Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Situasi Yang Mendebarkan

Sebuah mobil sedan hitam berhenti di sekitar gudang tua tak terpakai dan jauh dari keramaian. Dimas yang mengikuti mobil tersebut ikut menghentikan mobilnya tak jauh dari tempat kendaraan itu terparkir. Dari kejauhan nampak tiga orang pria turun dari dalam mobil disambut oleh rekan-rekan mereka yang lain. Hampir semua orang tersebut berpenampilan sangar, kekar seperti preman jalanan, tetapi lebih berkelas.

Orang-orang tersebut masuk ke dalam gudang tua itu, sementara dua orang penjaga lain berdiri di pintu luar sambil memegangi senjata api. Mereka memasang wajah garang. Sesekali mata mereka mengawasi setiap sudut yang mencurigakan dengan waspada.

Dimas dan Dara saling bertukar pandang. Keduanya lalu mengambil foto-foto para bandit tersebut dari dalam mobil untuk dijadikan alat bukti jika mereka membutuhkannya nanti.

"Apa lo bisa menebak mereka komplotan apa?" tanya Dimas pada Dara, masih mengamati kedua penjaga di depan gudang tua itu dengan penasaran.

Dara memandang foto-foto hasil jepretannya pada kamera ponselnya. "Masa begitu aja lo nggak tahu? Jelas mereka mafia senjata ilegal. Kelihatannya mereka baru selesai bikin kerja sama dengan Pak Haikal soal itu."

Dimas membuka sedikit jendela mobil agar bisa mendengar suara dari luar lebih jelas. Namun, tak ada kebisingan apapun yang tertangkap telinganya.

"Hei, lo jangan bikin masalah! Nanti kita ketahuan gimana?" Dara menepuk bahu Dimas agar cowok itu segera menutup jendela mobil.

Terlambat. Salah satu dari penjaga melihat ke arah mobil mereka dan berjalan mendekat untuk memastikan siapa pemilik mobil mencurigakan itu.

"Waduh, dia ke sini. Gawat! Kita kabur?" Dimas terlihat bingung.

"Jangan! Nanti mereka tahu kalo kita mata-matain mereka. Semua rencana penggrebekan kita bakal gagal total." Dara buru-buru mencegahnya.

Penjaga berambut gondrong dan brewokan itu semakin dekat. Dimas memutar otaknya untuk mengatasi situasi mencekam ini. Tiba-tiba ide jail muncul di kepalanya.

"Maaf Agen Alice. Gue minta lo jangan marah karena ini terdesak demi keselamatan kita," ujar Dimas yang membuat Dara mengernyit bingung.

Baru saja ia ingin bertanya, tetapi Dimas sudah menarik kepalanya mendekat dan mencium bibirnya. Dara mendelik kaget, lalu memukul bahu Dimas untuk melepaskan diri. Namun, cowok itu memeluknya begitu erat hingga membuatnya sesak napas. Saat itu, pria penjaga tadi datang mengintip dari balik kaca mobil dan menggedor pintunya dengan tak sabar.

"Hei, dasar mesum! Kalo mau pacaran jangan di sini!" hardik pria itu jengkel.

Dimas melepas ciumannya pada Dara, senyum lebar menghiasi wajahnya. Cepat-cepat, ia menurunkan kaca jendela mobil dan berkata, "Maaf, Om. Kirain tempat ini tempat sepi, ternyata ada orangnya.”

Dara pun ikut menoleh seraya meringis ke arah pria tersebut. Berharap rencana mesum Dimas berhasil mengelabuinya, walau dalam hati mengumpat habis-habisan.

"Pergi jangan di sini! Kalau mau buat mesum cari tempat lain saja!" Pria brewokan itu membentak kasar, membuat wajahnya semakin menyeramkan.

"Baik, Om. Maaf ya ...." Dimas menganggukkan kepalanya dengan sopan, lalu menyalakan mesin mobil bersiap untuk meninggalkan tempat itu.

Namun, rekan penjaga yang lain tiba-tiba memanggil teman-temannya untuk menyelidiki Dara dan Dimas. Aroma tidak beres tercium. Dimas melirik Dara yang terlihat panik.

"Kalian jangan pergi dulu," kata pria penjaga brewokan tadi begitu menerima kode dari rekannya untuk menahan mereka.

Dimas tak mengacuhkan ucapan pria itu dan langsung tancap gas. Ban mobil berdecit ketika Dimas membanting stir ke kanan, berbelok keluar pekarangan dari gudang tua ini.

"Hei, tangkap mereka!" seru salah seorang dari gerombolan para bandit itu. Mereka berlari kencang mengejar mobil Dimas.

Dimas menginjak pedal gas dalam-dalam agar kecepatan mobilnya bertambah. Salah satu dari para bandit itu terlihat mengeluarkan pistol.

"Oh, SHIT!" rutuk Dimas ketika tembakan mereka mengenai kaca spion kanan mobilnya. Mobil Dimas melaju kencang menyusuri gang.

"Belok kiri, Dim! CEPETAN!" teriak Dara.

Satu tembakan lagi mengenai kaca belakang mobil. Dimas dan Dara cepat-cepat menunduk agar tidak terkena peluru.

Dimas membelokan mobilnya ke arah gang sempit yang berada di depan. Satu tembakan kembali terdengar dan mengenai bagasi belakang mobil. Dara menoleh ke belakang, gerombolan bandit-bandit itu sudah agak jauh di belakang mereka, tapi Dimas tetap tak mengurangi kecepatannya untuk menjauh.

"Gue bener-bener harus minta naik gaji setelah ini," kata Dimas di sela-sela napasnya yang memburu. "Apa mereka masih ngejar kita?"

"Nggak. Mereka udah berhenti mengejar."

Gerombolan bandit tersebut akhirnya berhenti berlari karena sudah kehabisan tenaga. Dimas dan Dara pun serta-merta menarik napas lega.

"Dasar bandit-bandit sialan! Hampir aja—"

"Lo yang sialan!" Dara menggeplak kepala Dimas dengan kesal. Teringat kejadian ciuman sandiwara yang dilakukan cowok itu padanya. "Kesempatan banget lo, ya!"

Dimas mengusap-usap kepalanya yang terkena geplakan. "Ya, itu 'kan terpaksa. Lo kira gue mau apa cium bibir lo!"

Dara melengos. "Apa nggak bisa pake cara lain? Dasar lo nya aja yang mesum!"

"Lo sendiri juga nggak punya ide. Pake acara marah-marah lagi lo!" Dimas balas mengomel. "Mending lo kasih tau Pak Mathias sekarang soal pengintaian kita yang ketahuan. Pasti para bandit itu bakal bikin rencana baru."

Dara meraih ponselnya dengan cemberut. Masih kesal pada Dimas yang mencuri ciuman pertamanya. Padahal selama ini ia selalu menjaga bibirnya untuk diberikan pada orang yang tepat, misalnya Davin.

"Sialan lo!" umpat Dara sembari mengirim pesan pada atasannya tersebut tentang apa yang mereka alami sekarang.

"Ya deh, maaf. Gue panik saat itu. Lo tau sendiri kalo kita ketangkep bisa jadi daging rendang kita," ucap Dimas merasa tak enak hati.

Dara terdiam, wajahnya masih ditekuk. "Ayo, kita balik ke markas. Pak Mathias udah balas pesan gue.”

***

Davin memarkir Benzy ke dalam garasi begitu sampai di rumah Shelyn yang megah. Ia membukakan pintu mobil untuk Shelyn dan gadis itu pun keluar dari dalam. Dua orang pelayan muncul dari dalam rumah membawakan tas kuliah yang dibawa Shelyn dan yang satunya lagi berdiri menunggu perintah.

Shelyn melangkah masuk sambil menanyakan keberadaan papanya. Pelayan tersebut menjawab bahwa papanya baru saja keluar bersama Pak Mulya. Shelyn berbalik memandang Davin yang berjalan di belakangnya, lalu melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 5 sore. Dua jam lagi acara dinner-nya bersama Bara.

"Oh ya, aku mau mandi. Tolong kalian siapkan airnya, ya," perintah Shelyn pada pelayan itu.

Kedua pelayan paruh baya tersebut mengangguk dan segera pergi melaksanakan tugasnya.

"Vin. Temenin gue mandi, ya!" katanya yang membuat mata tajam Davin hendak keluar dari rongganya. Shelyn cekikikan melihat reaksi bodyguard-nya yang seperti itu. "Just kidding!"

Davin mengikuti langkah Shelyn sementara netranya mengamati setiap sudut ruangan. Ada banyak CCTV di mana-mana. Ia yakin pasti chip itu tersembunyi dalam rumah ini.

Shelyn masuk ke salah satu ruangan di lantai dua yang merupakan kamarnya. Davin menunggu di luar sambil memandang berkeliling, melihat semua perabotan mewah yang ada.

Pintu kamar tertutup. Shelyn pasti akan mandi berendam dalam jacuzzy dan otomatis menghabiskan waktu cukup lama di sana. Cowok itu segera berjalan mengitari ruangan, mencoba memeriksa keadaan. Sesekali matanya melirik ke arah CCTV yang menyala.

Davin turun ke lantai bawah dan bertanya pada pelayan di dapur, di manakah ruang pengawas CCTV rumah ini. Pelayan itu menjawab ada di ruangan sebelah perpustakaan di lantai tiga. Davin mengucapkan terima kasih dan melesat pergi ke lantai tiga, guna mencari ruangan yang dimaksud.

Sebuah Grand piano bertengger di tengah ruangan begitu Davin sampai. Terdapat banyak lukisan mahal yang terpajang di dinding. Beberapa barang antik tersusun rapi di dalam lemari kristal mewah yang berada di sana. Di sebelahnya, tergantung jam tua antik yang sangat besar.

Davin berjalan menyusuri lorong dan menemukan beberapa ruangan yang tertutup. Salah satu ruangan tersebut terdapat tulisan RUANG KERJA. DILARANG MASUK. Davin mencoba membuka pintu ruangan yang diduga adalah ruang kerja Haikal, tetapi terkunci.

Kemudian, ia kembali mencari ruang CCTV yang terletak paling ujung sebelah kanan dan bersebelahan dengan ruang perpustakaaan pribadi.

CCTV ROOM. STAFF ONLY

Tanpa ragu, ia langsung menyelinap masuk. Ada dua penjaga di sana. Davin menyapa mereka dengan ramah dan sopan.

"Hai! Perkenalkan saya Davin. Bodyguard Nona Shelyn. Maaf, mengganggu kalian berdua. Saya kemari cuma ingin melihat-lihat CCTV untuk keamanan Nona Shelyn."

Kedua penjaga tersebut mengangguk dan mempersilakan Davin untuk melihat. Mereka duduk santai di kursi kerjanya sambil memakan gorengan.

Davin langsung mengamati semua CCTV yang menyala dan menampilkan gambar di setiap ruangan yang terekam. Ada sebanyak 14 CCTV yang terpasang. Hanya ruangan kerja Haikal dan kamar pribadi yang tidak terpasang. Berarti di ruangan itu Haikal pasti menyembunyikan sesuatu. Ia juga curiga ketika melihat sebuah lukisan besar yang menutupi ruangan kosong di lantai satu. Ada sesuatu mencurigakan yang Davin yakini di dalam ruangan kosong tersebut.

"Baiklah, terima kasih. Saya harus kembali," kata Davin pada dua penjaga itu setelah semuanya dirasa cukup.

Ia menatap arlojinya yang menunjukan pukul setengah tujuh malam. Shelyn pasti sudah selesai mandi dan bersiap untuk acara makan malam. Cowok itu segera keluar dan turun ke lantai dua menuju kamar gadis itu. Davin berdiri di depan kamar yang tertutup dan tak berapa lama pintu terbuka. Shelyn keluar mengenakan dress pendek di atas lutut dengan motif bunga-bunga yang cantik. Rambut lurusnya yang panjang tergerai indah. Di atas kepalanya ia mengenakan headband senada dengan dress yang dipakainya saat ini.

Jantung Davin tiba-tiba berdetak cepat. Shelyn tampil begitu cantik. Ia sampai terpana beberapa saat melihatnya.

"Hai, Vin!" Shelyn tersenyum, membuyarkan lamunan Davin.

Davin tersentak. Lalu membuang pandang ke arah lain, tak kuat lama-lama menatap gadis itu. "Hmm ... iya, Nona," gumamnya kikuk.

"Oh, ya. Tolong pasangin kalung ini, dong!" Shelyn menunjukan sebuah kalung emas putih berliontin kunci pada Davin.

Gadis itu memutar tubuh seraya mengangkat rambutnya ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih. Jantung Davin kembali berdegup kencang.

Hei, Vin. Sadarlah! Lo lagi bertugas! Davin berteriak dalam hati.

Kalung itu pun terpasang. Shelyn berbalik dan wajahnya berada dekat sekali dengan wajah Davin. Aroma parfum gadis itu tercium begitu pekat pada indra penciuman Davin. Shelyn sendiri merasa terpukau melihat ketampanan bodyguard-nya yang saat ini hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahnya.

Alis tebal, hidung yang mancung, mata yang tajam dan selalu bersinar teduh kala menatapnya, bibir merah dan rahang yang tegas. Shelyn ingin sekali menyentuh wajah itu, tapi ia tahu itu tidak boleh.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Shelyn dan Davin segera memalingkan wajah mereka ke arah lain. Gadis itu dengan gugup mencari benda itu di dalam tas kecil yang digenggamnya.

"Ha-halo, Bar!" sapanya di telepon dengan suara serak. Ia berdeham beberapa kali guna menjernihkan suaranya.

"Shel, aku udah ada di depan nih ...."

"Oh, oke. Aku keluar sekarang, ya." Shelyn menutup teleponnya, melirik Davin sekilas, "Ayo, kita keluar. Bara udah jemput di depan."

Davin mengangguk, lantas mengikuti Shelyn di belakang.

Bara tersenyum semringah begitu melihat Shelyn muncul di ambang pintu. Cowok itu mengenakan setelan jas rapi.

"Hello, My Angel!" Ia menyapa dan langsung membukakan pintu mobil, mempersilakan Shelyn untuk masuk. Ekor matanya melirik Davin penasaran.

"Hei, Bar. Aku pengen ngajak seseorang malam ini. Ini bodyguard aku, namanya Davin. Nggak pa-pa kan aku ajak dia?" tanya Shelyn yang membuat Bara sedikit kecewa. Tapi, cowok itu segera mengangguk dan tersenyum tipis.

"Oh, oke. Nggak pa-pa kok," kata Bara, lalu melemparkan kunci mobilnya pada Davin. “Lo yang nyetir, ya!"

Davin menangkap kunci mobil tersebut. Shelyn dan Bara duduk di belakang, sementara Davin duduk di depan menjadi supir mereka.

"Kita makan di mana, Bar?" Shelyn bertanya.

Bara mengedipkan matanya seraya tersenyum kecil. "Ke restoran yang dulu sering jadi tempat nge-date kita."

"Oh, oke deh." Shelyn balas tersenyum. Tanpa sengaja, pandangannya dan Davin bertemu di balik kaca spion.

Bara mengatakan nama restoran tersebut pada Davin, lalu kembali berbicara pada Shelyn. Shelyn hanya diam mendengarkan, matanya sibuk mengawasi Davin, sementara Davin selalu mengelak saat pandangan mata mereka bertemu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel