Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Kesan Pertama

Suara alunan musik biola dan piano menggema di dalam gedung kala Shelyn bersama papanya turun dari mobil sedan mereka dan masuk ke dalam. Para tamu undangan sudah banyak yang hadir. Shelyn berjalan mengamit lengan papanya dengan erat ketika wartawan mencoba untuk mewawancarainya perihal kejadian kemarin di depan pintu masuk.

Mereka sedang berada di acara peluncuran brand cosmetic terbaru. Shelyn dan papanya mendapat undangan khusus karena pemilik kosmetik tersebut adalah sahabat lama Haikal.

Banyak selebriti, model dan kalangan atas yang menghadiri acara ini. Beberapa pejabat dan pengusaha pun turut diundang. Para wartawan telah berdesakan di luar, berkerumun untuk mewawancarai siapa saja yang menarik guna dijadikan bahan berita.

Shelyn memandang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan. Wajah mengesalkan Elisa terpampang di mana-mana dalam ruangan ini. Elisa memang menjadi model brand ambassador-nya. Wajar saja lantaran karir Elisa sebagai selebriti sedang naik daun.

Shelyn sudah mengetahui bahwa akan ada Elisa di sini, makanya ia sengaja berdandan sangat cantik untuk menarik perhatian semua pengunjung yang hadir. Dan benar saja, sejak Shelyn masuk, ia jadi pusat perhatian karena kecantikan dan keseksiannya.

"Hei, Shel!" sapa seseorang di belakang gadis itu.

Shelyn menoleh dan terkejut melihat siapa yang menyapanya. "Bara!"

Bara tersenyum lebar, lalu berjalan mendekat. "Apa kabar, Shel?" tanyanya sembari memeluk Shelyn sekilas.

"Baik. Kamu sendiri?"

"I'm good!” jawab Bara. "Kamu makin cantik aja, Shel!"

Shelyn tertawa renyah. "Bisa aja kamu ... emang dulu aku gak cantik?"

"Cantik kok. Banget malah ...," sahut Bara. "Kamu pergi sama siapa? Papa kamu?"

Shelyn mengangguk, kemudian mengendikan kepalanya ke arah papanya yang sedang mengobrol bersama tamu yang lain.

"Yuk, kita sapa papaku dulu!" Shelyn kemudian menggandeng Bara, berjalan menuju Haikal. Sudah 3 tahun Shelyn dan Bara tidak bertemu.

Mereka berdua dahulu merupakan sepasang kekasih waktu duduk di bangku SMA. Bara adalah anak seorang pengusaha IT ternama di negeri ini. Mereka putus saat Bara meneruskan pendidikannya ke Amerika dan tidak menyangka akan bertemu lagi sekarang.

Bara memang tidak terlalu tampan. Pemuda itu dulu hanyalah seorang nerd yang tidak pandai bersosialisasi. Meski begitu, Bara punya otak yang sangat jenius. Beberapa kali ia selalu menang dalam lomba olimpiade IPA dan Sains. Sekarang pun perusahaan IT keluarga Bara telah ia kelola dan berkembang pesat berkat kejeniusannya dalam berbisnis.

"Pah, Ini Bara. Papa masih inget, 'kan?" Shelyn menyentuh pelan bahu papanya.

"Oh, Bara! Apa kabar? Sudah lama tidak ketemu kamu." Haikal langsung menyapa hangat.

Bara tersenyum dan menyalami tangan Haikal dengan sopan. "Baik, Om. Alhamdulillah.”

"Syukurlah kalau begitu. Bagaimana kabar Papi kamu? Apa dia datang ke sini?"

"Nggak, Om. Papi sekarang ada di Jepang sedang mengurus masalah bisnis, Om. Jadi, saya yang kemari untuk mewakili Papi.”

"Wah, Om denger-denger juga memang bisnis keluarga kalian sedang maju pesat, ya. Bagus sekali!" puji Haikal tulus.

"Iya, Om. Terima kasih," jawab Bara.

Mulya tiba-tiba muncul menghampiri Haikal dan membisikkan sesuatu. Haikal mengangguk padanya, lalu kembali menatap Bara dan Shelyn bergantian.

"Kalau begitu, Om tinggal sebentar, ya. Kalian silahkan berbincang-bincang lagi. Salam untuk orang tuamu ya, Bar!" Beliau menepuk bahu Bara perlahan dan segera berlalu. Mulya mengikuti di belakangnya.

Shelyn menatap kepergian papanya sesaat, lantas mengajak Bara untuk mencari minum.

Tak berapa lama, pesta dimulai. Seorang host atau pemandu acara berdiri di atas panggung dengan sebuah microphone. Pembukaan acara dimulai oleh penampilan seorang penyanyi wanita yang lagu-lagunya tengah hits saat ini. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara pemotongan tumpeng, menandakan bahwa kosmetik tersebut resmi diluncurkan.

Elisa yang menjadi brand ambassador, berdiri di sana sambil memegang beberapa kosmetik di tangannya. Shelyn memperhatikan gadis itu seraya mencibir. Minatnya untuk membeli kosmetik itu pun jadi lenyap.

Acara dilanjutkan dengan kegiatan fashion show dari beberapa desainer yang bekerja sama dengan kosmetik ini. Rencananya, hasil penjualan barang dari acara tersebut akan disumbangkan ke panti-panti asuhan yang membutuhkan. Semacam kegiatan amal juga. Beberapa ada yang dilelang secara khusus.

Model-model bertubuh langsing berlenggak-lenggok di atas panggung catwalk. Shelyn terkejut saat melihat Mikho ternyata ikut hadir menjadi salah satu model cowok pada acara malam ini. Mikho memang berprofesi sebagai model majalah pakaian pria. Cowok itu berjalan dengan mantap, sekilas melirik Shelyn yang duduk tak jauh dari panggung. Ia sempat mengedipkan mata sebelum berbalik. Shelyn balas menatapnya geram.

"Kamu kenal dia?" tanya Bara yang ternyata memperhatikan.

"Nggak,” jawab Shelyn pendek.

"Oh ya, aku boleh minta nomor kontak kamu, Shel? Biar aku bisa hubungin kamu nanti."

Shelyn mengangguk, lalu menyebutkan nomor kontaknya pada Bara. Pemuda itu pun segera mencatat di ponselnya.

"Oh ya, Bar ... kamu udah berapa lama di Indonesia?"

"Baru dua bulan, Shel. Rencananya bulan depan aku balik lagi ke sana. 'Kan di sana aku lagi buka bisnis juga."

"Oh ya? Bisnis apa? IT lagi?"

"Bukan. Bisnis kuliner," jawabnya, terkekeh. "Kamu tahu kan aku suka masak. Jadi, ini sekedar bisnis sampingan aja. Kalo kamu ke Amerika, nanti aku ajak mampir ke restoran aku."

"Wah, serius?" Shelyn membelalak senang, tapi raut wajahnya berubah lesu. "Aku juga pengen banget kuliah di luar. Tapi, papa masih aja belum izinin. Katanya liat perkembangan aku di sini seperti apa."

"Ya, kamu makanya jangan suka manja. Coba tunjukin ke papa kamu kalau kamu bisa mandiri. Aku liat kamu kemarin kena skandal lagi 'kan sama artis itu." Bara menggerling pada Elisa yang sekarang sedang ber-catwalk ria di atas panggung, mengenakan busana seorang desainer terkenal.

"Kamu liat di mana?" Shelyn bertanya penasaran.

"Di TV." Bara berseloroh dan membuat Shelyn terkikik.

Di sisi lain, Davin dan Dara sedang melakukan penyamaran menjadi pramusaji dalam acara ini. Davin memperhatikan setiap tamu yang datang sembari membawa nampan berisi minuman-minuman dalam gelas. Sedangkan, Dara terus mengawasi Haikal bersama sekretarisnya yang sedang melakukan pembicaraan serius pada dua orang laki-laki di sudut ruangan.

Dimas berada di luar gedung, sedang meretas CCTV agar Davin dan Dara di dalam bisa menyelinap dengan mudah tanpa ketahuan.

"Oke, agen Alice dan Neo. Gue berhasil! Sekarang kalian bisa bebas mengikuti Pak Haikal," katanya lewat alat komunikasi berbentuk earpiece yang terpasang pada telinga mereka masing-masing.

Alice adalah nama julukan Dara saat bertugas sementara Neo merupakan julukan milik Davin. Dimas sendiri biasa dipanggil Logan oleh teman-temannya. Mereka menggunakan nama karakter kesukaan masing-masing untuk dijadikan nama samaran.

Davin segera berjalan cepat, menyelinap di antara tamu-tamu yang hadir. Tak sengaja, ia melihat Shelyn yang masih duduk mengobrol bersama Bara begitu akrab. Gadis itu memang terlihat cantik sekali. Davin tanpa sadar mengamatinya sebentar.

"Hei, lo lihat apa, Neo? Target kita bukan si cantik itu, tapi ayahnya malam ini!" Suara cempreng Dimas menganggetkan Davin.

"Iya, iya gue tahu!" gerutu Davin, melangkah kembali menuju tempat Haikal.

"Neo, kamu di mana? Gue lihat sekretarisnya Pak Haikal keluar lewat pintu belakang," suara Dara terdengar. Gadis itu sedang memata-matai Mulya di pelataran parkir. "Dia masuk ke dalam mobil sedan hitam. Logan, catat nomor platnya, ya!"

"Oke!" Dimas menyiapkan sebuah pulpen dan kertas dari dalam tas punggungnya. Matanya sibuk mengawasi CCTV yang sekarang ia kendalikan dengan bebas.

Dara menyebut angka-angka nomor plat mobil tersebut. Lalu, suara Davin gantian terdengar.

"Gue mau samperin Pak Haikal dulu, pura-pura menawarkan minuman. Dan Alice, terus awasi sekretarisnya, ya di sana," kata Davin bergegas berjalan menuju Haikal yang masih membicarakan sesuatu dengan dua orang pria tadi.

Davin membetulkan kumis palsu yang dipakainya. Ketika sampai di dekat Haikal, ia menawarkan segelas champagne dan wine yang dibawanya di atas baki.

"Bagaimana dengan kesepakatan kerjasamanya? Apa malam ini kita masih sempat tanda tangan? Ini proyek bagus, Pak! Kita harus bergegas sebelum diambil pihak lain," kata seorang pria berkepala plontos. Kelihatannya dia adalah seorang pengusaha kaya raya.

Haikal tampak berpikir sejenak, mengambil segelas champagne di atas baki. Teleponnya berdering. Mulya, sekretarisnya yang ternyata menelepon.

"Hmm ... bagaimana? Apa semua berjalan lancar?" Haikal melirik Davin yang masih berdiri diam di dekat mereka. Ia menggerling pada Davin supaya menyingkir.

Davin menggeser posisinya, mendekati pria berkepala plontos tadi, lalu menempelkan sebuah benda kecil seukuran baterai jam di jas yang dikenakan pria itu. Benda itu adalah alat penyadap. Davin bergegas menjauh. Baki yang dibawanya diberikan kepada pramusaji yang kebetulan melintas di dekatnya.

"Lapor, Agen Neo sudah berhasil memasang alat penyadap di dekat target," katanya memberitahu yang lain.

"Okay!" Dimas terdengar menjawab riang.

Alat penyadap tersebut langsung terhubung pada laptopnya. Terdengar pembicaraan ketiga pria tadi dengan sangat jelas. Mereka sedang membicarakan proyek pembangunan pemukiman Real Estate besar-besaran yang direncanakan tahun depan. Namun, pembangunan tersebut terkendala izin proyek dan lahan yang masih sempit. Kedua bapak tadi berharap Haikal selaku pejabat negara bisa melobi untuk memuluskan rencana tersebut.

"Bagus. Gue udah mendengar semua pembicaraan mereka," kata Dimas bersemangat.

"Terus bagaimana sama sekretarisnya Pak Haikal? Apa harus kita sadap juga?" tanya Dara yang masih mengawasi di tempat parkir. Mulya terlihat masih membicarakan sesuatu di dalam mobil.

"Nggak perlu. Kamu cukup awasi saja dia. Foto semua tindak-tanduk Mulya buat laporan kita ke atasan besok.” Davin menjawab.

Beberapa saat kemudian, Mulya turun dari dalam mobil sambil membawa dua buah koper berukuran sedang. Mobil sedan hitam tersebut melaju meninggalkan pelataran parkir. Pria itu memasukkan kedua koper tersebut ke dalam bagasi mobil sedan milik Haikal. Setelah itu, dia baru kembali masuk ke dalam.

"Pak Mulya masuk lagi ke dalam. Dia membawa dua koper dan sekarang disimpan di dalam mobil Pak Haikal." Dara memberitahu. "Perlukah kita buka kopernya untuk tahu apa isinya?"

"Tidak usah. Tugasmu sudah baik agen Alice. Kembalilah ke sini. Biarkan Davin dan Dimas yang melakukan sisanya." Suara Pak Mathias terdengar menyela dalam earpiece yang dikenakan mereka.

Pak Mathias memang ikut dalam misi pengintaian kali ini, mengawasi anak buahnya dari dalam mobil van hitam yang di parkir tak jauh dari gedung hotel.

Pak Mathias tersenyum melihat keberhasilan anak-anak buahnya yang melaksanakan tugas dengan baik. Ia mengamati semua tindak tanduk mereka dari layar laptop miliknya yang terhubung langsung dengan laptop milik Dimas.

Suara pintu mobil terbuka tak lama kemudian, Dara masuk ke mobil dengan pakaian yang sudah diganti. Pak Mathias menawarkan martabak manis yang sedang dimakannya dengan santai pada gadis itu. Dara hanya menggelengkan kepala.

Enaknya jadi atasan ketika di saat-saat seperti ini, hanya duduk santai sambil mengawasi dari tempat yang aman, sementara anak buahnya-lah yang sibuk bekerja di luar melaksanakan tugas. Jika gagal, mereka yang akan dimarahi.

***

Mulya kembali mendatangi Haikal, membisikkan sesuatu yang membuat Pak Menteri itu tersenyum lebar. Kepalanya mengangguk pada sekretarisnya tersebut. Ekspresinya tampak puas. Davin terus memperhatikan keduanya di tengah ruangan.

Pesta ditutup oleh penampilan seorang penyanyi pria yang cukup populer belakangan ini. Para tamu satu per satu meninggalkan gedung. Pria berkepala plontos bersama rekannya pun pamit pada Haikal. Berharap segera mendapat kabar baik atas tawaran kerja sama mereka.

Shelyn beranjak dari tempat duduknya untuk menemui Haikal. Bara sendiri sudah meninggalkan pesta lebih dulu setelah sebelumnya menawarkan tumpangan pada Shelyn. Namun, Shelyn memilih untuk pulang bersama papanya.

"Nona, silakan masuk ke dalam mobil. Tuan sudah berada di sana menunggu nona untuk pulang." Mulya memberitahunya saat Shelyn berjalan di tengah ruangan.

"Oke. Bilang sama papa tunggu sebentar. Aku mau ke toilet dulu," kata Shelyn seraya berbalik menuju toilet yang terletak di sebelah timur gedung hotel ini.

Para staff dan crew masih sibuk membereskan peralatan pesta. Beberapa artis yang mengisi acara, keluar dari dalam gedung dikepung oleh puluhan wartawan yang sudah menunggu sejak tadi. Shelyn merasa bergidik. Itulah alasan ia tak pernah mau menerima tawaran untuk jadi seorang selebriti.

Shelyn tak sengaja berpapasan dengan Elisa di pintu toilet. Gadis itu mendelik padanya, lalu memasang senyum sinis.

"Ciee ... udah punya gebetan baru lo?" sindirnya.

Shelyn menatap Elisa dingin. "kenapa? Mau lo rebut lagi?" ketusnya.

"Cih, siapa juga yang minat. Lagian cowok lo aja yang ngejar-ngejar gue," balas Elisa tak terima.

"Udah ya, gue nggak mau bahas itu. Kalo lo suka sama Mikho ambil aja. Gue males sama cowok brengsek kayak dia!" sentak Shelyn geram. "Mending lo keluar deh, gue males liat muka lo lama-lama!"

Elisa mendengkus kesal, lantas mendorong Shelyn dengan kasar. Shelyn terkejut. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Sepatu high heels yang dipakainya tergelincir lantai marmer yang licin, sedetik lagi ia akan jatuh terjerembab. Namun, tanpa diduga ada seseorang yang menangkap tubuhnya dari belakang.

Shelyn menoleh dan mendapati seorang laki-laki tak dikenali merangkul pinggangnya. Itu Davin yang baru saja akan keluar melewati pintu darurat di belakang gedung.

"Thanks!" ucap Shelyn seraya berdiri secara perlahan.

Davin diam saja. Ia masih mengenakan seragam pramusaji dan kumis palsunya. Tanpa berkata apa-apa, cowok itu segera meninggalkan tempat itu.

Shelyn tercenung beberapa saat. Merasa beruntung pramusaji tadi lewat di waktu yang tepat. Kalau tidak, dia pasti sudah jatuh ke lantai.

Tiba-tiba Mikho muncul di ambang pintu. Elisa serta-merta tersenyum hangat dan langsung menyambutnya mesra.

"Kamu udah nunggu lama ya, Sayang?" katanya, melirik Shelyn dengan penuh kemenangan.

Shelyn memutar bola mata, sementara Mikho menekuk wajahnya dengan canggung tanpa menjawab apa-apa. Ia merasa tak enak ketika matanya bertemu pandang dengan Shelyn. Elisa meraih lengan Mikho, merangkulnya sambil berjalan meninggalkan toilet.

"Habis ini kita makan dulu ya, Sayang ... Aku lapar.” Terdengar suara manja Elisa yang sengaja dikeras-keraskan untuk memanas-manasi Shelyn.

Shelyn merasa lucu. Untuk apa memanas-manasinya karena ia sudah tidak perduli lagi pada cowok itu. Setelah selesai dari toilet, Shelyn segera pergi menuju pelataran parkir di mana papanya telah menunggu.

"Kamu lama sekali," ujar Haikal begitu Shelyn masuk ke dalam mobil.

"Sori, Pah. Tadi ketemu sama Elisa di toilet."

"Lantas apa kalian bertengkar lagi?" Haikal langsung menunjukkan raut khawatir.

"Nggak lah, Pah. Tenang aja." Shelyn nyengir.

Gadis itu merogoh ponselnya yang berbunyi dari dalam tas kecil yang dibawanya. Ada pesan WhatsApp dari Bara.

Hei, shelyn. I'm so happy we meet again ... You look so beautifull. Still and always ... i don't know how to break your crazy spell until now...

Shelyn tersenyum membacanya. Bara masih pandai merayu dengan kata-kata manisnya yang terkesan jujur, bukan membual seperti kebanyakan laki-laki lain.

"Oh ya, ini papa sudah dapat beberapa kandidat yang cocok untuk jadi bodyguard-mu. Coba kamu lihat. Pilihlah yang sesuai dengan seleramu."

Haikal menyerahkan ponselnya yang tertera foto beberapa calon bodyguard untuk putrinya. Shelyn mengamati foto-foto dan profil semua kandidat tersebut dengan seksama. Ada 5 kandidat pria dan ketika mata bulatnya melihat foto Davin, Shelyn merasa ada yang menarik, seolah wajah pemuda itu tidak asing.

Shelyn membaca profil pemuda itu secara rinci. Davin adalah kandidat termuda dari semuanya dan wajahnya yang paling tampan.

"Aku mau yang ini, Pah! Suruh dia besok ke rumah dan langsung bekerja!" kata Shelyn menunjuk foto Davin pada papanya.

"Kamu yakin?" tanya Haikal memastikan.

Shelyn mengendikan bahu. "Kalo kerjanya gak bagus, nanti kita 'kan bisa cari lagi yang lain ...."

Haikal geleng-geleng kepala. "Ya sudah, terserah kamu saja. Papa ingin kamu tidak berbuat aneh-aneh lagi nanti, karena segala keinginan kamu sudah papa penuhi."

"Yes, Sir!" kata Shelyn sambil melakukan gerakan hormat dengan tangannya.

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel