sekolah.
Lagi-lagi langit malam ini sangat indah. Dipenuhi bintang yang saling berkedipan. Bulan purnama terlihat sangat elok dengan cahayanya yang menyirami langit malam di perkemahan. Dikelilingi beberapa rasi bintang. Entah rasi bintang apa yang sedang kulihat, aku hanya mengenali rasi bintang berbentuk layang-layang saja.
Empat adik kelasku menunggu waktu api unggun di dalam tenda. Asyik sekali kedengarannya, mereka sedang bermain kartu uno. Permainan yang sedang populer di sekolahku. Mereka juga sempat mengajakku. Tapi aku lebih suka menyendiri, menatap langit malam dengan awan yang cerah.
Selly menghampiriku. Membawakan semangkuk bubur dan segelas minuman jahe hangat. Aku bangun berbagi alas kecil ini untuk duduk dengannya.
"Kamu gak makan bareng yang lain, Sel?" Sesuap bubur masuk ke dalam mulutku. Lezat seperti yang kubayangkan.
Selly menggeleng. "Selly lebih suka menyendiri kak."
"Tapi kan kita berdua sekarang." Aku menjawab spontan.
"Berarti Selly lebih suka keheningan Kak." Selly menyanggah alasan sebelumnya. Aku mengerti. Selly melanjutkan makannya.
Aku teringat sesuatu.
"Oh iya, syal ini, apa kamu yang memberikannya?" Aku menunjuk syal yang melingkari leherku.
Selly memegang syalku, merabanya. "Wah, bagus sekali Kak. Tapi sayangnya bukan aku."
Jadi? Bukan dari Selly!? Lantas siapa!?
"Kamu serius kan Sel?" Aku berusaha memastikan.
"Serius Kak. Lagi pula, ini syal rajutan. Syal yang biasa dijual bukan seperti ini," Selly memegangi syalku. "Dan Selly tidak bisa merajut."
Tidak mungkin jika syal ini datang sendiri. Aku tidak percaya hal-hal mistis.
Krak!
Aku mendengar sesuatu. Seperti ada yang sedang mengendap-endap di belakang.
"Hey! Siapa itu!?"
-----