7. Love or Not
Mobil berhenti di sebuah restoran mewah yang terletak di tengah pusat kota. Davin turun dan segera membukakan pintu mobil untuk Shelyn. Shelyn meraih tangan Davin dan berdiri hati-hati agar tidak oleng lagi seperti kejadian siang tadi. Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam restoran. Namun, Bara tiba-tiba menyuruh Davin untuk berhenti.
"Bisa tunggu di sini aja? Gue mau makan berdua aja bareng Shelyn," katanya, lalu menoleh pada Shelyn. "Nggak pa-pa kan, Shel kalo bodyguard kamu nunggu di luar?"
Shelyn menatap Davin sejenak, lantas mengangguk. "Oke ... nggak pa-pa. Kamu tunggu di luar ya, Vin."
Davin mengangguk sekilas dan berjalan mundur. Sedangkan, Bara dan Shelyn masuk ke dalam restoran. Mereka berdua duduk di dekat jendela.
Seorang pelayan berseragam mengantarkan menu pada mereka. Shelyn dan Bara memesan steak dan sebotol wine. Setelah mencatat pesanan, pelayan wanita itu pun segera pergi.
Shelyn menoleh ke jendela, memandang Davin yang sedang berdiri menyandar pada mobil sambil menengadah menatap langit malam. Ia jadi merasa bersalah karena pasti bodyguard-nya lapar belum makan sejak tadi.
Davin menurunkan kepalanya. Tak sengaja melihat Shelyn yang masih menperhatikannya. Cepat-cepat Davin memalingkan wajah karena merasa tidak sopan jika harus membalas tatapan gadis cantik itu.
"Kamu lihat apa, Shel?" Bara membuyarkan lamunan Shelyn.
"Nggak pa-pa, Bar ...." Shelyn menggeleng pelan.
"Oh ya, kenapa kamu tiba-tiba pakai bodyguard?" tanya Bara penasaran.
Shelyn tersenyum tipis. "Pengen aja. Soalnya banyak yang ganggu aku dan ternyata punya bodyguard menyenangkan juga."
"Aku bisa kok jaga kamu kalo kamu mau."
"Tapi kamu nggak bisa jaga aku 24 jam," sahut Shelyn.
"Ya udah, kita nikah aja biar aku bisa jagain kamu 24 jam nonstop," kelakar Bara.
Mereka berdua tertawa. Shelyn menyukai Bara karena dia adalah partner ngobrol yang baik. Mereka selalu mengobrol tentang apa saja jika bersama. Pertemuannya dengan Bara sebenarnya membuat Shelyn merasa gembira. Namun entah kenapa semenjak Davin datang, perhatiannya jadi teralihkan. Ia merasa begitu tertarik pada bodyguard tampannya itu.
Seorang pelayan muncul membawakan pesanan. Bara membantu mengiris-iris daging steak Shelyn sebelum gadis itu memakannya. Kebiasaan yang selalu dilakukan Bara padanya saat bersama.
"Thanks!" Shelyn tersenyum, menoleh lagi ke luar jendela dan melihat Davin masih berdiri di sana.
"Udah berapa lama, ya kita nggak ke sini? Tempatnya nggak berubah." Bara mengamati sekeliling ruangan, bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.
Dulu saat mereka masih SMA, keduanya memang sering ke tempat ini. Makanan-makanannya enak. Bara dan Shelyn memang sama-sama menyukai kuliner. Biasanya mereka akan mencoba semua restoran baru yang belum pernah mereka kunjungi. Namun, restoran inilah yang menjadi favorit keduanya.
"Iya, masih seperti dulu, ya," angguk Shelyn. "Aku nggak pernah ke sini lagi selain sama kamu, Bar."
"Oh ya?" Bara tampak kaget. "Jadi ini bener-bener restoran milik kita berdua, ya."
Shelyn tertawa kecil, "Iya. Ini restoran untuk kita berdua."
Davin mengamati Shelyn dan Bara. Ada sekelumit rasa iri dalam dirinya. Anak-anak konglomerat yang bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. Tidak seperti dirinya yang merupakan yatim piatu.
Davin selama ini diasuh oleh pamannya yang sangat baik. Namun naas, pamannya meninggal 8 tahun lalu. Jadi, Davin harus membiayai sendiri sekolahnya dan sekolah keponakan-keponakannya yang berjumlah tiga orang sepeninggal pamannya. Bibi Davin hanya membuka usaha kecil-kecilan di depan rumah. Mimpinya untuk menjadi seorang pilot pun terpaksa ia kubur dalam-dalam.
Davin menjadi agen intelijen sebenarnya secara tak sengaja saat sedang mencari lowongan pekerjaan paruh waktu di internet, bahwa masuk sekolah intelijen gratis dan mendapatkan gaji. Davin pun mencoba melamar dengan perjuangan yang begitu besar. Walau menjadi agen rahasia bukan impiannya, tapi ia merasa nyaman dengan profesinya saat ini.
"Abis makan kita ke mana, Shel?" Bara menatap Shelyn lekat-lekat.
Shelyn yang sedang memperhatikan Davin di luar, berpaling menatap Bara sambil meneguk wine-nya sedikit, "Nggak tahu. Terserah kamu aja, aku sebenernya pengin pulang soalnya banyak tugas."
Bara bergumam kecewa, "Yah, padahal aku masih pengen jalan sama kamu. Kita udah lama nggak ketemu. Ya udah, kalo kamu mau pulang nggak pa-pa deh.”
"Kita bisa jalan lain kali kok."
"Hari minggu gimana? Kita nonton?" Bara membulatkan matanya yang agak sipit.
Shelyn mengangguk, "Oke ...."
Selesai makan, keduanya segera berjalan keluar restoran menuju mobil untuk pulang. Shelyn agak tidak enak pada Bara karena sudah berbohong soal mengerjakan tugas. Ia hanya merasa kasihan pada Davin yang akan menunggu lama tanpa makan apa-apa.
Mobil melaju pelan meninggalkan pelataran parkir restoran.
"Kita ke mana sekarang?" tanya Davin.
"Kita pulang," jawab Shelyn seraya menatapnya di kaca spion, kemudian menoleh pada Bara yang sedang duduk menyandar di sebelahnya. "Maaf ya, Bar ... aku nggak bisa lama-lama."
"It's okay! Yang penting hari minggu ini kamu harus janji jalan sama aku, ya."
"Iya ... janji," sahut Shelyn.
Tak berapa lama, mereka pun sampai. Davin menghentikan mobilnya di halaman rumah. Bara keluar lebih dulu dan membantu Shelyn turun dari mobil saat Davin baru saja ingin melakukan hal yang sama.
"Thanks!" Shelyn tersenyum pada Bara. "Mau mampir dulu?"
Bara menggeleng. "Nggak usah. Kamu juga mau kerjain tugas,” tolaknya, lantas masuk kembali ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. "Aku pulang dulu, Shel. Sampai ketemu lagi di hari minggu!"
Shelyn mengangguk sambil memberi kode dengan membulatkan jari telunjuk dan jempolnya pada Bara. Mobil melaju meninggalkan halaman rumah dan menghilang di balik pintu gerbang yang tertutup secara otomatis.
Shelyn berbalik menghadap Davin yang berdiri tak jauh dari tempatnya. "Kamu pasti lapar, 'kan? Mau makan?"
Davin terdiam mendengar pertanyaan itu. Lalu, menggelengkan kepala. "Tidak usah perdulikan saya, Nona. Saya bisa makan nanti. Sekarang saya masih kenyang."
Namun, cacing-cacing di perut Davin rupanya tampak tak tahu malu, yang tiba-tiba saja berbunyi nyaring dan membuat Shelyn tergelak mendengarnya. Ia menarik tangan Davin, mengajak cowok itu masuk ke dalam rumah dengan cepat.
"Tolong siapkan makanan yang enak untuk bodyguard-ku, ya!" titah Shelyn pada pelayan saat berada di dapur.
"Baik, Nona!" Pelayan-pelayan tersebut segera bergegas memasak makanan yang diperintahkan Shelyn pada mereka.
Gadis itu menyuruh Davin untuk duduk manis di meja makan dan melotot marah ketika Davin bangkit berdiri merasa tidak enak.
"Kamu belum makan apa-apa dari tadi siang. Sekarang kamu harus makan! Aku nggak mau kamu nanti sakit dan nggak bisa jagain aku!" sergahnya lantang.
Davin duduk diam di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutnya sudah keroncongan. Shelyn duduk di kursi sebelahnya, matanya yang bulat terus mengawasinya agar ia tidak kabur ke mana-mana.
Tak berapa lama, sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi dan irisan sosis terhidang di atas meja. Davin memandang nasi goreng tersebut dengan penuh minat.
"Ayo, makan!" Shelyn memberi perintah pada Davin yang masih tampak ragu-ragu.
Davin meliriknya, lalu menyendokkan sesuap nasi goreng itu ke dalam mulutnya dengan malu-malu.
"Dihabiskan, ya! Jangan ada sisa!" Ia mendelik sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya. "Aku mau ke kamar dulu. Sampai ketemu besok!"
Shelyn berjalan santai menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Setelah kepergiannya, Davin dengan lahap menghabiskan nasi gorengnya dalam waktu sekejap. Benar-benar lezat dan kalau bisa ia ingin sekali nambah sepiring lagi, tapi itu hal yang tak mungkin dilakukannya.
Davin bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Banyak pelayan yang berlalu-lalang di dalam rumah ini. Ia ingin sekali berjalan menuju ruang kosong di ujung lorong yang ia lihat di CCTV tadi, mencari tahu ada apa di sana. Tapi, ini bukanlah waktu yang tepat.
Davin berjalan keluar mengitari halaman rumah dan duduk di sebuah kursi panjang dekat taman, di mana Shelyn dan ayahnya duduk menunggunya di sini pagi tadi. Ia memandang berkeliling, melihat-lihat betapa indahnya pekarangan rumah ini di malam hari. Terdapat lampu-lampu taman dan lampu-lampu kecil warna-warni yang menghiasi setiap sudut. Di ujung taman ada sebuah kolam ikan besar dan beberapa patung kecil yang berdiri kokoh.
Davin tertegun saat pandangannya membentur sosok Shelyn yang sedang berdiri di atas balkon kamarnya sedang mengenakan piyama warna merah polos. Rambut gadis itu tergerai melambai-lambai tertiup angin malam yang berembus. Shelyn menengadah menatap bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Dilihat dari sudut mana pun, Shelyn memang cantik sekali. Davin memperhatikannya dengan terpana, berharap tidak akan terpikat oleh pesona gadis itu.
Shelyn tiba-tiba menoleh ke arahnya dan tampak kaget karena ada Davin di bawah yang juga sedang memandang ke arahnya. Gadis itu tersenyum malu-malu. Lalu, berbalik menuju kamarnya lagi, meninggalkan Davin yang masih terkesima di tempat duduknya.
???