Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Pengintaian

Mulya Hidayat membuka dua buah koper di atas meja yang berisikan senapan laras panjang dan sebuah pistol laras pendek. Haikal menatap kedua buah senjata itu, lalu mengambil salah satunya. Ia bangkit berdiri, mencoba menembak seekor burung yang melintas di udara dengan 1 kali tembakan.

"DOORRR!"

Burung pertama terkapar di tanah terkena tembakan itu. Semua orang bertepuk tangan. Lalu, Haikal mencoba lagi dengan menggunakan senapan laras panjang dan menembak seekor tupai yang berada pada pohon berjarak 50 meter dari tempatnya berdiri. Setelah berhasil membidik dengan tepat, ia langsung menembak tupai tersebut.

DOORRRRR!

Suara tembakan terdengar bersamaan dengan jatuhnya tupai tadi ke tanah. Haikal meletakan senapan itu ke atas meja, membuka penutup telinga yang dipakainya dan duduk kembali di atas sofa. Mulya segera membereskan kedua senjata api tersebut ke dalam kopernya.

"Bagaimana? Apa sangat memuaskan senjata kami?" tanya seorang pria berperawakan besar dengan rambut gondrong sebahu, berkacamata dan berkumis lebat. Namanya Roni. Seorang mafia senjata ilegal. Pria inilah yang ditemui Mulya dalam mobil semalam, menawarkan senjata api buatannya.

Haikal mengusap-usap dagunya sembari memandangi kedua senjata api yang sudah rapi diletakan dalam koper. Ia merasa puas setelah mencobanya. Senjata itu cukup bagus untuk dipakai berperang.

"Jika bapak mau membantu kami mengekspor senjata-senjata ini, kami akan menambahkan dua kali lipat fee untuk bapak," kata Roni dengan santai. Kedua kakinya yang memakai sepatu pantofel hitam berkilat disilangkan. Kedua asistennya mengambil dua buah koper lain, yang di dalamnya berisi uang dolar.

Haikal mengalihkan atensinya pada Mulya sejenak, lalu kembali menatap pria itu. "Ke mana kalian akan mengekspor senjata-senjata ini?"

"Ke negara-negara konflik. Afghanistan, Suriah dan Irak. Mereka sedang membutuhkan banyak senjata api dan bersedia membeli dengan harga 3 kali lipat," sahut Roni.

"Saya tidak bisa menjamin. Ini adalah perdagangan ilegal. Sangat beresiko untuk saya," kata Haikal sembari menyesap kopi hitamnya.

Roni menyuruh asistennya membuka 2 buah koper berisi uang dolar tadi, lalu tersenyum."Apakah ini cukup untuk mengganti semua resikonya, Pak? Jumlahnya ada 500 ribu dolar. Jika bapak mengizinkan, saya ingin melakukan ekspor sekarang juga."

Haikal berpikir sejenak. Matanya tak lepas dari uang-uang dolar di hadapannya. Pemandangan yang tentu saja menggiurkan hatinya. Lalu, ia mengangguk pada Mulya yang berdiri di sampingnya. Mulya serta-merta mengambil kedua koper berisi uang itu dari asisten Roni dan menyimpannya.

"Baiklah. Saya akan mengaturnya untuk Anda," Kata Haikal, tersenyum tipis. "Saya harap nama saya tetap bersih jika terjadi sesuatu pada senjata kalian. Saya hanya membantu memuluskan perdagangannya saja."

Roni menyandar pada kursinya, kedua alisnya bertautan. "Saya dengar bapak sering melakukan transaksi seperti ini, jika memang saya tidak salah dengar ...."

Haikal terkekeh di sofanya, tahu maksud perkataan pria di hadapannya ini. "Jika Anda tidak ingin menuruti syarat yang saya ajukan, saya tidak memaksa. Karena saya tidak ingin melakukan sesuatu yang merugikan saya di kemudian hari."

Roni langsung mencondongkan tubuh dan mengangguk, "Baiklah, kita deal. Kapan saya bisa segera mengirim senjata-senjata ini dengan aman? Saya ingin secepatnya."

Haikal melirik Mulya yang sedang menghubungi seseorang di ponselnya. Pembicaraan itu hanya memakan waktu kurang dari semenit. Setelah itu, Mulya membisikkan sesuatu pada Haikal yang membuat paras Menteri itu berubah senang.

"Besok malam pukul tujuh, bawalah senjata-senjata kalian ke dermaga di dekat hunian nelayan. Saya akan beritahu alamatnya. Nelayan di sana akan membantu kalian membawa semua senjata kalian ke perairan China, dan akan ada kapal pengangkut di sana yang nanti membantu kalian mengekspor senjata-senjata ini," jelas Haikal, menyesap kembali kopi hitamnya yang masih tersisa.

Roni menganggukan kepala. Senyuman lebar tersungging bibirnya. "Terima kasih, Pak Menteri. Saya senang bisa bekerja sama dengan bapak. Semoga rencana kita berhasil!"

Haikal ikut tersenyum. "Yeah, senang rasanya bisa membantu."

Mereka kembali menyesap kopi masing-masing. Saat ini mereka sedang berada di area halaman belakang rumah Haikal yang sangat luas. Di sana terdapat gazebo besar yang selalu dipakai Haikal untuk menyambut tamu-tamu pentingnya ketika berkunjung.

Selain itu, Haikal sebenarnya diam-diam memiliki ruangan bawah tanah yang selalu dirahasiakannya dari siapapun, termasuk dari putrinya sendiri, yaitu Shelyn. Hanya dirinya dan Mulya saja yang mengetahui ruangan bawah tanah tersebut. Haikal merahasiakan tempat itu lantaran banyak terdapat benda-benda yang harus ia sembunyikan dari putri kesayangannya. Benda-benda yang didapatkannya dari hasil melobi atau melakukan hal gelap seperti sekarang ini.

Tanpa siapa pun yang menyadari, ada Dimas dan Dara diam-diam mengawasi rumah Haikal di dalam mobil minibus mereka. Sudah satu jam keduanya menunggu. Namun, belum ada pergerakan mencurigakan dari dalam rumah itu. Mereka harus bersabar lantaran tidak bisa masuk ke dalam.

"Agen Neo kapan pulang ke rumah itu, sih? Kalo dia ada di sana 'kan kita nggak susah capek-capek nunggu kayak begini," keluh Dara sambil menyobek-nyobek sebuah kertas tisu yang ada di dasbor mobil.

"Lo nungguin Neo karena soal tugas, atau khawatir dia sama Tuan Putri itu?" sahut Dimas dengan nada mengejek.

"Apaan sih lo? Ngawur aja. Ya jelas karena tugas lah," sergah Dara tak terima.

Tiba-tiba, ada pesan masuk dari Davin pada ponsel Dimas. Cowok itu pun langsung membukanya.

Davin:

Apa udah ada pergerakan? Sori, gue belum bisa pulang karena masih nunggu putrinya di kelas. Bete jg lama-lama ...

Dimas:

Bete gimana? Tadi gue liat lo menang banyak bisa meluk-meluk si cantik itu ... enak ya, gue jadi iri sama lo.

Davin:

Dasar otak mesum! ?

Dimas:

Semoga lo kuat iman, ya. Awas nanti kebablasan .. gak yakin gue sama lo ... Hahaha

Davin:

?

Dara mengintip percakapan mereka dan mencubit Dimas dengan gemas, "Kenapa sih lo suka ngeledekin Neo?"

"Sakit, ih! Maen cubit-cubit aja!" Dimas mengusap-usap bahunya yang terkena cubitan dengan kesal.

Pintu gerbang rumah Haikal terbuka, sebuah mobil hitam dengan plat nomor yang sama dengan dilihat mereka semalam, keluar dari dalam.

Dimas pun segera menjalankan mobilnya, menyusul kendaraan itu di belakang sementara Dara menelepon pak Mathias untuk mengabari bahwa mereka sedang menguntit kendaraan beroda empat tersebut.

***

Davin berdiri menyandar di pinggir tembok ruang kelas yang dimasuki Shelyn saat ini. Ia baru saja berkirim pesan dengan Dimas dan rasanya menyebalkan karena Dimas malah meledeknya alih-alih memberi informasi mengenai rencana pengintaian mereka.

"Hai!" sapa seorang cewek yang membuat Davin menoleh dan memasukan kembali ponselnya ke dalam saku.

"Ya?"

"Boleh kenal kamu siapa?" tanya gadis itu sambil tersipu malu.

Davin memandangnya dan menjawab datar, "Oh, saya adalah bodyguard Nona Shelyn."

"Boleh minta no hp-nya nggak? Oh ya, nama kamu siapa?" tanya gadis itu seketika. Beberapa teman di belakangnya cekikikan. "Nama gue Fika ...."

Davin tersenyum tipis. "Davin! Tapi, maaf untuk nomor handphone itu sangat rahasia, jadi saya nggak bisa berikan."

Gadis bernama Fika itu mengerang kecewa. "Kok nggak bisa, sih?"

Davin diam saja dan memusatkan atensinya pada hal lain. Dia tidak ingin terlalu ramah dengan orang-orang yang tak dikenalnya karena sedang menjalankan tugas.

"Kok diem, sih?" Fika bertanya lagi.

Pintu kelas terbuka, semua orang yang berada di dalam menghambur keluar, termasuk Shelyn. Gadis itu kaget melihat ada seorang gadis sedang mendekati bodyguard-nya tersebut.

"Ada apa, ya?" Shelyn cepat-cepat menghampiri Davin dan menggandengnya. Matanya yang bulat melirik Fika dengan jutek.

Paras Fika berubah masam. "Nggak ada apa-apa, kok. Cuma pengen kenal aja sama bodyguard-nya. Masa nggak boleh?"

"Gak boleh! Ini bodyguard gue,” tukas Shelyn galak. Entah kenapa, merasa kesal jika ada yang dekat-dekat dengan Davin.

Fika mendengkus sinis. "Cuma bodyguard 'kan, bukan pacar?” Kemudian, gadis itu melambaikan tangan pada Davin seraya tersenyum. "Bye, Davin!"

"Idih, ganjen banget sih tuh cewek,” gerutu Shelyn saat Fika menjauh bersama teman-temannya.

Davin tersenyum kecil mendengar ocehan Shelyn. Gadis itu heran melihatnya tersenyum.

"Kenapa?"

"Nggak ada apa-apa, kok. Ayo, Nona kita pulang!" ajak Davin yang sudah tak sabar ingin pulang ke rumah Shelyn untuk memata-matai Haikal di sana.

Keduanya jalan beriringan menuju pelataran parkir di sisi barat gedung. Saat Davin ingin membuka pintu mobil untuk Shelyn, ekor matanya menangkap sosok dua orang gadis belia sedang berdiri tak jauh dari mereka, hendak melempar telur ke arah Shelyn.

Spontan Davin merangkul gadis itu dengan kedua tangan dan memutar tubuhnya agar telur-telur itu tidak mengenai Shelyn.

Krak... krak... krakkkk...

Telur-telur itu pecah mengenai jas hitam Davin yang menutupi tubuh Shelyn dari serangan. Shelyn tersentak kaget, tak menyangka ia akan mendapat serangan yang sama dari kedua gadis tempo hari itu.

Kedua gadis berseragam SMP tersebut nampak kecewa karena tidak berhasil mengenai sasaran. Mereka akhirnya kabur meninggalkan kampus ini sebelum berhasil dikejar oleh Shelyn dan Davin.

"Kamu nggak papa, Nona?" tanya Davin pada Shelyn saat kedua gadis tadi sudah pergi.

Shelyn menggeleng pelan dan memandang wajah Davin yang begitu dekat dengan wajahnya. Parasnya secara spontan bersemu merah. Davin segera melepas rangkulannya. Ada debaran aneh yang dirasakannya.

"Aduuhh ... jas kamu kotor, Vin! Gimana ini?" Shelyn terkejut melihat pecahan-pecahan telur menempel pada bagian belakang jas yang dikenakan Davin.

"Oohh ... nggak apa-apa, Nona nanti saya bisa ganti pakaian," kata Davin, memutar lehernya sedikit ke belakang untuk melihat noda telur tersebut.

"Thanks, ya kamu udah mau lindungin aku dari bocah-bocah nakal itu." Shelyn jadi merasa tidak enak.

"Iya, Nona. Itu sudah tugas saya menjaga Nona. Jadi tidak apa-apa. Nona nggak perlu khawatir.”

Shelyn mengangguk, masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Davin. Davin masuk dan duduk di kursi kemudi, lalu membuka jasnya yang kotor dan meletakan di kursi penumpang.

"Kenapa mereka melakukan itu sama Nona? Apa mereka benci sama Nona?" tanya Davin penasaran.

"Biasa itu kerjaan fans fanatiknya Elisa," jawab Shelyn, "Oh ya, kamu kenal sama Elisa nggak? Dia artis sinetron yang lagi tenar sekarang."

Davin menggeleng sambil menyalakan mesin mobil. Pelan-pelan, mobil mulai berjalan meninggalkan pelataran kampus. Ia sudah mendengar dari atasannya tentang Elisa, bahwa artis wanita itu tidak akur pada Shelyn.

Ponsel Shelyn tiba-tiba berbunyi, gadis itu pun segera mengangkatnya.

"Halo, Bar! Ada apa?" Shelyn menyapa di telepon saat tahu Bara yang ternyata menghubunginya.

"Hei, Shel! Sori, apa aku ganggu? Kamu lagi di mana?" tanya Bara diseberang telepon.

"Ooh, aku lagi di jalan, Bar. Abis pulang kuliah. Emang kenapa gitu?"

"Kamu punya waktu nggak? Aku pengen ngajak kamu dinner nanti malam. Bisa nggak?"

Shelyn memandang ke jendela. Davin sendiri diam-diam meliriknya melalui kaca spion.

"Dinner? Oke ... jam berapa?"

"Jam tujuh aku jemput, ya?”

Shelyn menatap Davin sejenak, lalu menjawab lirih. "Oke ...."

Telepon terputus. Davin melirik Shelyn lagi dan saat yang bersamaan Shelyn juga tengah menatapnya. Cepat-cepat Davin membuang pandangannya lurus ke depan, pura-pura fokus mengemudi.

Shelyn duduk menyandar sambil menimang-nimang ponselnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal dihatinya. Kemudian, ia kembali menatap Davin dari kaca spion.

"Vin, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?"

"Iya, Nona tanyakan saja."

"Apa kamu pernah pacaran?" tanya gadis itu yang membuat Davin kaget.

"Belum pernah. Karena saya tidak punya waktu untuk pacaran, Nona," jawab Davin jujur.

"Kalo jatuh cinta?"

"Belum juga, Nona. Kenapa Nona bertanya hal semacam itu?" Davin terlihat bingung.

Shelyn mengatupkan bibirnya ke dalam dan menjawab pelan, "Nggak papa ... sebenarnya kemarin aku seneng bisa ketemu lagi sama Bara, mantan aku waktu di SMA. Tapi, rasanya sekarang kok beda, ya?"

"Kenapa bisa beda, Nona?"

"Soalnya ada seseorang yang menarik perhatian aku sekarang."

"Oh, siapa?"

"Kamu ...."

DEG!

Davin merasakan jantungnya berdetak cepat.

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel