Bab 10 Lia dan Amplop Kuning
Anak-anak masih belum bangun. Biarlah, ini masih pagi. Hari minggu pula. Setidaknya aku bisa menghabiskan waktu beberapa jam yang indah bersama istriku. Sudah lama rasanya aku tidak berbincang dan mencandainya. Dia selalu terlihat lucu dan menggemaskan dengan segala kemanjaannya. Aku tidak pernah merasa bosan menatap matanya yang indah.
Istriku ini mengerti betul tentang keharusannya tampil cantik di depan suami. Aku sama sekali tak pernah bosan melihatnya. Selalu terlihat imut setiap hari. Bahkan aku selalu melihatnya seperti seorang gadis perawan saking cantiknya.
*****
Kami menyusuri jalan setapak yang dipagari pohon-pohon setinggi dua meter di setiap sisinya. Jarak antara pohon satu ke pohon lainnya kira-kira sejauh dua meter. Bahkan selalu bertambah semakin dalam kami memasuki hutan.
Tepat di pohon kesepuluh, pagar pohon ini bercabang. Yang satu mengarah ke kiri. Sedangkan satunya lagi mengarah lurus ke depan. Butuh alasan yang kuat untuk mengambil keputusan jalan mana yang harus kami tempuh.
Alvin mengusulkan untuk terus mengambil jalan kanan. Alasannya sederhana, dia mengikuti instingnya. Doni dan Rendra mengatakan untuk belok ke kiri. Alasannya serupa, mengikuti insting dan firasat.
Aku tidak banyak bicara. Melihat mereka beradu argumen, aku tidak peduli. Lia mencoba menengahi, mengusulkan untuk membagi dua kelompok. Yang satu ke kiri, dan satunya lagi ke kanan. Aku menolak keras. Permainan ini harus diselesaikan secara beregu. Apa pun situasinya.
"Lihat!" Alvin menunjuk jam tangannya. "Ini sudah jam tiga sore lho. Daripada kita tidak sepaham, lebih baik kita berpencar saja. Seperti kata Lia." Alvin ngotot pada Rendra.
"Vin! Kita ini regu. Benar apa kata Kak Randi. Kita harus menyelesaikan permainan ini bersama. Apalagi kita berada di dalam hutan. Terlalu berbahaya jika kita berpencar!" Rendra menarik kerah baju Alvin. Menatapnya penuh amarah.
"Kau lebih percaya Kak Randi yang berandalan ketimbang aku, hah!?" Alvin menepis tangan Rendra yang menarik kerahnya.
Baam! Satu pukulanku mendarat di pipi Alvin. Dia tersungkur, badannya menabrak pohon di belakang.
"Jadi memang benar dari awal kau meremehkanku!? Anak baik sepertimu tidak punya dasar apa pun untuk bertahan hidup di hutan seperti ini kan?" Alvin menatapku bergetar. Ketakutan sambil memegangi pipinya.
"Aku mungkin tidak sepandai kalian. Tapi aku tahu cara hidup di alam liar. Seharusnya kau belajar dari berandalan. Bukan hanya bangku sekolah yang kau makan! Ini hanya permainan. Tidak perlu sampai kau merendahkanku!"
Lia membangunkan Alvin. Memapahnya berdiri. Wajahnya lebam hanya dengan satu pukulan. Lemah!
"Aku sangat meremehkan insting anak baik. Jadi, bagian insting aku yang ambil. Ikuti aku." Aku mengambil rute kiri. Semuanya menurutiku. Termasuk Alvin yang masih dipapah Lia.
"Kalium itu ada disebelah kiri tabel unsur periodik. Mungkin insting Kak Randi memang benar. Kita harus berjalan ke kiri." Doni bergumam pelan, membuka buku catatan kecil yang diisi materi semalam.
-----
Pohon kesembilan belas ada di depan mata kami. Lia mengitari pohon itu, mencari sesuatu yang mungkin menjadi petunjuk.
"Aku sudah bilang kan. Kita harus ke kanan tadi." Alvin tersenyum sinis.
"Diam! Ternyata kau memang bodoh masalah insting." Aku menunjuk ke arah dahan pohon sembilan belas paling atas. Di sana ada benda berwarna kuning. Terlihat samar, tapi sangat kontras dengan warna dahan pohon. Warnanya kuning cerah, sangat berbeda dengan dahan pohon yang berwarna kecoklatan.
Alvin menekuk wajahnya.
Pohon kesembilan belas ini lebih tinggi dari pohon yang lain. Harus dipanjat untuk mendapatkannya. Tanpa disuruh lagi, Lia mecoba memanjatnya. Dia memang cukup hiper ternyata. Baik, dan tidak mudah marah. Hanya wajahnya saja yang sangar.
"Lagi-lagi Lia yang pertama mendapatkannya, haha." Rendra tertawa bangga.
Lia melambai-lambaikan amplop berwarna kuning itu dari atas. Lantas melemparnya ke arahku. Hap. Amplop itu tepat jatuh di tanganku.
Aku membukanya. Rendra dan Doni mendekatiku. Dari atas, Lia melompat tepat dibelakangku. Membuat getaran dengan badannya yang besar. Sedangkan Alvin masih saja menahan gengsi. Tidak mau bergabung.
Ini yang terakhir sebelum pulang. Bersatulah. Bergembiralah. Pada saat terang yang hangat dinyalakan. Bergembiralah.
-----